Dalam bidang ekonomi politik, terdapat tiga aliran pemikiran di mana masing-masing dari pemikiran tersebut memiliki sudut pandangnya tersendiri dan salah satunya adalah merkantilisme. Sudut pandang merkantilisme melahirkan sistem ekonomi pasar bebas di mana masyarakat diberikan kebebasan dalam mengatur dan menentukan segala kegiatan pokok perekonomian meliputi produksi, konsumsi, dan distribusi yang sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
Asumsi dari merkantilisme ini digencarkan dengan dasar bahwa ekonomi adalah alat yang digunakan untuk mencapai tujuan politik negara di mana aktor utamanya adalah negara dan hubungan ekonominya bersifat "permainan zero-sum". Ini berarti sebuah negara hanya dapat memperoleh keuntungan perdagangan dengan mengorbankan negara pesaingnya. Selain itu, merkantilisme diyakini berasal dari perspektif negara-negara di dunia yang senantiasa berambisi dalam meraih kekuasaan dan kekayaan.
Asal-Usul Munculnya Merkantilisme
Merkantilisme diketahui berasal dari seorang ekonom Perancis bernama Marquis de Mirabeau yang tercantum di dalam karyanya yang berjudul "Philosophie Rurale" pada tahun 1763. Menurut Mirabeau, merkantilisme merupakan sebuah konsep kebijakan ekonomi politik yang melindungi pedagang domestik dengan intervensi pemerintah atau negara secara langsung dalam kegiatan ekonomi masyarakat.
Sebenarnya kemunculan merkantilisme pada awalnya berkembang di antara negara-negara Eropa, seperti Belanda, Inggris, Perancis, Portugis, Spanyol selama periode 1500-1750. Pada zaman itu, penganut merkantilisme memandang bahwa kekayaan dihitung dari seberapa banyak logam mulia yang dimiliki sehingga negara berlomba-lomba untuk menimbun logam mulia sebanyak-banyaknya agar dianggap sejahtera.
Karakteristik lain dari merkantilisme yang perlu diperhatikan adalah bahwa semua kegiatan ekonomi ditentukan oleh negara. Dengan begitu, untuk meraih kekayaan dan kekuasaan dapat dengan menerapkan siasat tertentu, yaitu memperluas pasar dan meningkatkan perdagangan secara global dengan memperbanyak ekspor dan menekan impor. Surplus perdagangan dari nett ekspor yang masuk ke negara harus dibayarkan dengan logam mulia sehingga negara akan memiliki banyak logam mulia sehingga merasa semakin kaya dan sejahtera. Pandangan ini tercermin secara jelas dalam penulisan merkantilis di abad 16, 17, dan 18.
Namun, untuk meningkatkan ekspor harus diimbangi dengan peningkatan produksi. Penguasa yang bekerja sama dengan para pengusaha pemilik modal harus mencari jalan efisien agar dapat menghasilkan produksi yang banyak dengan waktu dan biaya yang minim. Oleh karena itu, negara-negara Eropa di era merkantilisme terdorong untuk melakukan revolusi industri. Mereka menciptakan mesin-mesin canggih yang dapat mendukung proses produksi serta mempekerjakan para pekerja kelas bawah dengan gaji yang tidak layak.
Selain itu, hal ini juga mendorong bangsa Eropa untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi dan kolonialisasi di belahan dunia. Dalam memperoleh bahan baku murah, negara merkantilis melakukan ekspansi ke sejumlah negara yang memiliki kekayaan alam melimpah namun tak dimanfaatkan sebagai produk jadi. Monopoli perdagangan dan eksploiasi besar-besaran yang dilakukan oleh bangsa Eropa terhadap negara koloninya ditujukan untuk menekan biaya produksi. Maka dapat dikatakan bahwa merkantilisme melahirkan kapitalisme yang berujung pada imperialisme dan kolonialisme.
Berkembangnya Pemikiran Merkantilisme
Seiring berjalannya waktu, kritik terhadap pemikiran merkantilisme ini mulai bermunculan. Beberapa di antaranya dicetuskan oleh David Hume dan Adam Smith. Menurut David Hume, standar kekayaan yang diukur oleh banyaknya logam mulia dianggap tidak tepat. Menimbun logam mulia berarti membiarkan peredaran uang yang terlalu banyak. Apabila terlalu banyak uang yang beredar sedangkan tingkat produksinya tetap, harga barang akan menjadi naik. Dengan harga barang ekspor yang tidak stabil dapat menyebabkan berkurangnya kuota ekspor karena turunnya permintaan. Ketika harga barang impor lebih rendah dari harga barang di dalam negeri, hal ini menyebabkan peningkatan pada impor. Nett ekspor akan menjadi negatif dan stok logam mulia yang sebelumnya ditimbun berkurang karena harus digunakan untuk membiayai impor. Akhirnya negara menjadi miskin karena habis atau berkunganya logam.
Sedangkan Adam Smith mengkritik pemikiran merkantilisme dengan menggunakan teori absolute advantage. Dikatakan bahwa ukuran kekayaan yang sebenarnya bukan logam mulia melainkan nilai tambah produk domestik bruto dan surplus perdagangan. Smith juga menyarankan pemerintah untuk mengurangi intervensi terhadap sistem ekonomi agar tidak menghambat perluasan pasar bebas. Perdagangan bebas yang mendorong persaingan akan mengarah pada timbulnya spesialisasi berdasarkan keuntungan absolut. Spesialisasi ini dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi. Produktivias dan efisiensi dapat meningkatkan nilai produk domestik bruto dan surplus perdagangan yang menjadikan negara tersebut tergolong kaya.
Relevansi Perekonomian Indonesia dengan Merkantilisme
Indonesia telah memulai perdagangan internasional dengan lebih dari 200 negara di dunia. Indonesia juga berperan aktif dalam menjalin kerja sama bilateral, regional, hingga multilateral, seperti Joint Economic and Trade Committee (JETCO), Indonesia-Korea Comprehensive Economic Partnership Agreement (IK-CEPA), ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Agreement (AANZFTA), dan lain-lainnya. Dengan terbentuknya perjanjian-perjanjian tersebut, arus perdagangan dan investasi dapat meningkat dan berkurangnya hambatan akses pasar. Maka dapat dikatakan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang memiliki prospek di pasar bebas.
Pada Modul Konsep Sistem Ekonomi Indonesia, Universitas Terbuka yang ditulis oleh Drs. H. Bambang Hermanto, M.Si. dan Mas Rasmini, S.E., M.Si. terangkum perjalanan sistem ekonomi yang pernah berlaku di Indonesia hingga sekarang. Sejak era reformasi, sistem ekonomi Indonesia berkiblat pada kerakyatan Pancasila namun cenderung mengarah pada kapitalis dengan ideologi liberalisme.
Sistem ekonomi yang berlaku di Indonesia meyakini bahwa kekayaan alam adalah milik negara dan seharusnya digunakan untuk kepentingan dan kemakmuran rakyat. Sehingga pemerintah memiliki wewenang penuh dalam menjaga perekonomian nasional dengan mengeluarkan kebijakan yang tidak hanya berdampak secara nasional, melainkan juga secara internasional.
Misalnya, seperti kebijakan larangan impor diterbitkan oleh Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2018 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Beras. Meskipun kebijakan ini tidak sepenuhnya melarang impor beras, namun dengan terbitnya kebijakan tersebut masyarakat akan berupaya memenuhi kebutuhannya dengan meningkatkan produksi barang atau mencari substitusi. Pemerintah juga berharap dengan adanya kebijakan tersebut maka petani Indonesia menjadi terlindungi dan ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap beras impor menjadi berkurang.
Dapat disimpulkan bahwa dalam perekonomian Indonesia, liberalisasi pasar tidak selamanya dipandang baik. Dalam beberapa kasus tertentu, pemikiran merkantilisme dibutuhkan sebagai bentuk perlindungan industri dalam negeri yang merupakan prioritas negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H