Manusia berhasil membuat dunia baru hanya dengan modal internet. Ya, dunia tersebut dinamakan dengan media sosial. Tempat abstrak di mana orang diperkenankan berekspresi tanpa batas untuk mencari keuntungan atau keributan.Â
Memang, media sosial hadir untuk mempermudah kehidupan dalam hal bersosialisasi, ekonomi, politik, bahkan budaya. Namun, kita tidak dapat menyangkal bahwa manusia pasti akan menyalahgunakan platform yang didasari oleh kebebasan ini. Kebebasan ini dibawa jauh oleh beberapa pengguna media sosial yang dengan mudahnya mempublikasikan konten tanpa dasar yang kuat dan tidak faktual. Selain itu, kebebasan dalam media sosial juga diartikan sebagai kebebasan dalam menerima segala informasi yang ada tanpa memastikan kebenarannya.Â
Pada artikel ini, saya akan membahas mengenai self-diagnose berdasarkan konten media sosial yang memaparkan gejala penyakit mental tertentu. Keputusan untuk self-diagnose ini dapat disebabkan oleh dua faktor yaitu, pembuat konten dan penonton konten.
Dari Sisi Pembuat Konten
Menampilkan Gejala yang Kurang Spesifik
Coba kita umpakan dengan satu klausa, 'Adik tidur'. Apa yang ada dalam pikiran Anda? Apakah adik sedang tertidur di kasur? Atau adik tertidur di bioskop karena film yang membosankan? Atau adik tertidur di UKS karena sedang sakit? Tentu, tiga konteks ini tidak salah dan tidak benar juga karena informasi yang diberikan kurang jelas. Anda akan berasumsi ketiga konteks di atas adalah benar karena intinya yaitu adik tidur. Anda akan terus mempertahankan hal yang dianggap benar sampai mendapat fakta lanjutannya.
Sama dengan konten media sosial akan tanda-tanda penyakit mental yang telah banyak beredar. Saat Anda buka salah satu media sosial seperti Tik Tok dan mengetik "Gejala ADHD", akan muncul beberapa video yang menampilkan gejala terlalu umum. Salah satu contohnya yaitu, pengidap ADHD (Attention Deficit or Hyperactivity Disorder) dikatakan sulit untuk menentukan pilihan atau indecisive. Hal ini mungkin merupakan faktor kecil seseorang memiliki ADHD.Â
Namun, bagaimana jika orang yang sedang membaca unggahan tersebut sedang memiliki banyak pikiran sehingga sulit untuk membulatkan keputusan? Bagaimana jika orang yang sedang membaca unggahan tersebut sedang mengalami dilema berat sehingga keputusan yang diambil nantinya akan mengorbankan satu hal yang besar? Jika orang-orang ini sedang dalam kondisi yang vulnerable, bisa saja mereka langsung membuat diagnosis bahwa mereka mengidap ADHD.Â
Ini baru satu saja contoh gejala yang kurang spesifik. Salah satu gejala bipolar menurut media sosial adalah banyak makan, gejala OCD (Obsessive Compulsive Disorder) adalah tidak percaya diri, dan rentan marah dapat dikatakan sebagai gejala PTSD (Post Traumatic Stress Disorder).
Gejala-gejala kurang spesifik yang diberikan lewat konten media sosial memiliki kemungkinan yang berakhiran orang tersebut memang mengidap penyakit mental yang diterangkan. Pertanyaannya, bagaimana cara mengetahui jika kesesuaian gejala itu betul-betul relevan dengan penyakit mental yang sedang diberitakan? Bagaimana cara pembuat konten ini memastikan para penonton tidak melakukan self-diagnose?
Tidak salah untuk para content creator ini menyebarkan awareness akan kesehatan mental. Hal yang perlu diperhatikan lagi adalah outcome dari konten yang terbagi menjadi dua: penonton yang akan langsung self-diagnose karena memiliki kesesuaian dengan gejala yang sangat umum tersebut atau penonton yang melakukan konsultasi terlebih dahulu kepada psikolog baru bisa mendapatkan hasil diagnosisnya. Sayangnya, para pembuat konten tidak bisa memastikan outcome yang kedua.Â