Mohon tunggu...
Nadiva Aulia Ramadhani
Nadiva Aulia Ramadhani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Negeri Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Cinderella Complex: Tantangan Perempuan dan Representasinya Melalui Media

6 April 2024   23:57 Diperbarui: 11 April 2024   07:53 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pinterest / Albina Thaqi

Pada hakikatnya, memiliki kebutuhan akan ketergantungan merupakan sesuatu hal yang wajar bagi semua makhluk hidup, baik laki-laki maupun perempuan. Sebagai makhluk sosial, manusia secara alami cenderung bergantung pada orang lain dengan membutuhkan bantuan dan dukungan dari seksamanya. Namun, ketergantungan seringkali ditafsirkan dengan makna yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. 

Stereotip gender dalam masyarakat telah menciptakan pandangan dan ekspektasi yang berbeda terhadap ketergantungan bagi laki-laki dan perempuan. Tradisi patriarki yang masih dominan, menganggap bahwa laki-laki sebagai individu yang mandiri, kuat dan dapat memberikan perlindungan untuk perempuan. Sedangkan sebaliknya, perempuan seringkali dianggap sebagai makhluk yang lebih "lemah" dan "bergantung" kepada laki-laki (Jeslin Babu Joseph et al., 2021).

Laki-laki dididik untuk menjadi mandiri sejak kecil. Mereka diajarkan untuk mengatasi tantangan hidup mereka dengan kemandiriannya. Di sisi lain, perempuan diajarkan bahwa mereka memiliki pilihan dalam hidup mereka. Perempuan dapat memilih untuk mengeksplorasi dunia sendiri, mendapatkan pendidikan yang baik, bekerja dan mengejar karir atau memilih untuk menunggu seorang laki-laki akan datang untuk menyelamatkan hidupnya yang penuh kecemasan dan ketakutan layaknya pangeran yang datang kepada Cinderella

Seperti quotes yang diungkapkan oleh Collete Dowling pada bukunya yang berjudul The Cinderella Complex : Women’s Hidden Fear of Independence yang menuliskan “Only hang on long enough, the childhood story goes, and someday someone will come along to rescue you from the anxiety of authentic living.”

Apa itu Cinderella Complex?

Cinderella Complex atau yang dikenal sindrom Cinderella merupakan istilah psikiatri yang dicetuskan oleh terapis asal New York yaitu Collete Dowling pada awal tahun 1981. Cinderella Complex merujuk pada kondisi yang mana perempuan merasa takut untuk independen sehingga muncul perilaku ketergantungan terhadap orang lain terutama laki-laki. 

Dowling menyatakan bahwa perempuan sering kali tidak terbiasa dengan konsep kebebasan karena cenderung bergantung pada laki-laki yang dianggapnya lebih kuat untuk menciptakan rasa aman. Dari sejak kecil, perempuan telah terbiasa dengan kasih sayang dan kehadiran orang tua yang menjadikan mereka sebagai figur yang dapat memberikan perhatian dan perlindungan dalam hidupnya. 

Laki-laki pun juga mendapatkan hal yang sama, namun laki-laki lebih banyak terlatih dan dididik untuk menjadi individu yang mandiri sehingga mereka cenderung tidak terpengaruh oleh rasa takut dan memiliki kebebasan yang lebih besar.

Cinderella Complex membuat perempuan percaya bahwa mereka adalah "gadis yang kesulitan" sehingga membutuhkan penyelamat dari seorang pria seperti pada dongeng Cinderella yang menunggu kedatangan pangeran tampan untuk menyelamatkan dan melindunginya dari ibu tiri dan saudara tiri yang jahat. 

Tokoh fiktif tersebut seolah-olah memberikan kesan kepada perempuan bahwa mereka hanya perlu menunggu seorang 'pria' untuk datang dan mengambil alih kendali atas hidup mereka, sehingga mereka bisa hidup di belakang pasangan pria mereka dengan perasaan bahagia. 

Perempuan yang mengalami sindrom Cinderella juga cenderung yakin bahwa mereka tidak mampu menangani segalanya sendiri, melainkan bahwa hanya orang lain, terutama laki-laki yang dapat membantu mereka (Sneha Saha & Tanishka S. Safri, 2016).

Cinderella Complex dapat menimbulkan ketakutan dan kecemasan karena munculnya rasa ketidakmampuan dalam menghadapi sulitnya tantangan hidup, sehingga menjadi salah satu faktor yang mendorong perempuan sering merasa perlu bergantung dan mengandalkan laki-laki. 

Akibatnya, ketergantungan tersebut dapat menghambat kemandirian dan pengembangan diri perempuan sehingga dapat menghilangkan motivasi dan ambisi untuk mencapai impian dan tujuan pribadi. Bahkan dalam konteks negatif, ketergantungan yang berlebihan juga dapat menciptakan perilaku penolakan terhadap situasi yang merugikan bagi perempuan karena merasa tidak memiliki pilihan lain selain bergantung pada laki-laki. 

Dalam hubungan romantis, laki-laki dianggap harus memiliki kemandirian dalam situasi apapun termasuk stabilitas finansial agar dapat menjadi penopang hidup bagi pasangan perempuannya. Perempuan akan merasa kebahagiaan, keamanan dan pemenuhan semua kebutuhan mereka adalah tanggung jawab laki-laki. Hal ini menjadikan perempuan tidak harus mandiri karena kehidupannya hanya akan bergantung dan mendasar kepada pasangan laki-lakinya (Sneha dan Rahmath, 2018).

Dalam menangani banyak kasus, banyak psikolog menyatakan bahwa munculnya Cinderella Complex atau masalah ketergantung dalam diri seorang perempuan disebabkan oleh pola asuh orang tua yang terlalu protektif. Bahkan orang tua akan melakukan hal-hal yang sangat menunjukkan bahwa protektif mereka terlalu berlebihan seperti memberikan hukuman pada anak karena menunjukkan tanda-tanda kemandirian. 

Secara psikologis, mayoritas dokter meyakini bahwa perempuan yang menderita sindrom ini umumnya mengalami masalah emosional yang mendalam, seperti mulai merendahnya harga diri.  Keinginan yang tinggi untuk memperoleh perhatian dan perlindungan dari orang lain, terutama laki-laki, dapat menjadi faktor utama yang menghambat dan menghalangi perempuan untuk mencapai potensi dan kreativitas mereka.

Bagaimana media merepresentasikan Cinderella Complex?

Menurut Dowling (1995), selain pola asuh orang tua, adapun beberapa faktor seperti kematangan pribadi dan konsep diri yang dapat memicu tumbuhnya sindrom Cinderella Complex pada diri perempuan. Tak terkecuali media massa yang juga menjadi salah satu pengaruh terbesar yang menyebabkan seorang anak perempuan merasakan sindrom tersebut. 

Secara tidak langsung, media telah mengajarkan masyarakat terutama perempuan tentang Cinderella Complex. Berbagai film dan acara televisi yang ditampilkan oleh media, sering kali menggunakan narasi tentang perempuan yang membutuhkan penyelamat dan perlindungan oleh seorang pria. 

Kisah-kisah seperti film “Cinderella” mengilustrasikan bahwa tokoh utama perempuan memiliki karakter yang lemah dan cenderung diselamatkan oleh seorang pria hingga mendapatkan kebahagiaan. Tayangan semacam film tersebut memberikan narasi yang tidak hanya meromantisasi ketergantungan, tetapi juga dapat memperkuat konsep bahwa wanita hanya dapat bergantung pada kehadiran seorang pria dalam meraih kebahagiaan dan perlindungan. 

Representasi media dari tayangan yang disajikan juga menunjukkan bahwa perempuan tidak dilihat dari kualitas dan kemampuan yang dimiliki, namun perempuan dituntut untuk meyakini bahwa value mereka ditentukan oleh penampilan fisik, status sosial dan bagaimana mereka mampu untuk memenuhi standar ekspektasi masyarakat. Hal itu mampu mempengaruhi persepsi dan pandangan masyarakat terutama perempuan serta membentuk harapan-harapan yang tidak realistis tentang hubungan yang sehat.

Tak hanya melalui tontonan film, tayangan seperti iklan suatu produk yang muncul di televisi maupun media sosial juga memberikan pengaruh yang sangat besar dalam memperkuat sindrom Cinderella Complex sehingga mampu membentuk pemikiran masyarakat yang mengonsumsi. 

Berbagai iklan produk seperti kosmetik, skincare dan pakaian sering kali menampilkan gambaran perempuan yang mendapatkan perhatian dari pria setelah menggunakan produk tertentu. Hal tersebut dapat memberikan isyarat bahwa keberhasilan perempuan bergantung pada penampilannya dan bagaimana perempuan dapat memenuhi standar kecantikan yang dianggap ideal oleh masyarakat.

Namun, kita tidak boleh menyalahkan media sepenuhnya atas apa yang diajarkan tentang Cinderella Complex. Masyarakat sekaligus penikmat media bertanggung jawab untuk menerima secara kritis dan mengambil dengan bijak segala pesan yang diberikan media. Sebagai perempuan, sangat penting untuk kita memiliki kesadaran untuk memilah dan memilih serta merespons dalam bentuk tindakan yang tepat dari pengajaran media yang merujuk pada konsep Cinderella Complex.

Meskipun menjadi salah satu tantangan bagi perempuan, sindrom Cinderella Complex bukanlah sesuatu yang tidak dapat diatasi. Semua perempuan dapat mencegah munculnya sindrom tersebut dengan belajar untuk menjadi perempuan yang lebih mandiri dan tidak mudah bergantung kepada orang lain terutama laki-laki. 

Perempuan harus memiliki rasa percaya diri hingga merasa bahwa mereka mampu menciptakan kebahagiaan dengan caranya sendiri, mengejar impian dan tujuan hidup yang mereka inginkan. Penting untuk selalu kita ingat bahwa pahlawan dalam hidup kita sendiri adalah diri sendiri, sehingga kita tidak perlu bergantung dan menunggu pangeran tampan yang datang untuk menyelamatkan kita.

Referensi:

Azelina, D. (2023). Hubungan Pola Asuh Otoriter dengan Kecenderungan Cinderella Complex pada Remaja Madya Putri di SMA Negeri 1 Kuala. Skripsi, Universitas Negeri Medan.

Chastine, V., & Darmasetiawan, N. K. (2019). Cinderella complex on working women. 308(INSYMA). https://doi.org/10.2991/insyma-19.2019.26

Febyola Oktinisa, T., & Hermaleni, T. (2017). Kecenderungan cinderella complex pada mahasiswa perempuan ditunjau dari persepsi pola asuh. Jurnal RAP UNP, 8(2), 211–222.

Fitrian Saifullah. (2015). Hubungan Antara Konsep Diri Dengan Bullying. Psikoborneo: Jurnal Ilmiah Psikologi, 3(3).

Jeslin Babu Joseph, Sanjaly Jayesh, & Sannet Thomas. (2021). Cinderella Complex: a Meta-Analytic Review. EPRA International Journal of Multidisciplinary Research (IJMR), May, 324–329. https://doi.org/10.36713/epra6596

Sneha, S., & Rahmath, F. (2018). A Study of Relationship between Cinderella Complex and Personal Growth among Young Females. Indian Journal of Psychological Science, 10(1), 102–107.

Sneha Saha, & Tanishka S. Safri. (2016). Cinderella Complex: Theoretical Roots to Psychological Dependency Syndrome in Women. International Journal of Indian Psychology, 3(3). https://doi.org/10.25215/0303.148

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun