Pandemi yang belum juga berakhir membuat banyak orang menghabiskan waktunya di dunia maya. Termasuk juga para siswa dan mahasiswa yang melakukan pembelajaran secara daring, membuat pertemanan mereka banyak didominasi oleh teman-teman virtual yang menyukai hal yang sama, seperti K-Pop. Namun, memiliki fan-account atau akun sosial media yang khusus dibuat untuk tujuan fangirling, ternyata juga bisa membahayakan.Â
      Beberapa minggu lalu Twitter dan Tiktok cukup ramai membicarakan perilaku doxxing yang dilakukan oleh sesama penggemar K-Pop yang berbeda fandom (sebutan klub atau kelompok penggemar K-Pop yang menyukai artis/idol yang sama). Awalnya si X membuat konten di TikTok dengan mengajukan pertanyaan "Fandom apakah yang paling toxic?". Lalu si content creator ini menyebutkan salah satu fandom yang memiliki jumlah penggemar yang sangat banyak.
      Konten TikTok ini kemudian memicu kemarahan banyak pihak terutama dari fandom tersebut. Tidak berhenti dari situ, netizen mulai perang argumentasi sampai beberapa oknum melakukan doxxing terhadap pembuat konten.Tindakan tersebut bahkan memicu beberapa akun centang biru di Twitter ikut berkomentar. Lantas, apa itu doxxing? Dan apakah hal tersebut berbahaya? Jika iya, bagaimana kita bisa melindungi diri ketika berinteraksi di ranah maya?
Definisi Doxxing
       Doxxing berasal dari dua kata bahasa Inggris yakni 'doxx' atau dokumen dan 'dropping' atau jatuh (Urban Dictionary).Secara sederhana berarti menjatuhkan dokumen atau lebih tepatnya pada kontek menjatuhkan nama seseorang, sebab dokumen biasanya berisi hal-hal penting bagi seseorang.
      Berdasarkan penjelasan dari U.S. Department of Homeland Security (2017), doxxing merujuk pada aktivitas mengumpulkan data-data personal individu yang dapat diidentifikasi (Individual's Personally Identifiable Information) dan mengungkapkannya atau mempostingnya secara publik. Hal tersebut dilakukan biasanya untuk tujuan jahat seperti penghinaan publik, penguntitan, pencurian identitas, atau menargetkan individu untuk pelecehan.
Bentuk Rupa DoxxingÂ
      Dalam ruang siber, sangat mudah untuk membuat akun sosial media dan "persona" tanpa perlu menggunakan identitas asli. Dengan adanya kemudahan tersebut, seringkali pelaku doxxing berlindung dibawah anonimitas ketika menyerang seseorang. Setelah selesai melakukan doxxing hingga tujuan tercapai, mereka bisa saja langsung menghapus alamat IP dan akun tersebut untuk menghilangkan jejak.Â
      Selain itu, perlindungan data-data pribadi digital kita juga belum tersimpan dengan baik. Pada kasus doxxing penggemar K-Pop tersebut, pelaku bahkan dengan mudah menghimpun data si content creator dari database publik seperti PDDikti (Pangkalan Data Perguruan Tinggi). Cukup dengan memasukan nama lengkap, maka rekam data pendidikan mulai dari nama universitas, jurusan, tahun masuk, dan status kemahasiswaan bisa didapatkan.Â
      Sekali pun data-data tersebut tersimpan dalam database publik dan dapat diakses oleh siapa saja, namun pengungkapan tanpa adanya consent atau persetujuan terhadap pemilik data tetap perbuatan ilegal. Hal ini karena kita tidak pernah tahu tujuan orang-orang yang mengumpulkan data-data ini. Bukan kah ketika kita memberikan nomor telepon teman kepada orang lain, kita juga harus meminta ijin terlebih dahulu, kan?Â
Menjaga Sikap dalam Ranah MayaÂ
       Tidak ada asap, jika tidak ada api. Ketika berinteraksi di ranah maya, sangat perlu untuk memahami etika dalam bersosial media. Pada kasus tersebut, awalnya memang dipicu oleh si content creator yang sengaja membuat konten yang memicu pertikaian virtual. Dengan masifnya internet dan sosial media sekarang ini, banyak content creator yang hanya mementingkan angka. Mereka ini hanya melihat poin bahwa konten harus viral, tanpa memperdulikan ekosistem internet yang sehat.
      Dalam buku "Show Your Work", ada beberapa pertanyaan yang wajib dijawab sebelum mengupload atau memposting sesuatu di internet. Tanyakan kepada dirimu sendiri, "Apakah ini bermanfaat? Apakah ini menghibur? Apakah hal ini membuat saya nyaman jika bos atau Ibu saya melihatnya?" (Kleon, 2014).Berhati-hati ketika membuat konten dan membagikannya akan meminimalisir hal-hal yang membahayakan bagi diri kita sendiri.
      Termasuk ketika berinteraksi, tidak semua hal harus kita respon. Membela kelompok atau idola tidak perlu dilakukan secara berlebihan. Apalagi kita tidak saling mengenal dengan baik di internet. Apakah kita sampai harus merelakan nalar dan nurani untuk menyerang orang lain demi oppa? Semoga kita bisa bijaksana ketika bersenang-senang dalam ranah maya, ya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H