Prinsip Gandhi, satyagraha, yang sering diterjemahkan sebagai "jalan yang benar" atau "jalan menuju kebenaran", telah mengilhami generasi aktivis demokrasi dan antirasisme seperti Martin Luther King Jr. dan Nelson Mandela. Gandhi sering mengatakan bahwa nilai-nilainya sederhana dan didasarkan pada kepercayaan tradisional Hindu: kebenaran (satya) dan tanpa kekerasan (ahimsa).
Tradisi pemikiran India (Hindu) antara lain memiliki kecenderungan spiritual untuk menggunakan intuisi sebagai sarana untuk mencapai kebenaran monistik. Pemikiran Gandhi didasarkan pada pemikiran India, dan selama tidak ada konflik, dikembangkan dari pemikiran agama Hindu ini. Seperti yang dia yakini, Tuhan adalah kebenaran dan cinta. Tuhan adalah etika dan moralitas, keberadaan universal yang mencakup segalanya, dan manusia hanyalah sebagian kecil darinya. Konsep Tuhan sebagai realitas tidak lepas dari pemahaman Gandhi tentang kebenaran (Mahatma Gandhi, 2009:17).
Membalas kekerasan dengan kekerasan hanya akan melahirkan kebencian dan benih permusuhan baru. Gandhi mengajari kami pentingnya memperjuangkan apa yang didasarkan pada kebenaran (satyagraha). Selain itu, perjuangan juga harus berada di jalur yang benar dan bermoral.
"Situasi ini mengilhami kesadaran Gandhi bahwa kekerasan tidak dapat dilawan dengan kekerasan. Mata ganti mata akan mengejutkan semua orang. Kesadaran lain yang muncul saat itu adalah bahwa dia harus melayani semua orang dengan sepenuh hati (Mahatma Gandhi, 2009: 20).
Kesadaran ini terwujud dalam prinsip-prinsip perjuangan: bramkhacharya (mengendalikan hasrat seksual), satyagraha (kekuatan kebenaran dan cinta), swadeshi (pemuasan kebutuhan sendiri), dan ahimsa (tanpa kekerasan terhadap semua makhluk). Gandhi sejak itu terus melawan tirani dengan kampanye tanpa kekerasan. Gandhi, misalnya, menolak peraturan yang diskriminatif dengan melakukan mogok makan, berjalan bermil-mil, dan membuat garamnya sendiri ketika semua orang harus membelinya dari pemerintah Inggris. Gerakan ini sepenuhnya dimotivasi oleh rasa protes Gandhi terhadap kekerasan otoritas Inggris saat itu. Bagi Gandhi, seksualitas adalah sumber kejahatan, seringkali egois, yaitu nafsu, kemarahan, dan agresi (Wisarja Ketut, 2005: 75).
Hasrat seksual dapat ditekan dengan menolak kepentingan pribadi yang selalu mengikuti tindakan karena bertekad mengikuti prinsip bramkhacharya. Tidak mementingkan diri sendiri dimungkinkan ketika jiwa diatur oleh prinsip-prinsip kebenaran ilahi. Inilah prinsip ajaran Satyagraha, yaitu keyakinan bahwa jiwa dapat diselamatkan dari kejahatan dunia dan juga dapat memberikan pertolongan selama jiwa selalu mencari Tuhan melalui kebenaran dan hanya kebenaran. Politisi India sendiri dapat menafsirkan Swadeshi dalam beberapa arti berbeda. Ada yang mengartikan ini sebagai boikot karena tidak mau membeli barang buatan Inggris, taktik penyerangan tempur.
Gandhi sangat meyakini dan patuh terhadap ajaran ahimsa merupakan manifestasi dari pengalamannya yang berulang-ulang di lingkungan keluarganya, karena Gandhi dikenal berasal dari keluarga religius yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan kasih sayang terhadap sesama.
Ajaran Gandhi selanjutnya adalah swadesi atau berusaha mandiri melalui swasembada. Bramkhacharya adalah salah satu ajaran Gandhi, yang tampaknya kurang menonjol dibandingkan dengan ajarannya yang lain.
Ajaran terakhir difokuskan pada pengendalian nafsu (seks) dan ia percaya bahwa jika manusia dapat mengendalikan nafsunya, maka semua kejahatan di muka bumi ini dapat ditekan. Menurut beberapa ajaran di atas, perjuangan Gandhi untuk memberantas kekerasanlah yang telah merenggut kebahagiaan manusia.
Kepercayaan Mahatma Gandhi
Dia percaya bahwa menjalani hidup sederhana bukan hanya pilihan pribadi tetapi juga kewajiban moral.