Tidak, bukan aku. “Ini pertama kalinya aku berada di Wesley,” kataku sedikit gugup. Apakah kamu dari sini?
“Saya lahir di sini, di Wesley, tapi saya sering bepergian. Namun, saya selalu kembali. “Tidak mungkin meninggalkan pulau ini,” ucapnya sambil tersenyum lagi.
Namanya Marwah. Kami berbincang sepanjang sore, berjalan melewati jalan berbatu, di antara gedung-gedung berwarna-warni yang sudah usang, namun penuh kehidupan. Seolah-olah kota itu sendiri sedang mengawasi kami, terlibat dalam apa pun yang mulai terjadi di antara kami. Setiap sudut Wesley terasa istimewa dengan dia di sisiku, seolah keajaiban Wesley mengikutinya kemanapun dia pergi.
Hari-hari berlalu, dan setiap kali aku bangun, aku tidak sabar untuk bertemu dengannya. Itu membawa saya ke tempat-tempat yang tidak akan pernah saya temukan sendiri.
Kami berjalan di sepanjang Malecón saat matahari terbenam, dengan matahari mewarnai langit oranye dan merah saat ombak menghantam bebatuan.
Kami mengunjungi jalan-jalan yang penuh kehidupan di Wesley, dengan musik, tawa, dan percakapan yang keluar dari jendela-jendela gedung. Kami juga pergi ke Plaza, tempat Marwah bercerita kepada saya tentang sejarah negaranya, perjuangannya, kecintaannya pada tanah airnya.
Tapi ada sesuatu yang lain pada dirinya, sesuatu yang tidak bisa dipahami. Seolah-olah, di balik keindahan itu, di balik senyuman itu, ada bayangan, sebuah rahasia yang belum siap terungkap.
Suatu malam, di bawah langit berbintang Wesley, dia mengakui sesuatu kepadaku yang membuatku membeku.
“Aku tidak seperti yang kamu kira,” katanya tiba-tiba, saat kami sedang duduk di pantai kecil di selatan Wesley.
“Apa maksudmu?” Aku bertanya padanya, merasa ada sesuatu yang akan pecah.
Hidupku tidak seperti yang terlihat. Ada hal-hal yang tidak bisa kuceritakan padamu, tapi aku ingin kau memahaminya, betapapun aku menginginkannya, aku tidak bisa tinggal di sini bersamamu. Saya harus segera pergi, dan saya tidak dapat memberitahu Anda kapan dan mengapa.