Hari itu, ditemani teriknya matahari Ibukota, aku menginjakkan kakiku dengan lesu di trotoar sembari memegang surat yang berisi permohonan Pemutusan Hubungan Kerja.
Aku menghela nafas panjang, sungguh berat rasanya ketika mengetahui hal buruk yang cukup fatal menimpa pabrik industri tempat ku bekerja, hingga kini tak bisa membiayai satu karyawan pun.
Setelah sekitar lima menit menempuh perjalanan di pinggir jalan, aku memutuskan untuk singgah di Halte Bus terdekat.
Seorang pria sebaya yang sepertinya sudah lebih dulu singgah disana, tanpa aba-aba dia menegurku "Eh, kamu yang waktu itu, 'kan?"
Ekspresi wajahku mengatakan aku sedang bingung sekarang. Memoriku mengingat tahun-tahun sebelumnya, mungkin sekitar sepuluh tahun yang lalu.
Waktu itu..
Bel sekolahku berdering nyaring, murid-murid berhamburan keluar dari beberapa kelas, tak sedikit juga murid yang masih didalam kelas bagai terjebak didalam kandang monster, contohnya aku dan kawan-kawan ku yang berharap Pak Toni segera meninggalkan kelas.
Selang beberapa detik, Pak Toni yang masih menjelaskan salah satu materi Fisika itu pun berjalan menuju meja guru, lalu meraih ponsel nya yang berdering, dan menempelkan nya ditelinga seraya berbicara dengan seseorang diseberang sana.
"Maaf anak-anak, ternyata Bapak ada tamu, udah nunggu di Ruang Guru. Ingat ya, PR nya halaman 89. Ketua kelas tolong bantu Bapak bawa barang Bapak ke Ruang Guru ya. Kalau gitu Bapak duluan, Assalamulaikum." Penutupan dari Pak Toni yang terburu-buru mematikan ponsel nya dan segera meninggalkan kelas.
Bima menyeletuk, "Yehh si Bapak, bukannya daritadi.. Bel nya 'kan udah dari seabad lalu," Aku dan Rendi hanya bisa cengengesan sambil menggelengkan kepala.
Bima dan Rendi adalah temanku sejak aku masih berada di kelas 1 SMP. Jarak rumah kami pun tidak terlalu jauh, itu yang membuat kami semakin dekat.
"Panas banget cuy hari ini, Warman yuk," Lanjut Bima bersemangat mengajak aku dan Rendi ke warung yang berada tepat dibelakang sekolah, dimiliki oleh wanita paruh baya yang kerap dipanggil 'Mba Iman'.
Tanpa berpikir panjang, aku dan Rendi mengiyakan ajakan Bima, karena memang tak bisa dipungkiri bahwa siang ini cuaca sangat panas, kalau kata Rendi "Mataharinya selusin ini mah."
Kami berjalan menuju gang dibelakang sekolah setelah melewati gerbang. Warung yang dimiliki Mba Iman pun sudah terlihat dari ujung gang, sepertinya tidak banyak pengunjung hari ini, "Mungkin karena panas banget jadi kebanyakan lebih pilih tidur dirumah," Pikirku dalam hati.
Sebagai siswa yang menduduki bangku kelas 2 SMP, kami bagai remaja yang sedang menginjak masa pubertas pada umumnya. Banyak hal yang membuat kami penasaran, bahkan hal kecil saja bisa membuat kami bertanya-tanya atau ingin mencoba, contohnya saat ini.
"Wah, baru liat nih es krim rasa semangka. Mau deh," Ujar ku sambil menutup lemari es setelah mengambil es krim yang ku mau dan segera membayarnya ke Mba Iman.
Rendi tak mau kalah, "Eh, ini juga baru nih. Permen sapi, mau coba ah, nanti bagi-bagi aja ya!" Ia mengambil permen berwarna beragam itu dari toples diatas etalase.
"Ah, gue es biasa aja, lah. Mba, mau es teh satu!" Bima berbicara dengan lantang ke Mba Iman yang dibatasi dengan etalase kaca, lalu duduk di kursi yang telah disediakan dan menghadap ke seberang warung.
"Eh, Jan, Ren, liat deh. Tuh anak ngeliatin ke arah kita mulu, giliran gue liatin balik malah buang muka." Panggilan Bima sukses membuat aku dan Rendi mengalihkan atensi kepada seorang anak laki-laki diseberang yang terlihat seumuran dengan kami.
Anak itu terlihat sangat kelelahan, raut wajahnya seperti sedang kalut dengan pikirannya. Ia membawa beberapa lembar ketas yang sepertinya berkas penting. Dengan pakaian yang terlihat cukup lusuh, memperhatikan kertas-kertas yang ia bawa sembari dibolak-balik.
"Ah, geer aja lo Bim!" Saut ku bermaksud bercanda membalas pernyataan Bima.
Selesai memberikan sekitar tiga ribu rupiah ke Mba Iman untuk membayar permen Rendi dan es Bima, kami langsung menyantap jajanan yang terlihat sangat nikmat, sembari berjalan meninggalkan warung tersebut.
Aku ingin membuang bungkus permen yang tadi dibeli oleh Rendi, namun saat itu aku tidak menemukan letak tempat sampah. Maka aku merogoh saku celana ku dan menaruh bungkusan tersebut, berniat akan ku buang nanti dirumah. Tak kusangka yang ku dapatkan adalah selembar kertas berwarna kuning yang terdapat gambar pahlawan 'Tuanku Imam Bondjol' dan bertuliskan 'lima ribu rupiah'.
Tanpa pikir panjang, aku menghampiri anak laki-laki yang tadi dilihat oleh Bima mumpung belum terlalu jauh.
"Hei, kamu lagi apa?" Tanyaku pelan, namun ia agak tersentak. Ia menoleh kearahku dan menjawab, "Emm.. Aku lagi nyari angkutan umum yang bisa bawa aku kesini," Anak itu menunjuk sebuah alamat yang tertulis di salah satu lembar kertas yang ia bawa.
"Eh, itu mah nggak terlalu jauh. Naik angkot 32 aja, paling goceng juga cukup," Ucap Rendi yang ternyata sudah ada dibelakangku bersama Bima.
"Oh gitu ya? Naik angkotnya darimana? Bisa nawar nggak, ya?" Tanya anak itu dengan wajah polos nya.
"Nanti kamu lurus aja ikutin jalan ini, sampe ketemu jalan raya. Terus tunggu sampe ada angkot 32 lewat. Kamu kesana mau ngapain? Ada ongkosnya, nggak?" Tanyaku penasaran dengan anak itu.
"Enggak ada, sih. Aku cuma punya seribu, duitnya udah aku pake buat beli telor satu butir, buat makan sama Ibu tadi. Aku kesana mau ikut seleksi ujian Matematika gratis," Jawab anak itu, dengan ekspresi bingung.
Aku terlihat bersemangat mendengarnya, "Oh iya? Wih, keren banget! Kamu sekolah dimana? Keliatannya kamu seumuran sama aku."
"Aku udah nggak sekolah dari kelas 4 SD, aku harus bantu Ibu mulung biar bisa makan, sekarang penyakit Ibu juga udah tambah parah. Kalo masih sekolah, aku emang seharusnya udah kelas 2 SMP," Jawabannya sukses membuat hatiku seketika mencelos.
"Tapi, walaupun aku udah nggak sekolah, aku masih belajar dari sisaan buku-buku lamaku, kok. Kadang kalo lagi mulung juga ketemu buku bekas atau lembar ujian bekas, kebetulan masih bagus jadi aku pake buat bahan belajar." Lanjut anak itu dengan senyuman tipis.
Aku memberikan selembar uang lima ribu rupiah yang sedari tadi berada di genggaman tanganku kepadanya sembari memperkenalkan diriku, "Ini aku ada sedikit pegangan buat kamu. Oh iya, nama kamu siapa? Nama aku Irzan, salam kenal ya!"
"Eh? Makasih banyak ya Irzan, semoga nanti kita ketemu lagi supaya aku bisa bales kebaikan kamu. Nama aku Yuda, salam kenal juga."
"Nama aku Bima, salam kenal," "Kalo aku Rendi, salam kenal ya," Bima dan Rendi ikut berkenalan juga, dan dibalas dengan hangat oleh Yuda.
"Hati-hati ya, Yud. Semoga selamat sampe tujuan, aku doain yang baik-baik buat kamu! Semoga dapet nilai tertinggi ya, Aamiin.."
"Hahaha Aamiin. Sekali lagi aku ucapin terimakasih banyak ya Zan, kamu bener-bener orang yang baik dan berjasa banget, semoga hidupmu selalu dikelilingin hal baik, ya," Ucap Yuda dengan sumringah.
Setelah Yuda hilang dari pandangan kami, kami segera memutar balikkan badan, bergegas menuju tujuan awal kami yaitu rumah masing-masing.
"Bisa-bisanya ya lo, Jan. Padahal goceng lumayan banget buat beli gasing di Bang Riko," Celetuk Bima tiba-tiba.
"Bener banget. Lagian, emang lo percaya itu buat ujian Matematika? Dari tampilannya aja udah enggak meyakinkan. Emang lo merhatiin kertasnya tadi? Lagipula kalo emang ikut ujian, gue nggak yakin dia menang," Tambah Rendi.
Aku menghela nafas dengan tenang, "Santai aja bro, Bunda ngajarin gue untuk selalu bantu orang lain selagi kita punya. Nanti juga Ayah ngasih duit jajan lagi kok ke gue. Kalo emang tadi si Yuda boong, yaudah gapapa, gue ikhlas kok ngasihnya, semoga bermanfaat buat dia. Tapi entah kenapa, gue percaya dia ikut ujian Matematika dan kemungkinan besar bakalan lolos,"
"Hahahah emang susah deh ngomong sama anak baiknya Bundaa," Canda Bima dan Rendi sembari menertawakanku dan menepuk pundakku, sebelum akhirnya kami berpamitan untuk mengakhiri pertemuan disore itu, karena ternyata kami sudah berada didepan rumahku.
"Hei, Irzan, kamu masih inget aku, 'kan?" Tanya pria yang saat ini berdiri di samping ku dengan raut wajahnya yang tersenyum hangat, sukses membuat memori ku buyar.
"Yuda?" Aku bertanya agak kaget. Pakaian yang ia kenakan jauh lebih bagus dari sepuluh tahun yang lalu, mungkin sekarang sudah bermerek khas luar negeri. Aroma yang memancar dari tubuhnya terasa harum semerbak, seperti baru melangkah ke toko parfum di pusat perbelanjaan mewah.
"Iya, Zan. Aku Yuda, orang yang kamu bantu waktu itu. Sekarang aku jadi Direktur Utama di perusahaan yang nggak jauh dari sini. Berkat kamu, loh. Kalo waktu itu nggak ada kamu, mungkin aku nggak bisa ikut seleksi ujian gratis dan dapet beasiswa sampe bisa cumlaude S1, terus aku lanjutin S2 di University of Cambridge setelah kerja dan dapet beasiswa lagi,"
Aku tercengang mendengarnya, sungguh tak kusangka orang yang ku tolong dahulu kini jauh lebih mapan dari ku. Aku tidak ada rasa menyesal sedikit pun menolongnya, justru aku ikut senang.
"Wah, keren banget Yud! Selamat, ya! Aku juga sebelumnya kerja di PT Amigdala, tapi baru aja di PHK,"
"Oh, iya aku udah denger juga beritanya. Ternyata kamu salah satu karyawan disitu juga?" Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. "Kalau kamu kerja di kantor ku aja, gimana? Masih ada lowongan, kok."
"Udah, jangan dipikirin lama-lama. Itu supirku udah dateng, naik yuk. Kita bahas di mobil," Yuda mengakhiri percakapan siang itu, sebelum ia dan aku memasuki mobil mewah yang ternyata sudah ditunggu oleh Yuda sedari tadi.
Beberapa bulan berlalu, dan kini hidupku sudah jauh lebih bahagia, dengan pendapatan yang lebih besar dari tempat kerja ku sebelumnya. Aku sangat berterimakasih kepada orang-orang disekitarku yang sedari dulu mengajarkan untuk selalu berbuat baik dari hal sekecil apapun itu secara ikhlas, hingga akhirnya aku mendapat hasil dari kebaikan itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H