Mohon tunggu...
Nadya A
Nadya A Mohon Tunggu... Freelancer - sedang bereksplorasi

Menulis topik sosial, politik, K-Pop, dan isu-isu digital.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Relasi Korupsi dan Pembiayaan Partai Politik serta Penanganannya

23 Maret 2022   20:13 Diperbarui: 23 Maret 2022   20:17 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

 Kasus korupsi yang terjadi di Indonesia seolah-olah tidak pernah berakhir. Setiap kali ada kasus baru, tak lama akan ada kasus yang menjerat pihak lainnya. Bahkan Kabiro Humas KPK Febri Diansyah pernah menyampaikan seperti yang dikutip dari detik.com, "Jika dibaca dari data penanganan perkara KPK, sampai hari ini sekitar 61,17 persen orang pelaku diproses dalam kasus korupsi yang berdimensi politik, yaitu 69 orang anggota DPR, 149 orang anggota DPRD, 104 kepala daerah, dan 223 orang pihak lain yang terkait dalam perkara tersebut."[1] 

 Bahkan ada beberapa pejabat partai yang juga terlibat korupsi, seperti Luthfi Hasan Ishaaq (Presiden PKS 2009-2014) kasus korupsi impor daging, Anas Urbaningrum (Ketua Umum Partai Demokrat 2009-2014) korupsi proyek hambalang, Suryadharma Ali (Ketua Umum PPP 2007-2014) kasus korupsi pengelolaan dana haji. Selain itu juga masih heboh dengan kasus drama dari Setya Novanto (Ketua Umum Partai Golkar 2016-2017) terkait korupsi proyek e-KTP  dan Muhammad Romahurmuziy (Ketua Umum PPP 2014-2019) terkait jual beli jabatan di Kementerian Agama pada tahun 2019 ini.

Data tersebut tentu sangat mengecewakan. Para wakil rakyat dari kalangan eksekutif dan legislative yang berasal dari dimensi politik, harusnya mampu menjalankan tugas dan wewenangnya sebagai representasi suara rakyat secara bertanggung jawab. Justru korupsi yang terjadi mayoritas dilakukan oleh pihak yang idealnya memiliki pengetahuan politik dan kesadaran berpolitik yang baik.

 Partai politik seringkali dianalogikan sebagai kendaraan politik. Secara sederhana, sebuah motor bisa digunakan oleh pemiliknya jika motor tersebut tidak rusak. Agar tidak rusak, maka ada banyak cara yang harus dilakukan seperti rajin melakukan service secara rutin, membersihkan motor dari debu, dan juga mengisi bahan bakar yang sesuai. Begitu juga dengan partai politik. Prof Ramlan Surbakti dalam bukunya, Memahami Ilmu Politik memaparkan ada beberapa fungsi dari partai politik yakni sosialisasi politik, rekrutmen partai, partisipasi politik, pemadu kepentingan, pengendalian konflik, dan control politik.[2] Agar bisa menjalankan semua fungsi, salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah adanya dana untuk membiayai kegiatan-kegiatan partai politik. Lantas dari mana sumber pembiayaan dari partai politik di Indonesia? Dan bagaimana pengelolaan dana partai politik tersebut? Dan, bagaimana skema pembiayaan partai politik yang tepat? 

 Sumber Dana Partai Politik 

 Pengakuan Negara terhadap keberadaan partai politik telah tercantum dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 6 A ayat 2 dan pasal 22 E ayat 3. Berdasarkan Undang-Undang nomor 2 Tahun 2008 yang diatur dalam UU 2/2011 tentang Partai Politik, terdapat tiga sumber keuangan partai pollitik yakni (1) iuran anggota; (2) sumbangan perseorangan dan badan usaha; serta (3) bantuan keuangan negara.[3]

 Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1/2018 tentang Bantuan Keuangan Parpol, setiap parpol yang memiliki wakil di DPR menerima Rp 1.000 per suara sah yang diperoleh saat Pemilu Legislatif 2014.Dengan perhitungan kasar dari total suara yang didapatkan pada pemilu 2014, maka 10 partai dengan suara terbesar akan menerima dana dari Negara dengan rincian : PDI-P sebesar Rp 23,6 miliar ; Partai Golkar Rp 18,4 miliar ;Partai Gerindra Rp 14,7 miliar ; Partai Demokrat Rp 12,7miliar ; PKB Rp 11,2 miliar; PAN Rp 9,8 miliar ; PKS Rp 8,48 miliar; Partai Nasdem Rp 8,4 miliar; PPP Rp 8,1 miliar; dan Partai Hanura Rp 6,5 miliar. [4]

Bukan hanya Indonesia yang memberikan bantuan dana kepada partai politik. Pada tahun 2012, Meksiko memberikan dana sebesar 387 juta dolar AS dan setahun kemudian jumlahnya turun menjadi 144 juta dolar AS. Pada tahun 2014, Jerman memberikan dana untuk parpol sebesar 157 juta Euro. Sedangkan Turki pada tahun 2011 juga membagi dana negara sebesar 163 juta dolar AS. Namun, berdasarkan laporan Transparency International (TI) tahun 2016, Meksiko mengantongi poin 30 (poin 100 paling bersih dari korupsi). Padahal rata-rata indeks yang mencapai 43 poin.[5] Ternyata pemberian dana Negara yang cukup besar tidak mampu menjamin bahwa tingkat korupsi dalam negara tersebut juga akan berkurang.  

 Alokasi Dana Partai Politik di Indonesia 

 Tak banyak partai politik yang bersedia untuk menunjukkan laporan keuangannya. Ketika saya mencoba mencari di internet lewat website resmi partai, hanya Partai Gerindra yang memiliki laporan keuangan dan audit yang berisi rincian sumber penerimaan serta pengeluaran. Sedangkan Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Keadilan Sejahtera hanya mengapload hasil laporan pemeriksaan dari Badan Pemeriksaan Keuangan RI, PKB pada tahun 2017 dan PKS untuk anggaran tahun 2014. Selain ketiga partai tersebut saya tak menemukan ada partai yang sangat transparan untuk menunjukkan sumber pendanaan serta pengalokasian dana tersebut.

 Meskipun hanya partai Gerindra, namun kita bisa mendapatkan sedikit gambaran seberapa besar biaya yang dibutuhkan sebuah partai politik agar bisa berjalan. Berdasarkan laporan keuangan dan audit Partai Gerindra di tahun 2014, sebanyak 26 anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) menyumbangkan sebesar 7.000.000-7.900.000 setiap bulan. Jika dijumlahkan, pada tahun 2013, Partai Gerindra mendapatkan 2,4M dan tahun 2014 sebesar 1,78M dari anggota partainya yang menduduki kursi legislative di DPR RI. Sedangkan iuran anggota dari 72 anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah) pada tahun 2014 sebesar 1,69M. [6]  Sedangkan total pengeluaran Partai Gerindra pada tahun 2014 mencapai 173 milyar. [7] 

Besarnya kebutuhan partai politik dan bantuan dana Negara yang sangat kecil tentu menuntut partai untuk memenuhi kekurangan tersebut. Apalagi dalam konstitusi Negara, hanya dana kampanye dari luar partai yang diatur batasan pemberiannya.  Untuk perseorangan dibatasi Rp 2,5 miliar sementara kelompok Rp 25 miliar.[8] Sedangkan dana dari internal seperti iuran anggota juga tidak diatur secara tegas. Hal ini menjadi celah terjadinya transaksi bisnis dalam diri partai politik. Kita pun sudah tak asing dengan istilah 'mahar politik' yang marak terjadi di partai. 

 Selain itu yang perlu disoroti terkait bagaimana partai politik mengalokasikan dana yang telah mereka dapatkan. Tujuan utama dana tersebut adalah sebagai pembiayaan agar partai politik bisa menjalankan fungsi-fungsinya dengan baik. Tanpa adanya data atau laporan yang bisa menunjukkan proses pengalokasian tersebut, tentu kita akan semakin bertanya-tanya, lantas untuk apa saja dana partai politik yang sangat besar tersebut digunakan? Apakah partai politik yang kita percayai benar-benar sudah menjalankan fungsi-fungsinya dengan baik atau belum?

 Penggunaan Dana dalam Fungsi-Fungsi sebuah Partai Politik 

Prof. Ramlan Surbakti dalam bukunya Memahami Ilmu Politik, mendefinisikan partai politik merupakan kelompok anggota yang terorganisasi secara rapi dan stabil yang dipersatukan dan dimotivasi dengan ideologI tertentu dan yang berusaha mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan melalui pemilihan umum guna melaksanakan alternative kebijakan umum yang mereka susun. [9] Guna mempertahankan kekuasaan tersebut, Indonesia sebagai negara demokrasi, mengharuskan pihak-pihak untuk ikut dalam pemilihan umum terlebih dahulu.      

Partai politik memiliki kewajiban sebagai pelaksana sosialisasi politik. Tujuannya agar warga memiliki sikap dan orientasi terhadap kehidupan politik yang berlangsung dalam masyarakat.[10] Partai politik harus mampu mengedukasi masyarakat nilai-nilai, norma-norma, serta simbol-simbol terkait dimensi politik. Sederhananya, masyarakat diajari untuk mampu bersikap sesuai nilai yang benar dalam merespon adanya fenomena politik.  Namun masih saja bisa kita temui adanya money politics terutama pada masa menjelang pemilu. Pada tahun 2019 saja, Bawaslu menemukan 25 kasus money politics di 25 kota/ kabupaten. Ratusan uang pun disita. Kisaran uang yang diberikan yakni 25.000 hingga 400.000 untuk setiap suara, meskipun ada juga yang memberikan barang seperti detergen, jilbab, atau sembako.[11] Kompetisi yang semakin tinggi menuntut mereka melakukan kecurangan-kecurangan. Namun jika masyarakat bisa teredukasi dengan baik, maka praktik money politics menjelang pemilu tentu akan berkurang. Masyarakat yang memiliki pendidikan politik dan kesadaran politik yang tinggi akan memahami bahwa suara mereka memiliki dampak luar biasa terhadap keberlangsungan kehidupan politik Negara di masa depan. Maka, masyarakat juga akan lebih selektif memilih wakilnya dan secara otomatis pelaku money politics akan tersingkir. 

 Partai politik juga harus menjalankan rekrutmen politik. Partai politik akan melakukan seleksi dan pemilihan terhadap seseorang yang dianggap layak menjalankan peran dalam sistem politik dan pemerintahan. Namun seringkali kader-kader partai tidak melewati sistem pengkaderan yang baik dan cenderung instan. Muncul fenomena "mahar politik" yang menjadi penyakit dalam proses pengkaderan dalam tubuh partai politik.

 Ada beberapa kasus "mahar politik" yang sempat ramai diperbincangkan. Seperti pengakuan La Nyalla yang mengatakan bahwa Prabowo meminta uang ratusan milyar kepadanya untuk pencalonan pilkada Jawa Timur pada tahun 2018. Namun, hal tersebut sempat dibantah oleh Fadli Zon bahwa ia yakin ada kesalahpahaman komunikasi, bahwa Prabowo hanya menanyakan kesiapan finansial La Nyalla sebagai kebutuhan logistiknya selama Pilkada Jatim 2018. Selain itu ada pengakuan lain dari pasangan John Krisli dan Maryono. Menurut pengakuan John, ia diminta oleh Partai Gerindra di Palangkaraya untuk membayar uang satu kursi sebesar Rp 350 juta, demi mendapatkan rekomendasi. Ia pun harus mengeluarkan 1,4 miliar sebab kursi Gerindra di DPRD Kota Palangkaraya berjumlah 4 kursi. [12]

Jelas jika partai politik tidak bisa menghasilkan pemimpin yang baik. Sebab mereka bukan lahir dari proses pengkaderan dari bawah, melainkan saling bersaing lewat besarnya mahar yang berani mereka berikan kepada partai politik, demi mendapatkan surat rekomendasi. Maka, hanya orang-orang dengan harta yang melimpah saja yang memiliki peluang lebih besar untuk menjadi wakil di parlemen atau bahkan menjadi kepala daerah. Padahal seharusnya para pemimpin merupakan orang yang memiliki kemampuan sebagai wakil rakyat.

 Pada laporan keuangan Partai Gerindra pada tahun 2014, beban pelatihan kaderisasi kurang lebih sebesar Rp 496 juta sedangkan biaya kampanye untuk periode 2014/2019 mencapai kurang lebih Rp 3,5 miliar.[13] Hal ini menunjukkan bahwa partai masih memprioritaskan pendanaan hanya pada saat pemilu, terutama untuk dana kampanye. Namun tidak begitu menaruh perhatian pada pengkaderan. 

Alternatif Skema Pembiayaan Partai Politik 

Berdasarkan jurnal Integritas KPK Volume 4 Nomor 1, ada tiga alternative terkait skema pembiayaan partai politik yakni[14] :

  • Pola pendanaan 100 persen subsidi dari negara, sehingga negara akan membiayai semua kebutuhan partai dan partai tidak diperkenankan untuk memperoleh sumber dana lainnya. Dengan begitu para calon yang memang berdedikasi bisa mencalonkan diri dan bersaing secara sehat tanpa harus mengeluarkan "mahar politik" yang besar untuk memenuhi kebutuhan partai. Namun disisi lain juga bisa mengubah partai menjadi tidak obyektif dalam menilai kebijakan pemerintah. Partai akan takut untuk bersikap berseberangan dengan pemerintah. Selain itu, Negara juga harus bisa menghitung secara tepat berapa dana yang layak dikeluarkan untuk sebuah partai politik agar partai bisa menjalankan fungsi-fungsinya tanpa harus kesulitan mencari tambahan dana lagi. Sebab hal ini tentu akan mempengaruhi pengeluaran-pengeluaran Negara untuk sector lainnya, terutama sector sentral seperti pendidikan dan kesehatan.
  • Pola pendanaan dengan menaikkan bantuan dari pemerintah. Pada pola ini Negara tidak membiayai partai secara keseluruhan namun dana bantuan dari Negara harus lebih besar, sehingga partai politik tidak begitu kesulitan untuk mencari dana lain untuk menutupi kekurangan anggaran. Meskipun begitu tetap ada kekurangan terkait pola ini sebab Negara masih mendominasi pembiayaan sehingga dikhawatirkan partai juga akan kehilangan kemandirian dan daya kritisnya terhadap kebijakan pemerintah. Padahal partai politik juga memiliki fungsi control politik, dimana partai politik bisa menunjukkan letak kesalahan, kelemahan, atau bahkan penyimpangan sebuah kebijakan. Selain itu pada proses audit, negara juga akan mengalami kesulitan sebab ada sumber dana lain di luar bantuan Negara. Untuk bisa menentukan rasio yang tepat tetap membutuhkan penelitian lebih lanjut dan lebih professional.  
  • Pola pendanaan model Turki, hal ini karena Turki dan Indonesia memiliki beberapa kesamaan terkait demografi, sejarah politik, dan level perkembangan demokrasi. Pada pola ini, Turki memberi subsidi sebesar 90 persen dari total pendapatan setiap partai. Kelemahan tipe ini adalah partai yang masih baru akan kesulitan bersaing dengan partai yang sudah mapan.

Skema Pembiayaan Partai Politik yang Meminimalisir Korupsi 

Dalam pembiayaan partai politik saya rasa yang harus diperhatikan adalah asal dana dan alokasi dana. Partai politik sebagai salah satu instrument demokrasi tetap harus mendapatkan dana bantuan dari Negara, sebab partai politik merupakan institusi yang mencetak para pemimpin bangsa dan turut menciptakan kesadaran politik bagi masyarakat. Dengan adanya pemimpin yang berasal dari proses pengkaderan yang baik serta masyarakat yang memiliki kesadaran politik yang tinggi, maka demokrasi bisa berjalan dengan baik. Rakyat bisa mengidentifikasi kepentingan publik dan menyampaikannya lewat partai politik dan kemudian akan diperjuangkan oleh para pemimpin yang berasal dari kader partai. Sehingga kebijakan yang dihasilkan benar-benar bertujuan untuk menyejahterakan masyarakat. Bukan hanya mewakili kepentingan satu golongan saja.

Fakta juga menunjukkan proses pengkaderan yang instan akan berpotensi menghasilkan korupsi. Para kader yang bersaing memberikan "mahar" paling tinggi kepada partai politik agar mendapatkan rekomendasi. Mereka pun tentu akan mengupayakan segala cara demi memenuhi tuntutan tersebut, sebab disadari bahwa kebutuhan pembiayaan partai politik juga sangat tinggi. Yang berbahaya adalah ketika cara atau upaya yang dipilih adalah cara-cara yang melanggar hukum atau bahkan berpotensi memunculkan korupsi di masa depan, semisal dengan berhutang dan tentunya hutang tersebut harus dilunasi. Ketika sudah menjabat pun, tantangan juga besar. Mereka harus menjadi idealis dengan memperjuangkan suara rakyat, atau lebih memprioritaskan kepentingan golongan atau partai mereka, atau bahkan masih harus membayar hutang akibat "mahar politik" yang dulu sempat diberikan kepada partai politik.

Sehingga menurut saya, dalam skema pendanaan partai politik, tidak masalah dari mana asal dananya. Entah dari negara, pihak eksternal, atau bahkan iuran anggota tetap boleh diperbolehkan. Namun ada beberapa aspek yang harus diperhatikan, seperti:

  •  Negara tetap memberikan batasan total pendanaan yang diperbolehkan disesuaikan dengan beban kebutuhan setiap partai politik. Terutama pada saat proses menjelang pemilu. Sebab saya rasa dalam kontestasi, setiap peserta harus memiliki modal kampanye yang sama.
  • Negara tidak perlu harus memberikan subsidi 100% kepada partai politik karena Negara juga memiliki prioritas pendanaan pada sector vital lainnya. Apalagi pada konteks Indonesia, jumlah partai politik sangat banyak dan beban partai politik juga berbeda-beda. Justru Negara tidak boleh mengorbankan kesejahteraan rakyat hanya demi partai politik.
  • Negara juga harus menjamin bahwa partai politik akan transparan memberikan laporan terkait dari mana asal dana mereka. Terutama dana dari iuran yang berasal dari anggota partai politik yang telah menjabat dalam pemerintahan. Anggota partai politik yang telah memiliki jabatan harus bisa mendudukkan posisi mereka, sehingga tidak ada kepentingan yang saling bercampur.

 Selain itu dalam skema pendanaan partai politik ini, harus diperhatikan juga bagaimana proses partai politik dalam mengalokasikan dana tersebut. Seringkali partai politik tidak seimbang dalam memberikan porsi pendanaan dalam program-programnya. Pada konteks Indonesia, partai politik lebih banyak berfokus saat menjelang pemilu, mereka pun banyak mengeluarkan cost untuk kampanye. Padahal ada fungsi partai politik yang tak kalah penting, mulai dari sosialisasi politik, pengkaderan, control politik, dll.

 Jika skema pendanaan yang diberlakukan tetap melibatkan Negara sebagai salah satu sumber pendanaan, maka partai politik juga memiliki kewajiban untuk melaporkan setiap alokasi dana tersebut. Hal ini sebagai bentuk laporan pertanggungjawaban terhadap Negara dan sekaligus juga menjadi check and evaluation bagi Negara dalam memberikan dana pada periode selanjutnya. Negara juga bisa memastikan apakah partai politik benar-benar sudah menjalankan fungsi-fungsinya sebagai partai politik dengan baik atau belum.

 Maka persyaratan yang harus dipenuhi yakni :

  • Negara memiliki institusi independen untuk melakukan audit terhadap laporan keuangan partai politik. Audit tersebut bukan hanya sekedar berapa total pemasukan dan pengeluaran partai politik, namun benar-benar menunjukkan apakah program-program yang menjadi indikasi fungsi partai politik sudah dijalankan atau belum.
  • Negara juga harus tegas menindak segala bentuk pelanggaran yang berupaya untuk menggembosi sistem yang telah dibuat. Dengan adanya penegakan hukum, maka akan semakin kecil peluang pelanggaran. Jika ada partai politik yang melakukan pelanggaran berat, Negara juga bisa mencabut subsidi dana.

 Sehingga dalam skema pembiayaan ini yang terpenting adalah jelas dari mana asal dananya dan dana tersebut harus dialokasikan dengan tepat agar fungsi-fungsi partai politik bisa benar-benar berjalan.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Aditya L Djono.2018. Urgensi Negara Membiayai Parpol di https://www.beritasatu.com/ (diakses pada 20 Juni 2019)

Jurnal INTEGRITAS KPK Volume 4 Nomer 1, Juni 2018.

Laporan Keuangan Partai Gerindra untuk tahun berakhir pada 31 Desember 2014 dan Laporan Audit Independen.

Muhammad Afandi.2018. Polemik Pendanaan Parpol, Akibat Biaya Politik Tinggi Penyebab Korupsi di https://nasional.kontan.co.id/ (diakses pada 21 Juni 2019)

Nila Chrisna Yulika.2018. 4 Kasus Mahar Politik di Pilkada Serentak di https://www.liputan6.com/ ( diakses pada 21 Juni 2019)

Redaksi. 2016. Pendanaan Partai Politik di https://nasional.kompas.com/ (diakses pada 20 Juni 2019)

Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta:PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

Teddy M.2019. Bawaslu Ungkap 25 Kasus Money Politic atau Politik Uang, Amplop dan Uang Ratusan Juta diamankan di https://bangka.tribunnews.com/ (diakses pada 21 Juni 2019)

Yantina Debora.2017. Bercermin dari Negara Lain soal Dana Parpol di https://tirto.id/  (diakses pada 20 Juni 2019)

Zunita Putri.2018. 60 Persen Koruptor dari Politikus, KPK Soroti 4 Masalah Parpol di https://news.detik.com/ (diakses 20 Juni 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun