"Iya, Diana. Maaf, aku tidak bilang."
"Tidak mengapa. Aku sudah ikhlas. Terima kasih, ya. Ada yang mau disampaikan lagi?"Â
"Jangan lupa datang. Aku menunggu kehadiranmu. Maafkan aku."
"Sudahlah, tenang saja. Itu jodoh kamu. Aku bukanlah yang terbaik untukmu. Lagian, aku sudah nyaman dengan kesendirianku. Maafkan aku, ya."
"Tapi, kamu tidak salah, Diana. Aku yang salah---" Deri bertekuk lutut di hadapanmu sambil meneteskan air matanya, "maafkan aku, Diana."
"Hai, berdirilah. Aku telah memaafkanmu."
Dia berdiri lagi. Senja yang pernah kita lihat bersama, telah menjadi saksi bisu di antara kita. Tak ada lagi yang saling menikmati keindahan semesta. Sekarang, kau dan aku sebatas sejarah tak terabadikan di negara. Cukup ini sejarah antara kita.
Setelah kau memberi undangan kepadaku. Engkau pun pergi. Derap langkahmu mengajariku untuk mengikhlaskan. Aku berusaha tegar, meski sulit. Kata "maaf" sebuah kata yang membuatku rela.
Ini adalah cerita kita. Terima kasih telah mengajarkanku untuk mengikhlaskan, bukan membenci. Terima kasih telah hadir dalam hidupku. Setelah ini, engkau bahagia dengan dia. Wanita pilihanmu dan telah tertuliskan di buku takdir jauh sebelum kita dilahirkan di dunia.
Aku yakin, akan ada seseorang yang baik. Entah itu jodoh atau maut. Intinya, aku tetap mempersiapkan diri.
Ini cerita kita, bukan cerita orang lain.