Melahirkan lulusan yang mandiri, produktif, dan memiliki kepedulian sosial sehingga mampu berperan dalam upaya pemutusan mata rantai kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat.
Dilansir dari halaman Pusat Layanan Biaya Pendidikan (Puslapdik) tentang Fakta-Fakta KIP Kuliah tahun 2023, sebesar Rp 13,9 triliun sudah disiapkan untuk membiayai 985.577 penerima program. Ditargetkan, tahun 2024 ini mencapai 200 ribu calon penerima baru. Sasaran utama penerima program ini adalah siswa yang memiliki KIP Dikdasmen ketika duduk di bangku SMP dan SMK/Sederajat. Namun, belum lama ini, program juga menyasar pada calon mahasiswa dengan keluarga partisipan Program Keluarga Harapan (PKH), pemeroleh Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) yang lulus jalur seleksi program studi. Dengan kualifikasi serta implementasi yang telah dilakoni sejauh ini, Puslapdik memperhitungkan bahwa program yang diluncurkan cukup berjalan pesat, diantaranya dengan fakta sebagai berikut:
Semenjak Bidikmisi dilabuhkan pada tahun 2010 yang kemudian bertransformasi menjadi KIP Kuliah tahun 2020, sampai saat ini beralih selaku KIP Kuliah Merdeka 2021, Pemerintah berhasil memberi kesempatan bagi lebih dari satu juta mahasiswa tidak mampu untuk melanjutkan pendidikan;
Kapasitas penerima bantuan program ini melambung 500 persen;
Penerima KIP berjenis kelamin wanita melonjak, yang artinya perempuan semakin mengiat akses pendidikan.
Catatan Kegagalan Implementasi Program Bidikmisi
Walaupun Pemerintah menilai bahwa program bidikmisi telah sesuai dengan rencana dibuktikan dengan berbagai fakta lapangan yang terselip, sayangnya, dalam implementasinya, belum sesuai dengan sasaran. Memang, frekuensi dan kapasitas penerima program naik berganda, tetapi dilemma yang selalu menjadi pertanyaan di benak saya ialah “apakah program yang meluas ini memang betul-betul hadir sebagai pasokan akses pendidikan dan memberantas kesenjangan bagi masyarakat miskin, atau justru berpaling haluan ‘tuk memperkaya pihak-pihak yang telah diatas?”
Berdasarkan laporan berita yang diterbitkan langsung oleh Tribun News pada Selasa, 18 Juli 2023 bertajuk “Curhat Mahasiswa Miskin Tidak Lolos KIP Kuliah, Gaji Orang Tua Cuma Rp750.000, Ini Kata Kemendikbud” mengisahkan keresahan mahasiswa tentang sulitnya finansial keluarga sehingga mengusutkan mimpinya untuk mengejar pendidikan sarjana. Baginya, pemasukan yang diterima oleh keluarga dengan biaya kuliah yang dibebankan sangatlah tidak setara, dalam asumsinya bagaikan langit dan bumi. Adapun, kekalutan mahasiswa tersebut terjadi akibat kandasnya harapan mengakses pendidikan gratis dari program bidikmisi. Hal serupa sebetulnya juga terjadi kepada bermacam-macam mahasiswa di berbagai belahan kota di Indonesia.
Bagai dua sisi mata uang, realisasinya, bidikmisi ternyata diterima langsung oleh segelintir mahasiswa licik yang menghalalkan beragam siasat ‘untuk memperoleh keuntungan. Pada akhirnya menjadi akibat gugurnya mahasiswa yang benar-benar membutuhkan pada program ini. Sejalan dengan penelitian tentang “Perilaku Hedonisme Pada Penerima Bidikmisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tadulako (Analisis Pesan Artefaktual) disebutkan bahwasanya penerima beasiswa bidikmisi yang tidak tepat sasaran cenderung berperilaku hedonisme dengan menilik tubuhnya melalui pakaian, kosmetik, maupun koleksi barang mewah lantas meraup semaraknya sendiri. Terlepas dari hedonisme, penerima bidikmisi tersebut cenderung mengembangkan konsep dirinya melalui interaksi antar-mahasiswa persoalan emosi, nilai, fisik, talenta, peran, dan sebagainya.
Berdasarkan pokok bahasan dan pangkalan yang merujuk pada berita faktual serta hasil penelitian, maka dapat disimpulkan, yaitu program bidikmisi merupakan sebuah strategi tepat untuk mempersempit ketimpangan yang tampak nyata didepan mata, khususnya di bidang pendidikan. Hanya saja dalam penerapannya timbul berbagai polemik. Salah satunya adalah bantuan bidikmisi sering kali tidak tepat sasaran berujung pada ketidakoptimalan pemberdayaan sesuai target.
Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan tinggi seharusnya lebih memperhatikannya, salah satu solusi yang dapat dilaksanakan adalah memberikan proses seleksi yang ketat kepada calon penerima program agar program Bidikmisi dapat berjalan dengan efektif dan tentunya tepat sasaran. Sebab, sangat disayangkan bilamana program ini justru mencekik kaum miskin dan menguntungkan kaum kelas atas. Padahal sejatinya program ini memiliki pretensi mahardika setala dengan poin utama Sustainable Development Goals (SDGs). Amat disayangkan jikalau permasalahan ini terus menumpuk sehingga menjadi hambatan dalam upaya menyetarakan akses pendidikan di Indonesia.