Langit terbuka, dan hujan mulai turun. Pada awalnya, tetesan kecil, tetapi segera menjadi torrent yang tidak terkendali. Penduduk kota keluar dari rumah mereka, tertawa dan menangis, merasakan air membasahi wajah mereka untuk pertama kali dalam hidup mereka. Namun Rena, berlutut di bawah pohon, tidak mampu berbagi kegembiraannya dengan mereka.
Ketika dia kembali ke rumah, ayahnya menatapnya dengan mata penuh kehidupan baru. Penyakitnya sudah mulai mereda, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan, dia bangun dari tempat tidur. Tapi Rena tidak bisa memberitahunya apa pun.Â
Dia tidak bisa menjelaskan kepadanya apa yang telah dia lakukan. Dia hanya bisa menatapnya dengan air mata berlinang, mengetahui bahwa dia telah menyelamatkan hidupnya dengan imbalan kehilangan satu-satunya bagian dari dirinya yang membuatnya tetap terhubung dengan ingatan ibunya.
Hari-hari berlalu dan Thales berkembang. Ladang dipenuhi tanaman, sungai kembali mengalir, dan nyawa yang hilang akibat kekeringan pun pulih. Namun Rena hidup dalam diam, menyaksikan dari kejauhan pengorbanannya membawa kebahagiaan bagi semua orang kecuali dirinya.
Seiring berjalannya waktu, masyarakat Thales melupakannya. Tidak ada yang ingat pengorbanan yang telah dia lakukan, atau lagu yang biasa mengisi udara. Hanya pohon itu, yang dahannya kini hijau dan penuh kehidupan, yang mengetahui kebenarannya.Â
Dan setiap kali angin bertiup melewati dedaunannya, seolah-olah ia membisikkan melodi yang diberikan Rena sebagai imbalan atas keselamatan kota.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H