Malam itu sudah pukul 19:00 WIB, tepatnya pada tanggal 26 Maret 2021, saat Ferry M. Simatupang, seorang Dosen dan Komunikator Astronomi Langit Selatan, memulai diskusinya perihal makhluk di luar angkasa secara daring. Di pembuka ia menyatakan bahwa makhluk luar angkasa dalam istilah saintifik diberi nama exolife. Exolife diyakini oleh mereka–para ilmuwan–sebagai bentuk kehidupan yang tumbuh, berkembang, dan berevolusi di luar jalur evolusi lingkungan bumi. Dengan begitu, exolife memanglah makhluk yang terbentuk di luar Bumi, bukan mereka yang berasal dari Bumi, bukan pula mereka yang ada di Bumi lalu pergi ke luar angkasa.
Asumsi mengenai hukum alam pun ia bawa dalam diskusi pada malam itu, menurutnya hukum alam tidak hanya bekerja di tempat tinggal kita, yaitu Bumi. Namun, juga terjadi pada kehidupan di luar sana, di planet-planet yang jauh dari jangkauan indera manusia.
“Jadi, misalnya kita melihat hukum alam itu memungkinkan untuk tumbuhnya kehidupan di Bumi, jika seandainya di luar sana ada lingkungan yang mirip, maka kemungkinan juga akan bisa tumbuh kehidupan di tempat lain,” begitu kiranya ujar Ferry.
Anomi itu seakan menguatkan jika di tengah luasnya alam semesta ini, dengan banyaknya planet yang telah ditemukan–sebagian ada yang jauh berbeda dengan planet tempat kita hidup, sebagian lagi ada yang memiliki kesamaan–maka secara logika sulit rasanya bagi kita untuk mengerti bahwa makhluk hidup hanya ada di Bumi.
“Walaupun secara saintifik kita belum bisa mengidentifikasi keberadaan mereka, tapi kita bisa menarik kesimpulan bahwa makhluk hidup di luar sana, exolife kemungkinan besar itu ada, hanya saja sampai saat ini kita belum menemukan,” tutur sang dosen itu.
Ia pun kembali menekankan, satu hal yang menurutnya perlu untuk dipahami bersama. Saat berbicara tentang exolife, kita tidak hanya sedang membayangkan sebuah makhluk yang berkaki dua, berdiri tegak layaknya manusia, mempunyai satu kepala, mampu berbicara, bahkan didampingi dengan teknologi canggih yang mereka miliki.
“Tidak hanya itu. Bahkan bentuk-bentuk sederhana, seperti bakteri atau bentuk kehidupan sederhana lainnya yang bukan tumbuh dari bumi, juga bisa disebut sebagai exolife. Dengan begitu kesempatan kita untuk bertemu dengan mereka (exolife) semasa hidup ini cukup besar kemungkinannya,” jelasnya.
Penemuan yang Mengindikasikan Keberadaan Exolife
Hingga saat ini belum ada bukti-bukti baru yang dapat mendukung hipotesis dari keberadaan exolife tersebut. “Beberapa bulan lalu ada ditemukan jejak fosfin di Venus, fosfin itu sumbernya ada dua, dari aktifitas manusia, seperti industri dan lab, atau dari aktifitas makhluk hidup yang sederhana atau biasa disebut sebagai bakteri,” terangnya.
Yang menjadi permasalahan adalah satu kelompok mengatakan bukti yang ditemukan itu belum lah valid. Kelompok itu mengujinya sendiri, dibantu dengan teknologi masa kini yang semakin berkembang, mereka membuat tiruan dari atmosfer Venus. Hasilnya, jejak yang digadang-gadang sebagai sisa dari wujud kehidupan suatu makhluk, nyatanya hanya bagian dari sulfur dioksida planet tersebut. Dengan begitu hasil temuan yang ada disebutnya masih kontroversial dan tidak konklusif. “Tapi kita yakin akan banyak penemuan baru di masa yang akan datang dan itu lah salah satunya yang akan menunjukkan keberadaan makhluk hidup di luar sana,” tambah Ferry pada malam itu.
Namun ia dengan tegas menyatakan bahwa adanya bantahan tersebut tidak membuat mereka sebagai saintis patah semangat, sebab menurutnya sains dapat berkembang lewat serangkaian hipotesa yang harus diuji, jika hasilnya gagal maka hipotesa baru akan muncul. “Sains berkembang dengan cara seperti itu,” kembali tegasnya.
Mengapa Exolife sulit ditemukan?
Jarak, ia merupakan salah satu penyebab mengapa hingga detik ini, umat manusia belum juga dapat berjumpa atau sekedar menyapa lewat sinyal yang dikirimkan exolife. Jika pun sinyal-sinyal tersebut telah dikirimkan, maka prosesnya memakan waktu yang tidak sebentar. Jarak yang sangat jauh menurut Ferry, membuat sinyal-sinyal tersebut bisa saja sampai lebih lama dari waktu yang ada di Bumi kita.
Kita ada dalam alam semesta yang sangat luas, di mana dalam setiap sistem galaksi kita, setiap bintang terpisah jarak antar 4 hingga 10 tahun cahaya dengan waktu rata-rata yang paling dekat, sehingga untuk sekedar berkomunikasi apalagi berjumpa secara langsung merupakan satu tindakan yang cukup sulit untuk saat ini. “Atau bisa saja teknologi mereka di luar sana tidak secanggih yang kita bayangkan, sehingga sulit pula untuk menerjemahkan sinyal-sinyal itu,” kata lelaki itu sambil tersenyum.
Siapkah Kita dengan Kedatangan Mereka?
Saat ditanya hal demikian, Ferry nampak tertawa kecil, dengan sedikit terbata ia menjawab, sebagian orang akan mengatakan kita siap, dengan catatan menemukan exolife dengan bentuk yang sederhana. Akan tetapi, jika kemunculannya tanpa “diundang” menurutnya bisa saja menjadi masalah besar bagi umat manusia. “Kita cenderung takut dan paranoid dengan sesuatu yang tidak kita kenal, dengan begitu kita akan bersikap lebih agresif,” ucapnya.
Belum lagi pengaruh budaya yang ada selama ini, jika sejak dulu manusia disuguhkan pada tayangan-tayangan yang menyajikan karakter makhluk luar angkasa sebagai makhluk yang ramah dengan penduduk Bumi, kemungkinan orang-orang akan lebih siap bertemu dengan mereka, tapi tidak jika sebaliknya. “Seandainya kita merasa lebih superior dengan keberadaan alien tersebut, maka kita akan merasa aman, tetapi jika kita merasa inferior ini akan bisa menjadi masalah tersendiri untuk kita,” ia menambahkan.
Lalu, pertanyaan kembali muncul, mengapa manusia selalu mencari tahu potensi-potensi yang ada di luar sana, padahal kita tahu hal tersebut dapat mengancam kehidupan kita?
Dengan tenang Ferry menjawab bahwa hal itu merupakan bentuk alami kita sebagai manusia, yang selalu dihantui rasa ingin tahu akan seluruh hal yang ada di dunia ini. Hal itu merupakan dasar dari seorang manusia, sehingga menurutnya sulit untuk dipungkiri.
Di akhir perbincangan, lelaki Simatupang itu berpesan, zaman sekarang adalah zaman di mana kita dihujani berbagai macam informasi dari berbagai arah dan sumber.
“Tapi harap berhati-hati untuk memilahnya, sehingga kita tidak tersesat dalam rimba infromasi saat ini. Mencari sumber-sumber terpercaya yang bisa dipegang dan kejar keingintahuan Anda.” Serangkaian kata tersebut menjadi penutup dialog daring pada malam itu.
(NR)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H