Polarisasi ini bukan sekedar fenomena politik. Hal ini meluas ke setiap aspek kehidupan, mulai dari preferensi budaya hingga perdebatan ilmiah. Ungkapan "setuju untuk tidak setuju" sering kali dilontarkan, namun lebih sering daripada tidak, ungkapan tersebut terasa seperti plester untuk luka perpecahan yang lebih dalam. Kita dengan cepat menjuluki orang-orang yang tidak sependapat dengan kita sebagai "orang lain", karena kita tidak melihat sisi kemanusiaan dari sudut pandang mereka.Â
Psikologi di balik ketidaksepakatan, mengapa begitu sulit bagi kita untuk sepakat? Jawabannya sebagian terletak pada psikologi. Manusia pada dasarnya memiliki bias, dan bias ini membentuk cara kita memandang informasi. Bias konfirmasi, kecenderungan untuk mencari, menafsirkan, dan mengingat informasi yang menegaskan keyakinan kita yang sudah ada sebelumnya, memainkan peran penting dalam cara kita membentuk opini.Â
Begitu kita sudah mengambil keputusan, akan sulit untuk mengubahnya, bahkan jika dihadapkan pada bukti-bukti yang kontradiktif. Selain itu, disonansi kognitif---ketidaknyamanan yang dialami saat menganut dua keyakinan yang bertentangan---dapat menyebabkan orang menggandakan pandangan mereka alih-alih mengevaluasinya kembali.Â
Konten internet yang luas dan beragam memungkinkan kita menemukan bukti untuk mendukung pendirian apa pun, tidak peduli seberapa anehnya, sehingga mempermudah penyelesaian disonansi dengan menolak informasi yang bertentangan daripada menyesuaikan keyakinan kita.Â
Pencarian persamaan mengingat latar belakang ini, adakah harapan untuk menemukan titik temu? Jawabannya mungkin terletak pada penerimaan terhadap hal yang memisahkan kita: perbedaan-perbedaan kita. Menyadari bahwa perselisihan adalah bagian alami dari pengalaman manusia dan menyikapinya dengan rasa ingin tahu, bukan rasa permusuhan, bisa menjadi langkah pertama untuk menjembatani kesenjangan tersebut.
Dialog, empati, dan kesediaan untuk mendengarkan tanpa niat untuk merespons atau membujuk dapat membantu kita melihat nilai dalam berbagai perspektif. Selain itu, kita harus menumbuhkan lingkungan yang mendorong pemikiran kritis dan literasi media.Â
Dengan melengkapi diri kita dengan alat untuk menganalisis dan mempertanyakan informasi yang kita konsumsi, kita dapat mulai membongkar ruang gema yang membuat kita terpecah belah. Hal ini tidak berarti kita akan selalu setuju, namun hal ini dapat mengarah pada pertukaran ide yang lebih saling menghormati.Â
Kesimpulan, sebuah konsensus baru? Mungkin satu hal yang kita semua sepakati adalah bahwa perselisihan tidak bisa dihindari. Namun, hal ini tidak harus berdampak negatif.Â
Di dunia di mana tidak ada seorang pun yang bisa sepakat dalam hal apapun, kita mempunyai kesempatan untuk merayakan keberagaman pemikiran kita dan menggunakannya sebagai batu loncatan untuk inovasi, kreativitas, dan kemajuan.Â
Jika kita bisa mengubah pola pikir kita dari pola pikir oposisi menjadi pola pikir kolaborasi, kita mungkin akan menemukan bahwa nilai sebenarnya tidak terletak pada kesepakatan, melainkan pada kekayaan perspektif yang membentuk dunia kita. Lagi pula, dalam perselisihan kita sering kali kita menemukan pertumbuhan terbesar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H