Di bawah sinar bulan Alea berjalan sendirian melalui jalan-jalan sempit berbatu di Wesley, sebuah kota kecil yang dikelilingi pegunungan dan diselimuti kabut hampir sepanjang tahun.
Dia datang ke sana untuk melarikan diri dari kehidupannya di kota, mencari ketenangan yang hanya bisa ditawarkan oleh tempat terpencil. Dia tidak pernah mengira hidupnya akan berubah drastis, apalagi menemukan cinta di sudut yang gelap.
Suatu malam, saat berjalan melewati kuburan, ada sesuatu yang berubah. Angin berhenti bertiup, kicauan jangkrik pun mereda, dan perasaan kehadiran menjalari dirinya dari ujung kepala hingga ujung kaki.
Saat itulah dia melihatnya untuk pertama kalinya: seorang pria jangkung, dengan rambut hitam dan mata yang sangat gelap, berdiri di bawah cahaya bulan yang pucat.
Ia tampak seperti sosok yang diambil dari masa lain, berpenampilan anggun yang tidak sesuai dengan tempat atau waktu.
“Selamat malam,” katanya, suaranya lembut namun bergema.
Alea, meski terkejut, tidak merasa takut. Ada sesuatu dalam dirinya yang anehnya terasa familier. Seolah-olah dia sudah mengenalnya selamanya, meskipun dia belum pernah melihatnya sebelumnya.
"Selamat malam," jawabnya sambil menatapnya, mencoba mencari tahu siapa pria yang muncul di hadapannya di tempat yang paling tidak terduga.
"Aku sudah menunggumu," tambahnya, mengambil langkah ke arahnya.
—Menungguku? —Alea bertanya, merasakan jantungnya mulai berdebar kencang.
-Ya. Nama saya Adrian. —Dia tersenyum sedikit—. Aku sudah lama di sini, menunggu seseorang sepertimu.
Alea tidak memahami kata-katanya, tetapi sesuatu dari cara dia mengucapkannya, dalam intensitas tatapannya, menarik perhatiannya. Minggu-minggu berlalu, dan dia mendapati dirinya kembali ke pemakaman malam demi malam, mencari teman Adrian.
Percakapan mereka mendalam, penuh kemurungan yang menggoda. Di sisinya, waktu seolah berhenti, dan tanpa disadari Alea mulai jatuh cinta.
Adrián misterius, dia tidak pernah membicarakan masa lalunya atau mengapa dia selalu berada di kuburan, tapi Alea tidak berani bertanya terlalu banyak.
Hubungan di antara mereka begitu kuat sehingga dia tidak ingin mematahkan mantra yang mengelilingi mereka. Dia merasa hidup di sampingnya, seolah apa yang dia cari sepanjang hidupnya akhirnya muncul di hadapannya.
Namun ada yang tidak beres pada diri Adrian. Meskipun dia penyayang dan penuh perhatian, ada malam-malam ketika wajahnya berubah. Kulitnya tampak lebih pucat, matanya lebih gelap.
Alea mulai memperhatikan detail-detail kecil yang aneh: cara dia selalu menghindari menyentuh tanah secara langsung, bagaimana dia tidak pernah muncul di siang hari, bagaimana napasnya tidak pernah berkabut di udara dingin.
Suatu malam, Alea memutuskan untuk mengikutinya. Dia memperhatikannya berjalan menuju hutan di belakang kuburan, bergerak dengan keanggunan manusia super.
Ketika dia kehilangan pandangannya, dia mengikuti jejaknya ke ruang bawah tanah kuno, tersembunyi di balik semak-semak. Jantungnya berdebar kencang saat dia membuka pintu batu dan menuruni tangga menuju ruang bawah tanah.
Apa yang dia temukan di sana mengubah segalanya.
Adrián sedang berdiri di depan peti mati marmer, tangannya bertumpu pada tutupnya, pandangannya hilang ke suatu tempat di luar apa yang terlihat. Alea memperhatikannya dalam diam, tiba-tiba memahami kebenaran.
Adrian bukan manusia. Dia telah meninggal berabad-abad yang lalu, namun disinilah dia, berjalan di antara makhluk hidup, terjebak dalam semacam kutukan yang membuatnya berada di antara dua dunia.
Mendengar langkah kakinya, Adrian berbalik. Matanya yang tadinya bersinar karena cinta, kini tampak dipenuhi rasa sakit.
“Kau tahu ini akan terjadi,” katanya, suaranya bergetar. Saya tidak bisa menawarkan apa yang Anda inginkan. Aku tidak bisa menjadi bagian dari hidupmu seperti pria normal.
Patah hati, Alea menatapnya, merasakan air mata mulai mengalir. Namun meskipun ada ketakutan, meskipun ada wahyu, cintanya pada pria itu tidak berubah.
“Aku tidak peduli siapa dirimu,” jawabnya sambil mendekatinya. Aku mencintaimu, Adrian. Tidak masalah apakah Anda milik dunia ini atau bukan.
Adrián mundur selangkah, menghindari sentuhannya.
Kamu tidak mengerti, Alea. Cintaku adalah kutukan. Upaya apa pun untuk bersatu hanya akan membawa kematian dan kehancuran. Aku tidak hidup... Aku tidak bisa memberimu kehidupan.
Tapi Alea, dengan tekad, semakin mendekat. Pada saat itu, tanah di bawah mereka bergoncang, dan angin dingin menyerbu ruang bawah tanah.
Dinding-dindingnya sepertinya beresonansi dengan suara-suara di kejauhan, seolah-olah jiwa-jiwa yang terperangkap di tempat itu sedang memperingatkan bahaya.
“Kalau begitu aku akan mati bersamamu,” bisik Alea tanpa rasa takut, rela melakukan apapun agar tidak kehilangan dia.
Adrián, wajahnya penuh kesedihan, akhirnya memeluknya, membiarkan bibir mereka bertemu dalam ciuman penuh rasa sakit dan gairah. Pada saat itu, ruang bawah tanah runtuh di sekitar mereka. Dunia yang mereka tahu memudar, dan mereka berdua terhanyut ke tempat yang melampaui waktu.
Alea tidak merasa takut. Nasibnya tidak lagi penting.
Bersama-sama dalam kegelapan dan bayang-bayang itu, cinta mereka akan menjadi sebuah legenda, sebuah kisah teror dan romansa, tentang dua jiwa yang seharusnya tidak pernah bertemu, namun memutuskan untuk menghadapi takdir untuk tetap bersatu, bahkan dalam kematian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H