Adrian bukan manusia. Dia telah meninggal berabad-abad yang lalu, namun disinilah dia, berjalan di antara makhluk hidup, terjebak dalam semacam kutukan yang membuatnya berada di antara dua dunia.
Mendengar langkah kakinya, Adrian berbalik. Matanya yang tadinya bersinar karena cinta, kini tampak dipenuhi rasa sakit.
“Kau tahu ini akan terjadi,” katanya, suaranya bergetar. Saya tidak bisa menawarkan apa yang Anda inginkan. Aku tidak bisa menjadi bagian dari hidupmu seperti pria normal.
Patah hati, Alea menatapnya, merasakan air mata mulai mengalir. Namun meskipun ada ketakutan, meskipun ada wahyu, cintanya pada pria itu tidak berubah.
“Aku tidak peduli siapa dirimu,” jawabnya sambil mendekatinya. Aku mencintaimu, Adrian. Tidak masalah apakah Anda milik dunia ini atau bukan.
Adrián mundur selangkah, menghindari sentuhannya.
Kamu tidak mengerti, Alea. Cintaku adalah kutukan. Upaya apa pun untuk bersatu hanya akan membawa kematian dan kehancuran. Aku tidak hidup... Aku tidak bisa memberimu kehidupan.
Tapi Alea, dengan tekad, semakin mendekat. Pada saat itu, tanah di bawah mereka bergoncang, dan angin dingin menyerbu ruang bawah tanah.
Dinding-dindingnya sepertinya beresonansi dengan suara-suara di kejauhan, seolah-olah jiwa-jiwa yang terperangkap di tempat itu sedang memperingatkan bahaya.
“Kalau begitu aku akan mati bersamamu,” bisik Alea tanpa rasa takut, rela melakukan apapun agar tidak kehilangan dia.
Adrián, wajahnya penuh kesedihan, akhirnya memeluknya, membiarkan bibir mereka bertemu dalam ciuman penuh rasa sakit dan gairah. Pada saat itu, ruang bawah tanah runtuh di sekitar mereka. Dunia yang mereka tahu memudar, dan mereka berdua terhanyut ke tempat yang melampaui waktu.