Di sudut dunia yang terlupakan, di mana siang hari bagaikan bayang-bayang tak berujung dan malam diselimuti keheningan yang mematikan, terdapat sebuah kota kecil bernama Thales. Dikelilingi oleh dataran luas, gersang dan tandus, di mana tidak ada yang tumbuh kecuali pohon tua yang layu di tengah kota, dengan cabang-cabang bengkok yang seolah-olah mencakar langit.Â
Mereka yang tinggal di sana sudah melupakan rasa segarnya air dan aroma tanah subur. Mereka hanya mengenal kekeringan, kelaparan, dan yang terpenting, keputusasaan.
Di antara mereka hiduplah seorang wanita muda bernama Rena, dengan mata sedih dan kulit layu karena sinar matahari. Dia adalah putri seorang duda, seorang pria yang kehilangan harapan setelah kematian istrinya, dan kini hanya ada sebagai bayangan yang berkeliaran tanpa tujuan. Rena dikenal karena kebaikan dan suaranya, melodi di tengah tempat yang telah melupakan musik.Â
Setiap sore, saat matahari terbenam di balik pegunungan di kejauhan, dia menyanyikan sebuah lagu yang diajarkan ibunya, sebuah lagu yang berbicara tentang langit biru, sungai yang deras, dan kehidupan di balik cakrawala Thales yang kering.
Tapi langit tidak pernah merespon.
Tanah Thales dikutuk, atau begitulah kata para tetua. Mereka mengatakan bahwa, dahulu kala, kota ini diberkati dengan kelimpahan, hingga seorang raja yang angkuh dan serakah melampiaskan kemarahan para dewa dengan mencoba mengendalikan hujan.Â
Sebagai hukumannya, langit ditutup selamanya, dan kutukan menimpa semua generasi berikutnya. Tidak ada yang berubah, tidak peduli berapa banyak pengorbanan yang mereka persembahkan atau berapa banyak permohonan yang mereka panjatkan.
Namun, Rena  tak pernah berhenti bernyanyi. Dia percaya, jauh di lubuk hatinya, bahwa suaranya adalah satu-satunya harapan yang tersisa, bahwa suatu hari, surga akan mendengarkannya dan menghidupkan kembali Thales.Â
Namun imannya mulai melemah ketika ayahnya jatuh sakit. Setiap hari, saya melihatnya perlahan-lahan menghilang, tidak hanya diliputi oleh penyakitnya, tetapi juga oleh kesedihan karena hidup di dunia yang tidak adil. Tidak ada lagi yang bisa menyelamatkannya.
Suatu malam, saat Rena sedang merawat ayahnya, sesosok tubuh muncul di depan pintu rumahnya. Itu adalah sesuatu yang asing, sesuatu yang belum pernah terjadi di Thales selama bertahun-tahun. Pria itu mengenakan jubah gelap, dan wajahnya ditutupi tudung, namun suaranya lembut, hampir seperti bisikan angin yang hilang.
"Aku sudah mendengar lagu-lagumu," katanya. Langit juga telah mendengarnya.
Rena menatapnya dengan bingung. Tidak ada yang pernah menanggapi nyanyiannya. Namun pria itu melanjutkan.
"Ada cara untuk menyelamatkan ayahmu, membawa hujan dan kehidupan kembali ke Thales," katanya sambil menunjuk ke arah pohon layu di tengah desa. Namun itu bukanlah harga yang mudah untuk dibayar.
Rena mengikutinya keluar rumah, kakinya yang telanjang merasakan debu dan tanah kering di bawahnya. Pria itu membawanya ke pohon, di mana cabang-cabangnya melilit seperti tangan yang putus asa, dan berhenti.
"Pohon ini," katanya, "adalah kuncinya." Kutukan itu tidak bisa dipatahkan hanya dengan usaha satu orang saja. Itu membutuhkan pengorbanan. Surga akan membuka pintunya, namun ia membutuhkan sesuatu yang berharga, sesuatu yang belum pernah Anda berikan.
Rena memandang pria itu, hatinya dipenuhi ketakutan dan harapan. Jika ada cara untuk menyelamatkan ayah dan kotanya, dia akan melakukannya. Namun saat dia berbicara, suara pria itu menjadi lebih gelap.
Untuk mendatangkan hujan dan menyelamatkan ayahmu, kamu harus memberikan suaramu. Langit hanya akan merespon jika nyanyianmu, anugerahmu yang paling berharga, berubah menjadi keheningan abadi.
Rena merasa dunianya hancur. Suaranya adalah satu-satunya yang tersisa dari ibunya, satu-satunya hal yang memberi makna pada keberadaannya di tempat terpencil tersebut. Tapi jika itu berarti menyelamatkan ayahnya, rakyatnya, dan kotanya, tidak ada pilihan lain.
"Aku akan melakukannya," akhirnya dia berkata, dengan air mata berlinang.
Pria itu mengangguk pelan dan mengangkat tangannya ke arah pohon. Angin dingin mulai bertiup, menggerakkan dahan-dahan untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade. Dengan suara yang dalam, dia melafalkan kata-kata dalam bahasa kuno, dan tiba-tiba bumi berguncang. Awan mulai berkumpul di atas Thales, tebal dan hitam, menjanjikan hujan yang mereka rindukan.
Rena merasakan tenggorokannya perlahan tertutup. Dia mencoba bernyanyi, namun tidak ada suara yang keluar dari bibirnya. Suaranya, yang membawa harapan bagi ayahnya dan orang-orang, telah hilang selamanya.
Langit terbuka, dan hujan mulai turun. Pada awalnya, tetesan kecil, tetapi segera menjadi torrent yang tidak terkendali. Penduduk kota keluar dari rumah mereka, tertawa dan menangis, merasakan air membasahi wajah mereka untuk pertama kali dalam hidup mereka. Namun Rena, berlutut di bawah pohon, tidak mampu berbagi kegembiraannya dengan mereka.
Ketika dia kembali ke rumah, ayahnya menatapnya dengan mata penuh kehidupan baru. Penyakitnya sudah mulai mereda, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan, dia bangun dari tempat tidur. Tapi Rena tidak bisa memberitahunya apa pun.Â
Dia tidak bisa menjelaskan kepadanya apa yang telah dia lakukan. Dia hanya bisa menatapnya dengan air mata berlinang, mengetahui bahwa dia telah menyelamatkan hidupnya dengan imbalan kehilangan satu-satunya bagian dari dirinya yang membuatnya tetap terhubung dengan ingatan ibunya.
Hari-hari berlalu dan Thales berkembang. Ladang dipenuhi tanaman, sungai kembali mengalir, dan nyawa yang hilang akibat kekeringan pun pulih. Namun Rena hidup dalam diam, menyaksikan dari kejauhan pengorbanannya membawa kebahagiaan bagi semua orang kecuali dirinya.
Seiring berjalannya waktu, masyarakat Thales melupakannya. Tidak ada yang ingat pengorbanan yang telah dia lakukan, atau lagu yang biasa mengisi udara. Hanya pohon itu, yang dahannya kini hijau dan penuh kehidupan, yang mengetahui kebenarannya.Â
Dan setiap kali angin bertiup melewati dedaunannya, seolah-olah ia membisikkan melodi yang diberikan Rena sebagai imbalan atas keselamatan kota.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H