Mohon tunggu...
Nadiviansyah Putra
Nadiviansyah Putra Mohon Tunggu... Politisi - Mahasiswa

Mahasiswa yang saat ini sedang belajar untuk berpolitik agar Indonesia bisa menjadi negara maju

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Antara KM 50, Novel Baswedan, dan Internasionalisasi Kasus

26 Maret 2022   17:10 Diperbarui: 26 Maret 2022   17:14 548
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pengadilan Internasional. Sumber: Anadolu 

Kasus penembakan atau unlawfull killing yang menewaskan 6 laskar FPI di KM 50 Jalan Tol Jakarta -- Cikampek pada Desember 2020 berakhir manis. Kedua terdakwanya yakni Briptu Fikri Ramadan dan Ipda Yusmin Ohorella divonis lepas oleh meja hijau pada Jumat (18/3). Sebelumnya, kedua terdakwa itu dituntut 6 tahun penjara oleh jaksa karena dianggap melakukan pembunuhan di luar ketentuan.

Komnas HAM menyebut kasus ini dianggap sebagai unlawfull killing karena melakukan pembunuhan di luar ketentuan dan disebut sebagai pelanggaran HAM. Hakim yang dipimpin oleh Arif Nuryanta menyatakan perbuatan tersebut "dalam rangka membela terpaksa dan pembelaan terpaksa melampaui batas." Hakim Arif juga mengatakan "bahwa kepada terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana karena adanya alasan pembenaran dan pemaaf." Dan "melepaskan terdakwa oleh karena itu dari segala tuntutan hukum."

Putusan ini akhirnya mengundang sejumlah reaksi seperti dari Kejaksaan Agung, beberapa kelompok dan masyarakat umum tentunya. Banyak dari masyarakat umum yang mengucapkan terima kasih ke hakim karena apa yang dilakukan oleh terdakwa sudah sesuai prosedur ada pula yang mengecam tindakan hakim melepas terdakwa karena dianggap cacat prosedur dan korban yang ditinggalkan bukanlah penjahat atau buronan criminal.

Di waktu yang sama, mantan penyidik KPK yang saat ini sudah bertugas di Polri, Novel Baswedan menjalani pengobatan di Belanda. Sepupu dari Anies Baswedan ini menjalani pengobatan akibat siraman air keras yang menimpa matanya sehingga mengalami buta sebelah pada tahun 2017 ketika akan menjalani ibadah sholat subuh di dekat rumahnya. Pelaku penyiramnya adalah dari oknum kepolisian yang bernama Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette.

Beberapa konspirasi dari intimidasi ini muncul, seperti adanya upaya untuk menghalangi penyidikan dalam kasus-kasus besar yang menimpa beberapa pejabat. Hal ini didasari karena beliau pernah mengalami intimidasi serupa di tahun-tahun sebelumnya seperti tabrakan yang disengaja dan kriminalisasi atas kasus penganiayaan pencuri sarang burung walet yang diduga Novel menjadi pelaku di Bengkulu dulu. 

Ada juga yang berkonspirasi bahwa intimidasi ini dilatarbelakangi oleh perang dingin Cicak vs Buaya yang dimana merupakan perang dingin antar-institusi Polri, KPK & Kejaksaan yang tidak pernah tuntas. Istilah ini pertama kali dicetuskan oleh mantan Kabareskrim Polri dulu, Komjen Susno Duadji sebagai analogi dari konflik KPK-Polri yang memanas pada era SBY dulu. Lahirnya istilah ini bukan tanpa tiba-tiba. Kasus pembunuhan yang menimpa ketua KPK, Antasari Azhar diakui oleh sebagian masyarakat sebagai awal dari lahirnya konflik ini ketika pada saat itu ketua KPK sedang menyelidiki dugaan TPPU di berbagai kasus seperti Bank Century, BLBI & audit IT KPU yang menjerat putra presiden saat itu.

Setelah kurang lebih 2,5 tahun kasus ini tidak ada kejelasan, kedua pelakunya berhasil ditangkap. Kemudian, salah satu dari pelakunya berteriak dengan kata pengkhianat. "Tolong dicatat, saya tidak suka dengan Novel karena dia pengkhianat," teriak RB saat keluar dari Gedung Ditreskrimum Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Sabtu (28/12/2019). Kedua pelaku akhirnya menerima vonis yang berbeda. Rahmat Kadir divonis 2 tahun penjara, sedangkan Ronny Bugis divonis hanya 1,5 tahun penjara.

Vonis ini menuai kritikan dan kecaman keras karena dinilai tidak adil. Salah satu kritikan muncul karena vonisnya lebih ringan dari tuntutan jaksa ataupun waktu pencarian pelakunya dan juga hanya menguntungkan terdakwa saja. "Nyaris tidak ada putusan yang dijatuhkan terlalu jauh dari tuntutan, kalaupun lebih tinggi daripada tuntutan. Misalnya tidak mungkin hakim berani menjatuhkan pidana 5 tahun penjara untuk terdakwa yang dituntut 1 tahun penjara. Mengapa putusan harus ringan, agar terdakwa tidak dipecat dari Kepolisian dan menjadi whistle blower/justice collaborator. Skenario sempurna ini ditunjukkan oleh sikap terdakwa yang menerima dan tidak banding meski diputus lebih berat dari tuntutan penuntut umum," kata salah satu anggota Tim Advokasi Novel Baswedan, Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulis, Jumat (17/7).

Nah, jika kita melihat dari sini memang kedua kasus ini dinilai sangat aneh dan janggal karena dianggap melukai rasa keadilan di masyarakat maka tak tanggung-tanggung jika kasus ini dibawa ke ranah internasional. Kasus Novel Baswedan saja pernah dibawa ke Gedung Capitol atau Gedung Kongres AS di Washington DC pada tahun 2019 silam. "Kami punya akses terhadap para pengambil kebijakan di Amerika Serikat, melalui jalur kongres parlemen mengenai apa yang terjadi dalam kasus yang dihadapi oleh KPK dan Novel Baswedan di Indonesia," kata Putri pada Jumat (26/4/2019).

Namun, kasus yang dialami oleh Novel Baswedan ini sangat sulit dan tidak efektif untuk dibawa ke negeri Paman Sam ini karena Washington belum tentu bersedia untuk ikut andil dalam menyelidiki kasus ini. "Ini kan enggak dibawa ke tingkat internasional. Cuma dibawa ke AS dengan harapan AS akan memberi sanksi ke Indonesia," kata Pakar Hukum Internasional UI Hikmahanto Juwana. Hikmahanto menambahkan juga bahwa pada saat itu, partai yang berkuasa di Gedung Putih saat itu adalah Republik di masa rezim Trump, sehingga tidak akan terlalu memikirkan masalah HAM seperti Demokrat. "Soalnya kalau Partai Republik yang berkuasa maka mereka tidak terlalu memperhatikan masalah HAM," kata Hikmahanto. Sebagai contoh, Partai Demokrat, di era Joe Biden berkuasa saja sudah memberikan beberapa sanksi ke beberapa negara-negara seperti Rusia, Arab Saudi & Tiongkok karna adanya dugaan pelanggaran HAM & demokrasi. Contohnya saja kasus pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi yang ketika itu mantan wakil presiden era Obama ini menjatuhkan sanksi ke beberapa pejabat yang diantaranya larangan masuk ke AS itu.


Sedangkan untuk KM 50, kasus ini pernah dibawa oleh TP3 ke Mahkamah Internasional. "Laporan Tim Advokasi Korban Pelanggaran HAM berat oleh aparat negara ke ICC. Tragedi 21-22 Mei 2019 dan pembantaian 7 Desember 2020," kata Munarman yang saat ini sedang didakwa melakukan tindak pidana terorisme. Meskipun begitu, banyak yang menganalisis bahwa kasus ini tidak dapat dibawa ke Den Haag karena bukan merupakan kejahatan kemanusiaan yang terstruktur dan bukan dalam bagian dari agresi konflik tertentu. "Pelanggaran HAM berat itu ada indikator, kriteria, misalnya ada satu perintah yang terstruktur, ada komando, operasi khusus, dan lain-lain. Oleh karena itu, kami berkesimpulan ini satu pelanggaran HAM ada nyawa yang dihilangkan, lalu kami rekomendasikan untuk dibawa ke peradilan pidana," ungkap Ahmad Taufan Damanik selaku Ketua Komnas HAM di kantor Kemenko Polhukam.  Disamping itu, Indonesia juga bukan merupakan anggota Statuta Roma sehingga akan sangat sulit jika diterima oleh ICJ. 

Sehingga, dapat kita simak bahwa kedua kasus ini adalah upaya dari yang namanya Internasionalisasi. Definisi ini berbeda dari yang namanya Globalisasi. Jika Globalisasi merujuk kepada gaya hidup, ekonomi dan sosial budaya, Internasionalisasi, merujuk dari KBBI adalah bagian dari sebuah kasus yang terjadi di dalam negeri sengaja untuk dibawa ke luar negeri agar mendapatkan perhatian publik. Istilah ini lebih merujuk kepada politik daripada ekonomi, sosial & budaya. 

Di Indonesia, kasus yang sering diinternasionalisasi adalah dugaan pelanggaran HAM yang sering terjadi di Papua. Beberapa negara seperti Vanuatu kerap menunjukkan kebenciannya kepada Indonesia karena pemerintah Indonesia dituduh oleh Vanuatu kerap melakukan pelanggaran HAM dan tindakan sewenang-wenang di Papua. Reaksi ini muncul dari dalam negeri khususnya di sidang umum PBB dari Indonesia yang pada saat itu meminta Vanuatu untuk tidak ikut campur urusan dalam negeri Indonesia. "Saya terkejut bahwa Vanuatu terus-menerus menggunakan forum yang mulia ini untuk mengusik kedaulatan dan integritas wilayah negara lain. Serta terus melakukan agresi dengan maksud tercela dan motif politik untuk melawan Indonesia," kata Sindy dalam Sidang Umum PBB, seperti dilihat dari Channel YouTube Kemenlu, Minggu (26/9/2021).

Jadi, dapat kita simpulkan bahwa kedua kasus ini, baik penembakan KM 50 atau Novel Baswedan yang diinternasionalisasikan merupakan upaya untuk mencari perhatian dunia yang sebenarnya kedua kasus ini meskipun dibilang pelanggaran HAM namun tidak dapat dibawa ke ranah internasional karena kasusnya juga tidak memenuhi standar dari otoritas setempat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun