Kehebatan Djoser dan piramida bertingkatnya tidak hanya terletak pada skala dan kompleksitasnya, namun juga pada kemampuannya menangkap imajinasi semua orang yang ingin memahami masa lalu Mesir yang penuh teka-teki. Di setiap batu piramida, di setiap sudut kompleks pemakamannya, bergema masa ketika ambisi manusia mulai mencapai ketinggian baru, dan para firaun, seperti Djoser, bangkit untuk menyentuh keilahian.
Imhotep menggunakan batu-batu kecil yang meniru batu bata yang digunakan sebelumnya. Hal ini merupakan upaya yang sangat besar karena jauh lebih sulit untuk menempatkan batu secara hati-hati dalam barisan daripada memindahkan batu besar yang dikerjakan. Oleh karena itu, orang Mesir belajar menangani balok besar dengan menggunakan garu, penggulung, dan air untuk mengurangi gesekan dan tenaga manusia. Beberapa mastaba Djoser adalah satu-satunya yang tersisa. Raja-raja kemudian, dimulai dengan dinasti keempat, berinovasi untuk menunjukkan keilahian mereka sendiri.Â
Seneferu melampaui pendahulunya dengan membangun piramida 8 lantai, ia mengisi celah di antara anak tangga hingga sisi-sisinya memberikan tampilan seragam dari dasar hingga puncak, ia menutupi seluruhnya dengan batu kapur putih yang bersinar di bawah sinar matahari, sehingga melampaui monumen manapun di dunia. Setelah dia, raja-raja membangun sekitar 80 piramida.
Imhotep, arsitek piramida berundak di Saqqara, adalah tokoh yang sangat berpengaruh sehingga ia didewakan sebagai dewa pengobatan dan kebijaksanaan di kemudian hari. Warisannya begitu signifikan bahkan di Kerajaan Baru, kuil-kuil didirikan untuk menghormatinya, dan para dokter Mesir menyebut namanya dalam doa dan perawatan mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H