Halim seorang pemuda tamatan SMK, anak satu-satunya dari seorang janda, ibu Zaleha. Saat ini, wanita ringkih yang sangat disayanginya. Sedang terbaring lemah di dipan tua dengan kasur lapuk dan tipis. Batuk yang dideritanya membuat ia hanya mampu berbaring.
Halim memiliki cita-cita ingin melanjutkan pendidikan hingga ke perguruan tinggi. Apa daya kemiskinan akhirnya membuat ia menyerah pada nasib. Ia harus bekerja, tetapi saat pandemie mencari pekerjaan sangatlah sulit.
Khuk...Khuk... khuk..., terdengar batuk dari dinding reot berbahan bambu di kamar bu Zaleha. Halim menghampiri sambil membawa segelas air hangat. Tampak bu Zaleha mengusap sepercik darah di bibirnya.
"Minum bu!" ujar Halim.
"Maaf Halim hanya dapat memberi air putih untuk ibu. Hari ini Halim akan mencari pekerjaan, agar dapat membeli obat untuk ibu," kata Halim.
"Maaf ya nak! Harusnya tahun ini kamu bisa melanjutkan kuliah. Karena ibu sakit kamu jadi gagal untuk kuliah."
"Tak apa bu! Halim sudah tak minat untuk kuliah, otak Halim sudah lemot untuk berpikir. Sudah cukup ibu bekerja selama ini, demi Halim bisa sekolah. Sudah waktunya bagi Halim membahagiakan ibu," jawab Halim.
Padahal apa yang terbersit di hatinya, tak sesuai dengan apa yang ada di ucapkannya. Tetapi ia tak mau membuat ibunya bersedih. Selama ini bu Zaleha telah bekerja keras menjadi seorang pembantu demi menyekolahkannya.
Ayahnya telah pergi meninggalkan mereka, sejak ia masih SD. Sakit keras dan tak ada biaya untuk berobat, hingga ajal menjemputnya. Sejak itulah bu Zaleha bekerja keras agar anak semata wayangnya menjadi orang sukses. Apalah daya kini impian Halim harus dikubur dalam mimpi. Penyakit tuberkulosis yang semakin hari semakin parah membuat bu Zaleha tak mampu lagi untuk bekerja.
Mentari mulai menampakkan senyumannya. Burung-burung telah meninggalkan sarangnya. Suara merdu jangkrik bernyanyi, telah hilang berganti dengan datangnya sang surya. Pagi ini Halim bermaksud mencari kerja. Dengan ijazah SMK yang ia miliki. Semoga ada pekerjaan yang ia dapatkan.Hanya dengan berjalan kaki, perusahaan hingga toko yang ia kunjungi. Tak satupun menerima lamaran dari seorang siswa yang tak memiliki pengalaman bekerja.
Mentari semakin tinggi. Sinarnya terasa membakar kulit. Keringat telah bercucuran di sekujur tubuhnya. Perutnya sudah mulai terasa lapar. Hanya segelas air putih yang mengisi tenggorokannya dari malam hingga siang ini. Perih mulai terasa. Membayangkan ibu yang sedang sakit. Orang tua satu-satunya, yang ia miliki. Membuat semangatnya kembali hadir.
Ia melewati sebuah toko kecil. Tampak seorang pria paruh baya. Terkantuk-kantuk di depan meja kasir. Ia mencoba masuk. Kehadirannya masih tak terlihat oleh pria tersebut. Niatnya yang tadi ingin mencari pekerjaan, menjadi urung karena perut yang semakin perih. Tak sadar langkah kakinya sampai di tumpukan roti dalam keranjang. Ia meneguk saliva. Tengok kiri kanan. Toko dalam keadaan sepi. Tak terlihat CCTV di toko tersebut. Ia meraih beberapa roti isi coklat.
"Maafkan Halim ibu. Hingga kini Halim, belum mendapatkan pekerjaan. Di rumah sudah tak ada yang bisa di makan," ia berucap dalam hati.
Setelah memasukkan roti-roti tersebut ke dalam bajunya. Ia segera keluar dari toko. Pria paruh baya, yang berada di depan meja kasir, masih terlingat mengantuk. Ia menguap. Halim telah sampai di luar toko. Ia segera berlari menuju rumahnya.
Tibalah Halim di rumah, ia segera menghampiri ibunya.
"Alhamdulillah bu, Halim dapat rezeki hari ini. Kini Halim bekerja di toko kecil, lumayanlah. Walau hanya roti yang hari ini dapat Halim bawa pulang. Semoga dapat menahan rasa lapar ibu," ungkapnya.
"Alhamdulillah, ini roti makanan orang-orang kaya, nak!, terima kasih engkau telah berusaha anakku," ucap syukur ibu Zaleha.
Tak lupa Halim mengambilkan segelas air putih untuk ibunya. Tiba-tiba, bu Zaleha memuntahkan roti yang ia makan. Perutnya bertambah sakit. Bukan hanya karena rasa lapar yang mendera. Tetapi juga sakit yang melilit. Halim panik. Melihat keadaan ibunya, yang semakin payah. Ia segera berlari ke luar rumah. Bermaksud memohon pertolongan kepada tetangga sekitar rumah.
"Tunggu!, jangan kabur," seorang lelaki paruh baya mencekal lengannya.
Halim terperangah. Ia gemetar ketakutan. Kakinya mulai goyah. Ia bersimpuh. Napasnya terengah-engah. Bibirnya kelu, untuk mengucap kata maaf. Ia menundukkan kepala. Di depannya, pria paruh baya, yang rotinya ia curi. Berada tepat di hadapannya. Apa jadinya, jika pria tersebut membawanya ke kantor polisi. Sedang ibunya terbaring sakit di pembaringan. Halim menangis. Ia bukan lelaki cengeng. Halim sadar. Ia salah.
"Bangun nak, jangan takut, bapak telah memaafkanmu," ucap pria paruh baya tersebut.
"Roti yang kau ambil, itu roti kadaluarsa. Makanya tidak disimpan di rak. Bapak kesini, untuk memberitahukanmu. Sangat berbahaya memakan roti tersebut," kata pria paruh baya tersebut.
"Maaf pak, jangan bawa saya ke kantor polisi. Ibu saya sedang sakit. Penyakitnya tambah parah setelah makan roti tersebut. Tolong ibu saya pak," Halim memohon.
"Ayo!, kita segera bawa ibumu ke rumah sakit. Bapak panggil taxi dulu," kata pria paruh baya, yang ternyata bernama Pak Usman.
Setelah taxi tiba, bu Zaleha segera di bawa ke rumah sakit. Pak Usman, segera melunaskan biaya administrasi. Ia tahu, Bu Zaleha dan Halim, pasti tak memiliki uang untuk membayar biaya pengobatan.
Setelah melunasi biaya administrasi. Pak Usman kembali menemui Halim.
"Siapa namamu nak?" tanya nya.
"nama saya Halim pak," jawab Halim.
"Sebenarnya saya bermaksud mencari kerja. Saya ingin mengobati ibu, yang telah lama sakit. Hanya ibu yang saya miliki di dunia ini. Tetapi apa daya, tak ada satupun perusahaan, bahkan toko yang menerima saya. Saya panik, sedang tak ada makanan di rumah. Saya mohon maaf. Saya khilaf pak!," ceritanya panjang lebar.
"Kamu sebenarnya anak baik, biarlah ibumu di rawat di rumah sakit ini hingga sembuh. Semua biaya perawatan ibumu, telah bapak lunasi. Untuk sementara kamu bisa bekerja di toko bapak. Bapak semakin tua, harusnya bapak beristirahat. Tetapi tak ada satupun anak bapak, yang mau menggantikan bapak. Mereka memiliki usaha sendiri. Maukah kamu membantu bapak, mengelola toko?" tanya Pak Usman.
"Alhamdulillah, terima kasih pak, entah dengan apa saya sanggup membayar budi bapak," ungkap tulus Halim.
"Dekatkan dirimu pada Allah. Jujur serta bertanggung jawablah dalam bekerja. Bersikap baik pada semua orang. Cukup dengan hal tersebut, kamu membayarnya," kata pak Usman.
"Insyaallah pak, saya memohon bimbingan bapak. Terima kasih, bapak telah peduli dengan ibu dan saya. Saya akan bekerja dengan keras. Saya akan buktikan, bahwa saya mampu," jawab Halim.
"Tidak ada sesuatu yang terjadi, tanpa adanya campur tangan Allah."
Ibu Zaleha telah sembuh. Halim menjadi orelah menjadi orang kepercayaan Pak Usman. Ia bekerja sambil kuliah. Universitas Terbuka menjadi pilihannya. Fakultas Ekonomi Manajemen yang ia ambil. Kehidupannya mulai membaik. Ilmu agama juga dipelajari. Hingga tanpa terasa, kini ia telah menyelesaikan sarjananya.
Pak Usman menjodohkan Halim, dengan anak bungsunya. Mereka hidup bahagia. Toko Pak Usman, yang kini diserahkan kepada Halim. Semakin maju dan berkembang. Cabangnya, telah ada di beberapa kecamatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H