Hari ini, lagi-lagi hujan membasahi lorong-lorong jalanan. Dan kami pun kembali menunggu di depan toko yang sudah tutup. Aku menyukainya. Hal-hal yang yang menurut orang lain biasa saja, bagiku ini adalah sesuatu yang menyenangkan. Menunggu hujan reda sambil bercerita tentang banyak hal, diselingi dengan sesapan sigaret yang tinggal sebatang. Aku menyukai hal-hal yang seharusnya tidak lucu, menjadi lucu ketika kami membicarakannya. Aku suka mendengar deru napasnya yang terkadang beradu dengan suara rintik hujan.
Siapapun pernah berteduh ketika hujan. Dan aku hanya menyukai ketika aku harus menepi untuk berteduh dengan dia. Aqil. Lelaki yang belakangan menjadi pendongeng handal menjelang waktu tidurku. Aku menyukainya. Dan beruntungnya, dia kekasihku.
Hujan benar-benar menjadi perantara yang menyenangkan. Menyenangkan karena aku menghabiskan waktu lebih lama untuk berbincang banyak hal dengannya.
Tapi, terkadang aku tidak habis pikir, bagaimana lelaki yang baru berumur sembilan belas tahun seperti dia bisa begitu sabar menghadapi perempuan, dua puluh dua tahun yang keras kepala dan terkadang lebih mirip anak kecil yang sering tantrum.
Kebanyakan orang mempertanyakan, bagaimana dia yang begitu tenang mampu bertahan dengan aku yang sangat berisik? Sama berisiknya dengan ribuan tetes hujan yang jatuh menghantam atap tempat kami berteduh. Nanti kita tanya dia.
Hujan masih begitu deras, kami membicarakan tentang luka di masa lalu. Kemudian aku paham tentang kerapuhan yang ditutupi tameng begitu kuat. Dia tidak setenang yang terlihat di luar. Di dalam sangkar otaknya begitu berisik, luka-luka dari masa lalu masih membekas meninggalkan rasa perih yang ditutupi sedemikian rupa.
Aku tersulut emosi mendengar ceritanya. Demi apapum aku ingin menghajar orang itu tepat di matanya. Gigi memang harus dibayar dengan gigi, tapi manusia seperti orang itu layak untuk buta, agar serasi dengan mata hatinya yang tertutup dengan kejijikan najis.
Aku menggenggam tangannya yang selalu sedingin es ketika sedang hujan. Kami kembali larut bersama genangan air hujan yang mengalir di dekat ban motornya yang dia beri nama Wina.
Topik pembicaraan kami berganti-ganti. Terkadang dia yang memprotes tentang aku yang begitu impulsif dalam bertindak, atau aku yang menggerutu tentang lawakannya yang satu level dengan lawakan khas bapak-bapak. Tapi itu begitu candu, dan lagi-lagi aku harus mengatakan bahwa aku menyukainya. Sangat.
Aku menyukai sisi jenakanya yang mungkin tidak terlalu lucu bagi orang lain. Ya, katakanlah aku bucin, tapi aku serius tentang bagaimana hal-hal yang sepele menjadi lucu bagi kami berdua. Entah itu plat nomor di belakang kendaraan yang jika dibaca bisa menjadi apa saja sesuai imajinasi kami. Atau tentang satu hari yang penuh dengan warna kuning dimana-mana, mulai dari helm miliknya, jaket yang ku pakai, mobil yang sedang parkir, sampai dengan ojek online yang berada di sebelah kami ketika menunggu lampu lalu lintas. Menyenangkan.
Beberapa saat percakapan kami tergantikan dengan suara hujan. Aku menyenderkan kepalaku di bahunya. Aroma parfumnya menguar dari ceruk lehernya. Parfum yang kata teman-teman sekelasnya lebih mirip seperti bau kelapa basi. Aneh, padahal wanginya candu.