Taman itu menghilang, dan tiba-tiba dia mendapati dirinya berada di tengah gurun gelap yang luas. Bintang-bintang bersinar dengan intensitas yang tidak nyata di langit, namun tanah di bawah kaki mereka terasa seperti abu. Kelinci itu masih ada di sana, di sisinya, tapi kini bulu putihnya tampak bersinar dengan cahayanya sendiri, dan tatapannya yang dulu lembut kini berubah tajam dan dingin.
-Dimana aku? —Isabella bergumam, suaranya bergetar.
"Kau di perbatasan," jawab sebuah suara yang dalam, suara yang sama yang didengarnya dalam bisikan.
Isabella menoleh ke segala arah, mencari sumber suara, namun tidak ada orang lain di sana. Hanya kelinci, yang kini berdiri dengan dua kaki, mengawasinya dengan ketenangan yang mencekam.
“Ini adalah tempat bertemunya orang hidup dan orang mati,” lanjut suara itu. Dan kamu, Isabella, telah menyeberang tanpa menyadarinya.
Teror mengambil alih dirinya. Dia mencoba bergerak, berlari, tapi kakinya tidak merespon. Pemandangan mulai berubah lagi, dan di depan matanya, gurun berubah menjadi taman, tapi bukan miliknya. Taman ini sudah mati, mawar-mawarnya hitam dan layu, dan bau busuk memenuhi udara.
"Kamu harus memilih," kata suara itu. Entah Anda tinggal di sini, atau kembali, tetapi bukannya tanpa membayar harga.
Isabella merasakan jantungnya berdebar kencang di dadanya. Dia tidak mengerti apa yang terjadi, tapi dia tahu dia harus keluar dari sana sebelum terlambat.
—Berapa harganya? —dia bertanya dengan suara tipis.
"Tamanmu," jawab suara itu. Mawar, harga dirimu, hidupmu. Jika Anda ingin kembali, Anda harus menyerahkan segalanya.
Kelinci yang dari tadi diam, melompat sedikit dan menghilang ke dalam bayang-bayang. Isabella, tidak tahu harus berbuat apa lagi, menganggukkan kepalanya. Dia tidak ingin tersesat di tempat aneh dan menakutkan itu. Dia ingin kembali ke rumah, meski itu berarti meninggalkan apa yang paling dia cintai.