Besarnya kebutuhan partai politik dan bantuan dana Negara yang sangat kecil tentu menuntut partai untuk memenuhi kekurangan tersebut. Apalagi dalam konstitusi Negara, hanya dana kampanye dari luar partai yang diatur batasan pemberiannya. Â Untuk perseorangan dibatasi Rp 2,5 miliar sementara kelompok Rp 25 miliar.[8] Sedangkan dana dari internal seperti iuran anggota juga tidak diatur secara tegas. Hal ini menjadi celah terjadinya transaksi bisnis dalam diri partai politik. Kita pun sudah tak asing dengan istilah 'mahar politik' yang marak terjadi di partai.Â
 Selain itu yang perlu disoroti terkait bagaimana partai politik mengalokasikan dana yang telah mereka dapatkan. Tujuan utama dana tersebut adalah sebagai pembiayaan agar partai politik bisa menjalankan fungsi-fungsinya dengan baik. Tanpa adanya data atau laporan yang bisa menunjukkan proses pengalokasian tersebut, tentu kita akan semakin bertanya-tanya, lantas untuk apa saja dana partai politik yang sangat besar tersebut digunakan? Apakah partai politik yang kita percayai benar-benar sudah menjalankan fungsi-fungsinya dengan baik atau belum?
 Penggunaan Dana dalam Fungsi-Fungsi sebuah Partai PolitikÂ
Prof. Ramlan Surbakti dalam bukunya Memahami Ilmu Politik, mendefinisikan partai politik merupakan kelompok anggota yang terorganisasi secara rapi dan stabil yang dipersatukan dan dimotivasi dengan ideologI tertentu dan yang berusaha mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan melalui pemilihan umum guna melaksanakan alternative kebijakan umum yang mereka susun. [9] Guna mempertahankan kekuasaan tersebut, Indonesia sebagai negara demokrasi, mengharuskan pihak-pihak untuk ikut dalam pemilihan umum terlebih dahulu. Â Â Â
Partai politik memiliki kewajiban sebagai pelaksana sosialisasi politik. Tujuannya agar warga memiliki sikap dan orientasi terhadap kehidupan politik yang berlangsung dalam masyarakat.[10] Partai politik harus mampu mengedukasi masyarakat nilai-nilai, norma-norma, serta simbol-simbol terkait dimensi politik. Sederhananya, masyarakat diajari untuk mampu bersikap sesuai nilai yang benar dalam merespon adanya fenomena politik. Â Namun masih saja bisa kita temui adanya money politics terutama pada masa menjelang pemilu. Pada tahun 2019 saja, Bawaslu menemukan 25 kasus money politics di 25 kota/ kabupaten. Ratusan uang pun disita. Kisaran uang yang diberikan yakni 25.000 hingga 400.000 untuk setiap suara, meskipun ada juga yang memberikan barang seperti detergen, jilbab, atau sembako.[11] Kompetisi yang semakin tinggi menuntut mereka melakukan kecurangan-kecurangan. Namun jika masyarakat bisa teredukasi dengan baik, maka praktik money politics menjelang pemilu tentu akan berkurang. Masyarakat yang memiliki pendidikan politik dan kesadaran politik yang tinggi akan memahami bahwa suara mereka memiliki dampak luar biasa terhadap keberlangsungan kehidupan politik Negara di masa depan. Maka, masyarakat juga akan lebih selektif memilih wakilnya dan secara otomatis pelaku money politics akan tersingkir.Â
 Partai politik juga harus menjalankan rekrutmen politik. Partai politik akan melakukan seleksi dan pemilihan terhadap seseorang yang dianggap layak menjalankan peran dalam sistem politik dan pemerintahan. Namun seringkali kader-kader partai tidak melewati sistem pengkaderan yang baik dan cenderung instan. Muncul fenomena "mahar politik" yang menjadi penyakit dalam proses pengkaderan dalam tubuh partai politik.
 Ada beberapa kasus "mahar politik" yang sempat ramai diperbincangkan. Seperti pengakuan La Nyalla yang mengatakan bahwa Prabowo meminta uang ratusan milyar kepadanya untuk pencalonan pilkada Jawa Timur pada tahun 2018. Namun, hal tersebut sempat dibantah oleh Fadli Zon bahwa ia yakin ada kesalahpahaman komunikasi, bahwa Prabowo hanya menanyakan kesiapan finansial La Nyalla sebagai kebutuhan logistiknya selama Pilkada Jatim 2018. Selain itu ada pengakuan lain dari pasangan John Krisli dan Maryono. Menurut pengakuan John, ia diminta oleh Partai Gerindra di Palangkaraya untuk membayar uang satu kursi sebesar Rp 350 juta, demi mendapatkan rekomendasi. Ia pun harus mengeluarkan 1,4 miliar sebab kursi Gerindra di DPRD Kota Palangkaraya berjumlah 4 kursi. [12]
Jelas jika partai politik tidak bisa menghasilkan pemimpin yang baik. Sebab mereka bukan lahir dari proses pengkaderan dari bawah, melainkan saling bersaing lewat besarnya mahar yang berani mereka berikan kepada partai politik, demi mendapatkan surat rekomendasi. Maka, hanya orang-orang dengan harta yang melimpah saja yang memiliki peluang lebih besar untuk menjadi wakil di parlemen atau bahkan menjadi kepala daerah. Padahal seharusnya para pemimpin merupakan orang yang memiliki kemampuan sebagai wakil rakyat.
 Pada laporan keuangan Partai Gerindra pada tahun 2014, beban pelatihan kaderisasi kurang lebih sebesar Rp 496 juta sedangkan biaya kampanye untuk periode 2014/2019 mencapai kurang lebih Rp 3,5 miliar.[13] Hal ini menunjukkan bahwa partai masih memprioritaskan pendanaan hanya pada saat pemilu, terutama untuk dana kampanye. Namun tidak begitu menaruh perhatian pada pengkaderan.Â
Alternatif Skema Pembiayaan Partai PolitikÂ
Berdasarkan jurnal Integritas KPK Volume 4 Nomor 1, ada tiga alternative terkait skema pembiayaan partai politik yakni[14] :
- Pola pendanaan 100 persen subsidi dari negara, sehingga negara akan membiayai semua kebutuhan partai dan partai tidak diperkenankan untuk memperoleh sumber dana lainnya. Dengan begitu para calon yang memang berdedikasi bisa mencalonkan diri dan bersaing secara sehat tanpa harus mengeluarkan "mahar politik" yang besar untuk memenuhi kebutuhan partai. Namun disisi lain juga bisa mengubah partai menjadi tidak obyektif dalam menilai kebijakan pemerintah. Partai akan takut untuk bersikap berseberangan dengan pemerintah. Selain itu, Negara juga harus bisa menghitung secara tepat berapa dana yang layak dikeluarkan untuk sebuah partai politik agar partai bisa menjalankan fungsi-fungsinya tanpa harus kesulitan mencari tambahan dana lagi. Sebab hal ini tentu akan mempengaruhi pengeluaran-pengeluaran Negara untuk sector lainnya, terutama sector sentral seperti pendidikan dan kesehatan.
- Pola pendanaan dengan menaikkan bantuan dari pemerintah. Pada pola ini Negara tidak membiayai partai secara keseluruhan namun dana bantuan dari Negara harus lebih besar, sehingga partai politik tidak begitu kesulitan untuk mencari dana lain untuk menutupi kekurangan anggaran. Meskipun begitu tetap ada kekurangan terkait pola ini sebab Negara masih mendominasi pembiayaan sehingga dikhawatirkan partai juga akan kehilangan kemandirian dan daya kritisnya terhadap kebijakan pemerintah. Padahal partai politik juga memiliki fungsi control politik, dimana partai politik bisa menunjukkan letak kesalahan, kelemahan, atau bahkan penyimpangan sebuah kebijakan. Selain itu pada proses audit, negara juga akan mengalami kesulitan sebab ada sumber dana lain di luar bantuan Negara. Untuk bisa menentukan rasio yang tepat tetap membutuhkan penelitian lebih lanjut dan lebih professional. Â
- Pola pendanaan model Turki, hal ini karena Turki dan Indonesia memiliki beberapa kesamaan terkait demografi, sejarah politik, dan level perkembangan demokrasi. Pada pola ini, Turki memberi subsidi sebesar 90 persen dari total pendapatan setiap partai. Kelemahan tipe ini adalah partai yang masih baru akan kesulitan bersaing dengan partai yang sudah mapan.