Nadia Zahra Ramadhani Sufi
Pendidikan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta
Nadiazrs27@gmail.com
PENDAHULUAN
Perkembangan teknologi internet dengan jejaring sosial telah menciptakan masyarakat baru dalam bentuk virtual. Masyarakat ini merupakan wajah lain dari dunia nyata yang disebut masyarakat siber (Cyber Society) Bentuk masyarakat ini berada dalam ruang virtual yang tidak memerlukan kehadiran fisik anggota komunitas.Â
Masyarakat cyber (cyber society) merupakan istilah dari pesatnya perkembangan teknologi komunikasi di bidang informasi, salah satunya adalah internet. Masyarakat terbagi menjadi dua kategori, yaitu masyarakat dunia nyata dan masyarakat dunia maya[1]
Sebuah ruang yang akan menjadi desa global yang tidak lagi menantang batas-batas negara. Berbagai proses sosial terjadi, seperti menyapa, bersosialisasi, berbisnis, dan belajar. Perkembangan masyarakat siber telah menjadi simbol kemajuan peradaban manusia. Teknologi ini memudahkan segala aktivitas manusia.
Cyber society dibangun berdasarkan interaksi sosial dan proses sosial kehidupan kelompok atau jaringan sesama masyarakat maya. Interaksi atau proses tersebut bisa bersifat sementara atau dalam waktu yang lama tergantung dari kepentingan masyarakat tersebut.Â
Pada interaksi sosial sementara, anggota hanya sepintas ingin berjalan-jalan di dunia maya melalui browsing atau searching. Biasanya dilakukan untuk keperluan mencari informasi atau mengerjakan tugas.Â
Interaksi sosial yang berlangsung cukup lama antar anggota masyarakat maya biasanya disebut dengan netter. Pengguna tersebut setiap saat berada dalam dunia maya untuk bergaul, berbisnis, belajar bahkan hingga melakukan tindak kejahatan maya yang biasa disebut dengan cybercrime[2]
Kini, manusia mengalami realitas tidak lagi secara langsung tetapi melalui perantara teknologi. Apa yang selama ini kita sebut realitas sesungguhnya tidak lebih dari produk konstruksi media. Teknologi informasi telah "membunuh" realitas yang sesungguhnya, yaitu realitas yang hadir tanpa polesan media.Â
Eli Pariser menggambarkan fenomena ini secara detail melalui apa yang disebutnya sebagai filter bubble. Dengan bantuan algoritma, internet menciptakan dan menyuguhkan konten-konten pada netizen berdasar hasil analisis atas jejak-jejak digital yang ditinggalkannya.Â
Konten-konten ini berfungsi layaknya gelembung (bubble) yang mengurung individu dalam model realitas hasil olahan algoritma, dan pada saat yang sama menjauhkan individu dari konten yang mungkin dapat mengantarkannya pada alternatif penafsiran atas realitas.[3]
Â
BAGIAN TEMUAN
Para ilmuwan tidak lagi sekedar membahas pengaruh aktivitas di dunia virtual pada kehidupan riil manusia, tetapi mulai menjadikan aktivitas di dunia virtual itu sebagai fokus kajian tersendiri. Dunia virtual diperlakukan layaknya dunia riil dan oleh karenanya, ia layak dikaji secara terpisah sebagai dunia kehidupan tersendiri yang tak harus sinkron dengan kehidupan di dunia riil.[4]
Tantangan paling berat bagi para sosiolog yang mengkaji dunia cyber yaitu bagaimana agar sosiologi tetap relevan dengan perkembangan internet yang luar biasa cepat. Kecepatan perkembangan internet sebagai teknologi, medium dan ruang sosial, benar-benar melampaui kecepatan respon kajian akademik terhadapnya[5]
Untuk keperluan analisis ilmu sosial, internet harus dipahami sebagai tempat terjadinya interaksi sosial sebagaimana halnya di dunia riil, atau lebih tepatnya interaksi sosial yang dimediasi oleh teknologi informasi. Pemahaman seperti ini menempatkan manusia sebagai sentral analisis dari kajian seputar cyber society.
Lebih jauh, pemahaman ini juga memungkinkan ilmuwan sosial unutk mengkaji internet sebagai sebuah masyarakat yang memiliki dinamikanya sendiri, tak ubahnya masyarakat di dunia riil. Sebagaimana masyarakat riil, masyarakat cyber juga melakukan kegiatan-kegiatan bersama sebagaimana layaknya dalam lingkungan nyata.Â
Hanya saja karakter interaksi antara kedua jenis masyarakat ini tentu berbeda akibat perbedaan realitas pada kedua dunia ini. Interaksi sosial dalam masyarakat cyber memiliki beberapa ciri khas sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, yaitu: simmulation, interaction, artificiality, immersion, telepresence, networked communication dan anonymity.[6]
Cyber Society bisa dikaji dalam kaitannya dengan masyarakat di dunia riil maupun sebagai masyarakat tersendiri yang bersifat independen dari kehidupan para anggotanya di dunia riil. Dua model kajian ini mengacu pada pembedaan antara reality on cyberspace dan reality in cyberspace.Â
Pada reality on cyberspace, masyarakat cyber akan selalu dipandang sebagai kepanjangan tangan dari masyarakat di dunia riil. Oleh sebab itu, penelitian akan diarahkan untuk membahas pengaruh cyber life terhadap real life, ataupun sebaliknya. Sementara untuk mengkaji reality in cyberspace, sosiologi dapat melihatnya secara terpisah dan independen dari masyarakat di dunia rii. [7]
Iftitahul Laili Maghfiro memotret fenomena ini melalui kajiannya atas gaya hidup komunitas cosplayer dan para penggemarnya di Surabaya. Menurutnya, sebagian wibu memiliki kesulitan untuk membedakan realitas nyata dengan realitas maya. Beberapa di antara mereka bahkan memiliki pacar virtual, yaitu karakter anime idolanya. Mereka tidak lagi tertarik dengan kekasih riil yang bagi mereka tidak sempurna.[8]
Berbagai karakter realitas virtual yang berbeda dengan karakter realitas nyata ini mau tidak mau harus dihadapi oleh sosiologi dengan cara yang berbeda dengan saat sosiologi menghadapi realitas nyata. Untuk itulah kajian metateori menjadi penting.
Metateori mengkaji struktur dasar dalam teori sosiologi. Bagi Ritzer, metateori sosiologi harus berpusat pada analisis reflektif atas teori-teori yang sudah ada, bukan merumuskan aturan-aturan apriori untuk sebuah praktek teoretis[9]
Berbagai karakter realitas virtual yang berbeda dengan karakter realitas nyata ini mau tidak mau harus dihadapi oleh sosiologi dengan cara yang berbeda dengan saat sosiologi menghadapi realitas nyata. Untuk itulah kajian metateori menjadi penting.
Metateori mengkaji struktur dasar dalam teori sosiologi. Dari berbagai metateori yang berkembang dalam kajian sosiologi, metateori George Ritzer termasuk yang sangat luas dipakai untuk menjelaskan objek kajian sosiologi.Â
Salah satunya adalah fakta sosial. Namun ternyata paradigma fakta sosial ketika dipakai untuk menjelaskan realitas virtual, perlu ada penyesuaian-penyesuaian tertentu, terutama berkaitan dengan aspek keterlibatan manusia dalam menentukan fakta sosial.
Konsep-konsep lama yang berkaitan dengan fakta sosial perlu ditata ulang untuk menyesuaikan dengan perkembangan baru cyber society. Salah satu contohnya adalah konsep sosiologi tentang struktur sosial.
Bagi Allison Cafanagh, konsep kelas dan ketidakadilan, misalnya, tak lagi dapat didefinisikan dalam kaitannya dengan struktur kekuasaan tradisional yang menempatkan kepemilikan kekuasaan, kekayaan dan prestige sebagai determinan dalam menentukan posisi seseorang dalam kelas-kelas sosial.Â
Dalam era teknologi informasi, kelas mestinya memiliki definisi lain yang lebih berorientasi teknologi dan media. Kelas sosial dengan demikian memerlukan ukuran baru seperti inklusi/eksklusi dan akses terhadap new media.[10]
Inilah yang disebut virtual reality, sebuah realitas baru yang muncul pada era informasi. Tujuan utama virtual reality pada dasarnya untuk menciptakan ilusi keterlibatan dalam sebuah lingkungan yang dapat dirasakan sebagai tempat yang sebenarnya, dengan sejumlah interaktifitas yang cukup untuk melakukan tugas-tugas tertentu dengan cara yang efisien dan menyenangkan.[11]
Paradigma kedua adalah definisi sosial. Paradigma ini menekankan perspektif mikro dalam sosiologi. Dalam perspektif paradigma definisi sosial, objek kajian sosiologi adalah makna-makna subjektif individu ketika ia sedang berinteraksi dengan orang lain.Â
Tindakan-tindakan individu serta pola-pola interaksinya dibimbing oleh definisi bersama yang dikonstruksikan melalui proses interaksi[12]
Kemudian Paradigma perilaku sosial memiliki cara pandang yang berbeda dalam melihat realitas. Paradigma ini menekankan pendekatan objektif empiris terhadap kenyataan sosial. Dalam pandangan paradigma ini, respon yang dikeluarkan individu berada di bawah kendali stimulus yang menjadi dasar dari perilakunya[13]
Namun disini individu hanya dilihat sebagai manusia yang memberi respon dari stimulus. Sementara realitas virtual memperoleh statusnya karena diakui oleh struktur kesadaran manusia sebagai realitas. Hal inilah yang memungkinkan realitas virtual dapat menciptakan sense of presence atau sensation of being elsewhere.
Jika aspek kesadaran ini hendak dihilangkan dalam analisis terhadap perilaku manusia di dunia cyber, maka realitas virtual akan menjadi sekedar realitas yang tak berkaitan dengan kesadaran kemanusiaan, padahal realitas virtual menjadi penting justru karena kaitannya dengan kesadaran manusia. Realitas virtual dipelihara sebagai nyata oleh pikiran manusia.[14]
Â
SIMPULAN
Dunia baru inilah yang kini menjadi tantangan bagi ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Perubahan realitas ini akan berdampak langsung pada metodologi dan teori-teori dalam ilmu sosial yang secara langsung berurusan dengan realitas kehidupan manusia, tak terkecuali sosiologi.Â
Sosiologi dipersiapkan sebagai ilmu yang mempelajari realitas hidup masyarakat. Persoalannya, realitas itu kini sudah berubah. Apa yang disebut sebagai realitas tidak lagi sama dengan definisi realitas yang secara tradisional menjadi objek kajian sosiologi.Â
Sosiologi yang disiapkan untuk menghadapi realitas "lama" kini harus siap menghadapi realitas baru, sebuah realitas yang dimediasi oleh teknologi (technology mediated reality), atau lebih tepatnya virtual reality.
Kenyataan ini mengharuskan dilakukannya perubahan fundamental dalam sosiologi. Menjelaskan realitas baru dengan cara dan definisi-definisi lama tentunya sama sekali tidak memadai. Sosiologi dituntut untuk melakukan rekonstruksi metodologi dan teori-teorinya untuk menyesuaikan dengan perkembangan baru dunia cyber.Â
Rekonstruksi itu dapat diawali dengan melakukan redefinisi atas realitas. Redefinisi ini amat penting untuk dilakukan, mengingat karakter realitas cyber yang akan dikaji oleh sosiologi ini amat berbeda dengan karakter realitas di dunia nyata.
Realitas yang menjadi kajian sosiologi, menurut paradigma Ritzer, dibagi menjadi tiga: fakta sosial, definisi sosial dan perilaku sosial. Fakta sosial mengacu pada realitas materiil dan non-materiil yang bersifat eksternal dari diri individu. Definisi sosial mengacu pada tindakan yang penuh makna dari individu dalam interaksinya dengan individu lain. Sedang perilaku sosial menunjuk pada perilaku manusia yang tampak (observable) dan kemungkinan pengulangannya di masa depan.
Ketiga jenis realitas yang menjadi fokus kajian sosiologi tersebut didesain untuk memahami realitas di dunia nyata. Di dunia cyber, ketiganya harus dimediasi oleh teknologi. Fakta sosial yang semula memiliki kekuatan coercive yang tinggi, di dunia cyber kekuatannya boleh jadi berkurang karena telah melalui proses mediasi oleh teknologi virtual.
Definisi sosial yang menekankan pada pencapaian makna intersubjektif, ketika masuk dalam realitas baru dunia cyber tidak lagi dapat sepenuhnya memiliki sifat subjektif karena interaksi antar manusia terjadi melalui perantaraan teknologi yang bersifat objektif, sehingga intersubjektivitas hanya dapat terjadi melalui perantaraan teknologi. Ini akan sangat banyak pengaruhnya dalam memahami interaksi antar manusia.Â
Hal yang sama juga berlaku pada paradigma perilaku sosial. Paradigma ini menekankan pada aspek perilaku yang nyata dan dapat diamati. Persoalannya, di dunia maya, apa yang disebut nyata itu tidak lain adalah kenyataan yang diproduksi media. Perilaku itu tidak lagi dapat diamati secara langsung tetapi hanya dapat diamati melalui bantuan media digital.
Berdasarkan pembahasan tiga paradigma di atas, penelitian ini ingin menggarisbawahi pentingnya bagi sosiologi untuk melakukan rekonstruksi sosiologi untuk kajian cyber society. Upaya seperti ini dapat dimulai dengan meredifinisi realitas yang menjadi fokus kajian sosiologi.Â
Jadi jika sosiologi didefinisikan sebagai ilmu yang mengkaji masyarakat, maka apa yang disebut sebagai masyarakat itu perlu didefinisikan ulang agar dapat mengakomodasi perkembangan terbaru dalam dunia cyber. Di masa depan, kajian sociology of cyberspace akan menghadapi tantangan yang makin kompleks, karena manusia akan lebih banyak berinteraksi dengan objek atau benda-benda daripada dengan manusia.
Perubahan karakter realitas masyarakat dan hubungan antar individu di dunia baru ini perlu mendapat perhatian tersendiri dalam sosiologi. Hal ini karena perubahan itu menyangkut aspek yang sangat fundamental dari kajian sosiologi, yaitu objek kajian sosiologi itu sendiri.Â
Sosiolog tidak bisa terus "berpura-pura" seolah tak terjadi apa-apa. Menjelaskan realitas baru yang sudah jauh berubah dengan cara-cara dan konsep lama jelas sama sekali tidak memadai. Sosiolog membutuhkan perangkat keilmuan baru untuk melihat realitas baru secara akurat.
 Rekonstruksi sosiologi mau tidak mau harus dilakukan untuk menyediakan tools yang memadai bagi seorang sosiolog untuk memahami realitas cyber dengan segenap kompleksitasnya.
Problem-problem baru yang dihadapi Sosiologi ini menjadi amat menarik untuk dikaji lebih jauh mengingat bahwa masa depan manusia tidak akan jauh-jauh dari teknologi informasi. Kemampuan sosiologi untuk memahami realitas sosial secara memuaskan amat tergantung pada kemampuannya untuk menyesuaikan metodologi dan konsep-konsep keilmuannya dengan realitas baru era cyber.[15]
DAFTAR PUSTAKAÂ
Ayu, Rikha dan Rahmawati Zulfiningrum. 2020. "Representasi Cyber Society Dalam Film SEARCHING". Jurnal Audience : Jurnal Ilmu Komunikasi 3(2) : 251
Eli Pariser. 2011."The Filter Bubble: What The Internet Is Hiding From You". New York: Penguin UK.
Laili, Iftitakhul Maghfiroh. 2017. "Gaya Hidup Komunitas Cosplay Jepang Di Surabaya". (UIN Sunan Ampel Surabaya). hal 32.
Muttaqin, Husnul. 2019. "Urgensi Rekonstruksi Sosiologi Bagi Kajian Cyber Society". Jurnal Sosiologi Reflektif 14(1) : 105-
Paul, Doyle Johnson. 1994. Teori Sosiologi Klasik dan Modern Jilid 1. (Jakarta: Gramedia).
Ritzer, George dan Barry Smart. 2014. "Handbook Teori Sosial". (Bandung: Nusa Media).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI