Mohon tunggu...
Alena Diva Putri Mustafa
Alena Diva Putri Mustafa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia

menonton film/series menjadi kewajiban di setiap harinya, dengan membaca buku sebagai hiburan, dan mendengarkan lagu untuk mencari ketenangan xx.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Mulia dan Hina, Ketidaksetaraan Masyarakat dalam Novel Gadis Pantai Karya Pramoedya Ananta Toer

26 November 2024   13:30 Diperbarui: 26 November 2024   13:40 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
[Nasihat yang diberikan Emak pada Gadis Pantai, dokumentasi pribadi]

Di era globalisasi sekarang, banyak hal yang menjadi serba mudah. Meskipun masih belum merata, tetapi kita bisa melihat adanya perkembangan yang terjadi, mulai dari akses pendidikan, pelaksanaan pembelajaran, lapangan pekerjaan, terjadinya pertemuan-pertemuan hingga adanya kesetaraan. Tentunya, perkembangan yang terjadi tak lepas merupakan hasil dari perjuangan itu sendiri. 

Perjuangan sejak dahulu untuk mendapatkan hal yang ditunggu-tunggu. Lalu, bagaimana dengan situasi yang terjadi di masa lalu? Apakah ada novel yang menggambarkan bagaimana kehidupan masyarakatnya? Akan kesetimpangan dan ketidaksetaraan yang menjadi momok dalam kehidupan?

Salah satunya, yaitu novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer. Novel ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1987 dengan adanya edisi pembebasan pada tahun 2000. Penulis memberikan gambaran kehidupan masyarakat beberapa tahun setelah R.A. Kartini meninggal dunia. Dipaksa nikahnya antara Gadis Pantai dengan Bendoro---yang diwakilkan oleh sebuah keris, menjadi awal mula "petualangan" Gadis Pantai sebagai istri seorang petinggi. 

Perjodohan ini menjadi hal yang sangat menakutkan, tentunya untuk Gadis Pantai yang saat itu masih berusia 14 tahun. Ia harus mengubah kehidupan remajanya yang dipenuhi oleh keceriaan tanpa beban, menjadi kehidupan dewasa yang dipenuhi kebingungan akan perubahan tanpa adanya kesiapan. 

Ia berada di rumah Bendoro untuk beberapa tahun lamanya, menyesuaikan diri dengan kebiasaan yang baru, mendapatkan beberapa pengajaran dari para guru, adanya perbaikan pada sikap dan perilaku, mendapatkan cinta sebagai perasaan yang ambigu hingga persiapan untuk menjadi seorang ibu. 

Semuanya ia dapatkan dengan maksud "hak istimewa" sebagai Mas Nganten (sebutan untuk istri Bendoro). Meskipun nampak menyenangkan dan membanggakan, kehidupannya di rumah besar itu tak luput dari masalah-masalah. 

Ia harus dihadapi dengan banyak hal yang sebelumnya tak ia ketahui, beratnya kehidupan seorang istri, hal-hal berkaitan pelayanan yang terkadang tak ia mengerti, keegoisan yang menyebabkan persaingan yang seharusnya tak terjadi hingga ia harus memusuhi suaminya sendiri. Beberapa tahun itu telah membuatnya rapuh dan dunianya menjadi runtuh, tetapi juga membuatnya lebih kuat untuk menghadapi dunia luar yang lebih berat.

Lalu, bagaimana dengan penggambaran masyarakatnya? Di kota, penulis menggambarkan kekuasaan yang dipegang oleh laki-laki yang memiliki martabat tinggi, sedangkan perempuan sudah selayaknya abdi yang harus selalu patuh dan melayani. 

Kuasa yang dimiliki oleh laki-laki di dalam novel, mulai dari hal yang sederhana hingga hal yang sangat krusial. Misalnya, Gadis Pantai yang diperintahkan untuk belajar menyenangkan suaminya, meskipun harus mengabaikan perasaannya. Padahal, untuk menyenangkan pasangan terjadi dua arah, suami kepada istri dan istri kepada suami. Jika hanya salah satu, maka salah satunya akan mengorbankan perasaannya.

[Nasihat yang diberikan Emak pada Gadis Pantai, dokumentasi pribadi]
[Nasihat yang diberikan Emak pada Gadis Pantai, dokumentasi pribadi]

Sejak awal "perjodohan" mereka juga sangat memaksa. Bermodalkan kecantikan, Gadis Pantai menjadi korban kelicikan Bendoro dalam memenuhi hawa nafsu dan mendapatkan pelayanan. Setelah sampai di kota, justru ia tak mendapatkan apa-apa---selain perhiasan, pengajaran, dan pelayanan dari Bujangan/mBok. 

Selain tak memiliki apa-apa, ada juga pandangan Bujangan/mBok sebagai orang rendahan terhadap kewajaran laki-laki dalam melakukan kekerasan terhadap perempuan. Seolah-olah perempuan memang terlahir untuk menjadi objek untuk pelampiasan nafsu semata. Untuk urusan makan pun saat itu Gadis Pantai menggunakan peralatan makan bekas Bendoro. 

Saat mengandung, bayi yang diharapkan adalah berjenis kelamin lelaki---supaya dapat melanjutkan sebagai priyai katanya. Ketika Bendoro mengetahui jenis kelaminnya adalah perempuan, adanya perubahan sikap yang ditunjukkan. Setelah melahirkan pun, bayi yang seharusnya dimiliki oleh kedua orang tuanya, malah bertakdir untuk diserahkan pada Bendoro, sedangkan Gadis Pantai dicerai dan diusir dari rumah, bahkan sangat dilarang untuk menginjakkan kembali kakinya ke kota.

Kekuasaan dan keadilan hanya berpihak pada kalangan atas saja, sedangkan untuk kalangan bawah atau orang rendahan sudah selayaknya budak yang selalu---mau tak mau---mengabdi pada atasannya dan menerima nasibnya. 

Selain itu, penggambaran kekuasaan dan keadilan juga bergantung pada strata atau tingkatan kekayaan dan kemiskinan. Bendoro---yang berkuasa di rumah tersebut, memiliki kekayaan yang lebih daripada orang bawahan. Kekayaan tersebut membuatnya memiliki kuasa untuk melakukan perintah, mendapatkan koneksi orang yang "satu derajat", mudah memperoleh apapun yang ia inginkan, bahkan ia "membeli" Gadis Pantai dengan pakaian, makanan, perhiasan, dan tempat tinggal yang nyaman.

[Percakapan antara Emak dengan Gadis Pantai, dokumentasi pribadi]
[Percakapan antara Emak dengan Gadis Pantai, dokumentasi pribadi]

Dengan kekayaan, Bendoro juga dapat "membeli" anak dan kenangan. Beberapa bulan setelah melahirkan, Bendoro mengusir Gadis Pantai dari rumahnya dan memaksanya untuk meninggalkan anaknya. Gadis Pantai sebagai seorang ibu, tentunya tidak terima dengan keputusan tersebut. 

Ia telah berubah, menjadi lebih dewasa dan bijaksana. Ia melakukan perjuangan seorang diri untuk memberikan anaknya pada Bendoro atau membawanya ke kampung. Hal itu ia lakukan, meskipun pada akhirnya tidak berhasil dan malah mendapatkan serangan dengan tuduhan maling.

Dalam novel tersebut, kekayaan dan kemiskinan juga dapat "menentukan" sifat dan karakter seseorang. Misalnya, setelah Gadis Pantai menjadi Mas Nganten, kehidupan dan derajatnya berubah---menjadi lebih baik dan lebih tinggi lagi. Hal itu membuat Gadis Pantai sudah tidak bisa lagi seperti dahulu---bermain-main, bermanja-manja, selayaknya anak berumur 14 tahun. 

Ia harus bersikap lebih dewasa sebagai "wanita utama". Selain itu, terjadinya pandangan atau pemberian label yang buruk terhadap orang miskin. Orang rendahan/kampung memiliki label kotor, miskin, dan tidak pernah beribadah. Untuk hal tidak beribadah---dalam novel tersebut, mungkin dapat dikatakan benar adanya.

[Pikiran Gadis Pantai, dokumentasi pribadi]
[Pikiran Gadis Pantai, dokumentasi pribadi]

Namun, hal kotor dan miskin rupanya sedikit berbeda pandangan. Selama hidup di Kampung Nelayan, Gadis Pantai tidak pernah merasa mereka kotor dalam artian tidak menjaga kebersihan, melainkan mereka kotor dengan wajar sebagai pekerjamenjadi nelayan, sedangkan untuk miskin, Gadis Pantai tidak pernah pula merasakan hal tersebut selama tinggal di Kampung Nelayan. 

Ia justru baru merasakan kemiskinan tersebut setelah kedatangannya di kota. Padahal, kekayaan tidak sepenuhnya mencerminkan mulianya seseorang, seperti Agus yang mencuri uang milik Gadis Pantai. Keberanian untuk mencuri malah datang dari kalangan Agus yang mana hidupnya jelas lebih baik daripada orang rendahan.

 Atas kejadian tersebut, Bujangan/mBok ingin memperjuangkan keadilan atas kekuasaan dengan mengadukannya kepada Bendoro. 

Meskipun, sebagai gantinya ia harus di keluarkan dari rumah itu. Hal itu kembali menunjukkan adanya ketidakadilan antara si miskin dan si kaya, walaupun Agus juga dikeluarkan, tetapi dengan berbekal keberanian untuk memperjuangkan kejujuran, tak seharusnya Bujangan/mBok turut diusir. Selain itu, ada pun perjuangan orang rendahan untuk melawan Bendoro Putri dan para pengawalnya. 

Setelah kehadiran Mardinah---kerabat Bendoro---untuk menjemput Gadis Pantai kembali ke rumah Bendoro, warga Kampung Nelayan mencium adanya sesuatu yang salah sehingga mereka melakukan rencana untuk menghabisi keempat pengawal dan melakukan ancaman dan balas dendam terhadap Mardinah. 

Perlawanan tersebut telah mengubah nasib Mardinah yang semula biasa dengan kekayaan berada di sekelilingnya dan tidak mengharuskannya untuk bekerja, menjadi memiliki kehidupan orang rendahan dengan pekerjaan sebagai istri nelayan yang telah menantinya.

Isi novel secara keseluruhan menunjukkan pada pembaca adanya penggambaran jelas antara yang mulia dan yang hina. Semuanya serba berkebalikan dengan zaman sekarang yang menunjukkan terjadinya kesetimpangan pada hampir masyarakat secara keseluruhan. Novel ini menjadi contoh nyata dari kemirisan yang terjadi di dunia. Lalu, dari apa yang telah dibaca, apa yang akan kalian lakukan jika menjadi Gadis Pantai?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun