Mohon tunggu...
Nadya Yasmine Khaerunnisa
Nadya Yasmine Khaerunnisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran

Seorang mahasiswa yang senang mengeksplorasi. Tertarik terhadap berbagai isu dan ingin menyumbangkan sudut pandang nya.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Negara Agraris Harus Siap Hadapi Krisis

9 Juli 2024   22:22 Diperbarui: 10 Juli 2024   07:10 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Daerah Persawahan Garut | Sumber: Dokumentasi Pribadi

Pernah dengar istilah 'you are what you eat'? Istilah ini menjelaskan pada kita bahwa untuk memiliki tubuh yang sehat, kualitas makanan yang baik menjadi kunci utama.

Pengadaan makanan berkualitas ini tentunya sangat berkaitan dengan pengadaan pangan oleh para petani. Faktanya, saat ini kita harus bersiap, dunia akan menghadapi tiga krisis global, krisis pangan, krisis energi, dan krisis finansial.

Sebagai salah satu negara agraris yang masih belum bisa memenuhi kebutuhan pangannya sendiri, krisis pangan merupakan hal yang sangat mendesak. Jangan sampai, sumber daya alam yang berlimpah di Indonesia ini tidak dapat kita manfaatkan dengan baik. Jangan sampai pula kita memakan makanan yang kurang berkualitas akibat ulah sendiri.  

Berjuang untuk Kedaulatan Pangan 

Indonesia masih perlu berjuang untuk mencapai kedaulatan pangan. Menurut Serikat Petani Indonesia, kedaulatan pangan adalah konsep pemenuhan hak atas pangan yang berkualitas, gizi baik, dan sesuai secara budaya. Ini merupakan hak setiap orang untuk menetapkan sistem pertanian, peternakan, dan perikanan tanpa adanya subordinasi dari pasar internasional. 

Secara singkat, kedaulatan pangan adalah konsep pemenuhan pangan yang berasal dari produksi lokal. Sangat disayangkan, hingga saat ini konsep kedaulatan pangan masih belum tercapai.

Meskipun demikian, negara sudah berusaha semaksimal mungkin untuk memenuhi kebutuhan pangan dengan melakukan impor. Namun apakah hal tersebut merupakan solusi yang bijak?

Negara yang Gemar Impor

Sudah menjadi rahasia umum bahwa Indonesia ini gemar impor pangan. Kebutuhan pangannya sangat tergantung dengan pasar internasional. Ada 9 bahan pokok di Indonesia, yaitu beras, susu, garam, bawang, gula, daging, minyak goreng, telur, dan ikan.

Sayangnya, selama 11 tahun terakhir Indonesia telah mengimpor 6 bahan pokok dari pasar internasional. Bahan pokok tersebut antara lain beras, susu, garam, bawang, daging, dan gula. Padahal, apabila ditarik lebih jauh, Indonesia merupakan negara yang kaya akan Sumber Daya Alam. Seharusnya, apabila dikelola dengan baik, Indonesia bisa berdikari dalam urusan pangan. 

Indonesia masih kalah oleh Singapura dalam hal ketahanan pangan. Dilansir dari website Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) Singapura menempati urutan teratas dalam hal ketahanan pangan di kawasan Asia Tenggara, berdasarkan indeks GFSI 2022. Sedangkan, Indonesia menempati urutan keempat. Hal ini diperparah apabila dilihat secara global. 

Ketahanan pangan indonesia berada pada peringkat 69 dari 113 negara. Sedangkan, Singapura berada pada peringkat 2. Ini artinya Singapura sudah meminimalisir angka impor pangan, berbeda dengan Indonesia masih ketinggalan. Seharusnya, dengan lahan pertanian yang cukup luas atau bahkan lebih luas dari Singapura, Indonesia bisa naik peringkat.

Sebenarnya alasan utama mengapa Indonesia selalu impor pangan adalah produksinya yang tidak dapat memenuhi kebutuhan rakyat. Hal ini dikarenakan, petani juga sering dihadapkan dengan kondisi-kondisi alam yang tidak dapat diprediksi. Contohnya adalah fenomena el-nino yang terjadi baru-baru ini. 

Selain itu, berkurangnya lahan pertanian juga menjadi masalah. Saat ini, banyak lahan pertanian yang dialih fungsikan menjadi bangunan perkantoran atau hunian. 

Teknologi Bisa Jadi Solusi

Dilansir dari website DPR RI, Wakil Ketua DPR RI Koordinator Bidang Industri dan Pembangunan Rachmat Gobel pada tahun 2021 pernah mengatakan bahwa pertanian merupakan fondasi ekonomi nasional dan harus dijaga. Gobel juga menambahkan bahwa solusi pertanian harus terintegrasi mulai dari soal modal, teknologi, hingga soal diversifikasi produk hilir pertanian.

Menyangkut soal teknologi, rasanya menjadi ironi. Pertanian sebagai salah satu pondasi utama dalam pertahanan pangan di Indonesia pada faktanya masih menggunakan alat produksi pertanian yang tertinggal. Hal ini terjadi terutama pada daerah pedesaan. Padahal, daerah pedesaan merupakan daerah yang memiliki potensi besar untuk pengembangan sektor pangan. 

Sebenarnya, Indonesia dapat mengambil contoh dari negara-negara lain yang telah menerapkan industri pertanian modern dengan baik. Misalnya, Indonesia dapat mencontoh Singapura dalam pengelolaan pangan. Dalam usaha peningkatan ketahanan pangan, Singapura melakukan tiga hal, pertanian perkotaan, teknologi pengolahan, dan sumber pangan alternatif. 

Pertanian perkotaan ini mencakup pertanian vertikal, akuaponik dan pemanfaatan IoT dalam industri pertanian. Teknologi pengolahan berfokus pada pengawet alami, pengemasan kreatif, hingga pengelolaan limbah makanan. Terakhir, sumber pangan alternatif termasuk di dalamnya mempertimbangkan peternakan serangga, mikroalga, dan daging olahan. 

Di Indonesia, hal ini belum banyak dilakukan. Teknologi juga dapat digunakan sebagai alat pemasaran hasil pertanian. Misalnya dengan menggunakan media sosial, para petani dapat memasarkan hasil olahan pangan maupun hasil mentah secara lebih luas. Penggunaan teknologi juga dapat diimplementasikan pada pembuatan packaging yang lebih menarik dan ramah lingkungan. Tentunya dengan melakukan hal ini, calon konsumen dapat lebih tertarik untuk membeli hasil pangan. 

Petani Perlu Berkreasi 

Indonesia perlu mendorong para petani untuk berkreasi menciptakan teknologi-teknologi baru yang dapat meningkatkan efektivitas pertanian. Langkah-langkah kecil yang dapat dilakukan adalah berkolaborasi dengan pemerintah daerah untuk menyalurkan dana dan memberikan penyuluhan terkait alat-alat pertanian berbasis teknologi.  

Selain itu, pemerintah juga perlu memberikan apresiasi lebih untuk petani yang telah menciptakan alat-alat terbarukan. Apresiasi dapat berbentuk banyak hal, seperti insentif, penghargaan, ataupun ajuan kerja sama. Karena tak jarang karya-karya anak bangsa ini kurang populer dan didukung oleh pemerintah. 

Apa lah gunanya teknologi baru apabila tidak dipopulerkan dengan baik. Kebanyakan petani kurang bisa memasarkan penemuannya sehingga alat tersebut tidak dapat digunakan secara masif. Padahal, dengan bantuan pemasaran perlahan-lahan Indonesia petani di Indonesia dapat lebih termotivasi untuk menciptakan hal-hal baru.

Dengan ancaman krisis pangan, waktu Indonesia untuk mengejar negara-negara lainnya dalam urusan ketahanan pangan semakin sempit. Pemerintah harus lebih proaktif dalam menyelamatkan para petani. Terutama untuk meningkatkan minat para generasi muda untuk menjadi petani. Jangan sampai negara pertanian ini kekurangan petani.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun