Mohon tunggu...
Nadia Yulianingtias
Nadia Yulianingtias Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Program Studi Teknologi Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya

haii! panggil aja nadia. mungkin kedepannya ingin memakai nama pena sendiri yang sudah direncanakan sejak lama yaitu nay's. suka sekali menulis khususnya menulis cerita pendek fiksi dan beberapa puisi. sudah ada lebih dari lima karya puisi yang aku ciptakan dan aku lombakan. beberapa diantaranya terpilih menjadi karya terbaik dalam lomba tingkat nasional dan satu puisi sudah dibukukan dalam buku antologi puisi. semua karya yang telah dilahirkan dan masih direnungkan akan aku tuangkan dalam blog inii! salam hangat, nadia.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kebebasan Berpendapat Dibayar Nyawa : Tragedi Pembacokan Saksi Pilkada Sampang

11 Desember 2024   17:00 Diperbarui: 11 Desember 2024   17:00 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pendahuluan

Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan elemen utama dalam sistem demokrasi yang menjadi wadah bagi rakyat untuk menyalurkan aspirasi dan partisipasi politik mereka. Melalui mekanisme ini, rakyat diberikan kesempatan untuk memilih pemimpin dan wakil-wakilnya secara langsung, sehingga dapat memastikan bahwa pemerintahan berjalan sesuai dengan keinginan, kebutuhan, dan harapan masyarakat luas. Proses demokrasi ini tidak hanya mencerminkan bentuk kedaulatan rakyat, tetapi juga menjadi instrumen penting dalam menjaga stabilitas dan keberlanjutan sistem politik suatu negara. Dengan memberikan hak suara kepada setiap warga negara yang memenuhi syarat, Pemilu dan Pilkada turut mengintegrasikan berbagai lapisan masyarakat dalam proses politik, menciptakan keterlibatan yang lebih inklusif, serta memperkuat rasa kepemilikan bersama terhadap jalannya pemerintahan.

Selain itu, Pemilu dan Pilkada berfungsi sebagai mekanisme kontrol yang efektif terhadap kekuasaan pemerintah. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi memiliki hak untuk memberikan penilaian terhadap kinerja pemerintah melalui hak pilihnya. Kebebasan untuk memilih dan menyatakan pendapat yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 serta berbagai peraturan perundang-undangan lainnya, memastikan bahwa setiap warga negara dapat berpartisipasi dalam proses demokrasi tanpa tekanan atau intimidasi. Oleh karena itu, Pemilu dan Pilkada tidak hanya menjadi simbol pelaksanaan demokrasi, tetapi juga merupakan wujud nyata penghormatan terhadap hak asasi manusia yang melindungi kebebasan berpendapat dan berpartisipasi politik.

Hak kebebasan memilih dan berpendapat merupakan salah satu pilar utama dari Hak Asasi Manusia (HAM) yang diakui secara universal dan dijamin oleh berbagai instrumen hukum internasional maupun nasional, termasuk dalam konstitusi negara Indonesia. Prinsip ini tidak hanya menjadi landasan utama dalam menjamin pelaksanaan demokrasi yang sehat, tetapi juga mencerminkan penghormatan terhadap hak individu untuk menentukan masa depan politiknya tanpa tekanan, intimidasi, atau ancaman. Namun, meskipun hak tersebut telah diakui dan dijamin, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pelanggaran terhadap hak ini masih sering terjadi. Salah satu contoh yang mencolok adalah insiden tragis dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Sampang, Jawa Timur, di mana seorang saksi pemilu menjadi korban kekerasan brutal berupa pembac*kan.

Menurut laporan dari INews.id, tragedi ini mencerminkan situasi ironis di mana kebebasan berpendapat dan berpartisipasi dalam proses politik harus dibayar mahal, bahkan hingga mengorbankan nyawa. Insiden ini diduga bermula dari perselisihan antara kubu pendukung pasangan calon yang bersaing, di mana korban dianggap sebagai pihak yang berbeda pendapat atau tidak sepaham dengan kelompok tertentu. Ketegangan ini akhirnya memuncak menjadi tindakan kekerasan yang tidak hanya melukai korban secara fisik, tetapi juga mencederai prinsip demokrasi yang seharusnya menjunjung tinggi toleransi, keterbukaan, dan kebebasan berpendapat. Tragedi ini menjadi cerminan nyata bahwa praktik demokrasi di beberapa wilayah Indonesia masih diwarnai oleh budaya kekerasan dan intoleransi, sehingga menuntut perhatian serius dari berbagai pihak untuk menciptakan ruang demokrasi yang aman dan bebas dari intimidasi. Penegakan hukum yang tegas dan perlindungan terhadap saksi dan peserta pemilu menjadi langkah penting dalam memastikan bahwa hak asasi setiap warga negara benar-benar dihormati dan dilindungi.

Tujuan dari pembuatan artikel ini adalah untuk memberikan pemahaman yang mendalam kepada pembaca tentang betapa pentingnya perlindungan terhadap hak kebebasan berpendapat dalam sebuah sistem demokrasi, terutama di tengah realitas sosial-politik yang masih sering diwarnai dengan tindak kekerasan. Artikel ini bertujuan untuk menyajikan fakta dan kronologi tragedi yang menimpa seorang saksi Pilkada di Sampang, sekaligus menggambarkan bagaimana insiden tersebut mencerminkan tantangan serius yang dihadapi demokrasi Indonesia. Dengan mengangkat peristiwa ini, artikel ini ingin membangun kesadaran masyarakat tentang dampak buruk dari budaya intoleransi, ketidakdewasaan politik, serta lemahnya penegakan hukum yang mengancam hak-hak dasar warga negara.

Selain itu, artikel ini juga dimaksudkan untuk menjadi pengingat bagi para pemangku kepentingan, baik pemerintah, penyelenggara pemilu, maupun masyarakat luas, tentang pentingnya menciptakan ruang demokrasi yang aman, bebas, dan inklusif bagi semua pihak. Melalui analisis mendalam dan penyajian data yang akurat, artikel ini diharapkan dapat mendorong langkah-langkah konkret untuk mencegah terulangnya kejadian serupa, seperti peningkatan perlindungan terhadap saksi dan peserta pemilu, penegakan hukum yang lebih tegas terhadap pelaku kekerasan, serta edukasi politik bagi masyarakat agar memahami pentingnya toleransi dan penghormatan terhadap perbedaan pandangan. Dengan demikian, artikel ini tidak hanya mengungkap tragedi yang terjadi, tetapi juga berkontribusi dalam upaya membangun demokrasi yang lebih matang dan berkeadilan di Indonesia.

Hasil dan Pembahasan

Sebagai respons terhadap berbagai permasalahan pelanggaran hak asasi manusia yang sering terjadi dalam konteks penyelenggaraan pemilu di Indonesia, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah mengambil langkah strategis dengan menerbitkan Standar Norma dan Pengaturan (SNP) terkait Hak Asasi Manusia dan Kelompok Rentan dalam Pemilihan Umum. Dokumen ini dirancang sebagai acuan normatif dan operasional untuk memastikan bahwa seluruh proses pemilu, mulai dari persiapan hingga pelaksanaannya, berjalan dengan menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia, khususnya bagi kelompok rentan. Kelompok rentan yang dimaksud meliputi individu atau kelompok yang sering kali mengalami diskriminasi, marginalisasi, atau hambatan sistemik dalam menggunakan hak politiknya, seperti perempuan, penyandang disabilitas, masyarakat adat, kelompok minoritas, hingga masyarakat yang tinggal di wilayah terpencil.

Melalui SNP ini, Komnas HAM memberikan panduan yang jelas mengenai bagaimana hak-hak kelompok rentan harus diakomodasi dan dilindungi selama proses pemilu. Panduan ini mencakup berbagai aspek, mulai dari aksesibilitas terhadap informasi dan tempat pemungutan suara, perlindungan dari ancaman dan intimidasi, hingga pemberian kesempatan yang setara untuk berpartisipasi dalam proses politik. Inisiatif ini tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan kualitas demokrasi, tetapi juga untuk memastikan bahwa prinsip inklusivitas benar-benar terwujud dalam setiap tahap pemilu. Dengan demikian, SNP ini menjadi alat penting dalam mendorong semua pihak, baik pemerintah, penyelenggara pemilu, maupun masyarakat, untuk bersama-sama menciptakan pemilu yang adil, bebas, dan berkeadilan sosial.

Selain itu, penerbitan SNP ini juga diharapkan dapat menjadi dasar bagi upaya peningkatan kesadaran publik tentang pentingnya menghormati hak asasi manusia dalam konteks demokrasi. Hal ini mencakup perlunya edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya menghormati perbedaan pandangan politik, melawan segala bentuk diskriminasi dan kekerasan, serta menciptakan ruang demokrasi yang aman bagi semua. Dengan adanya SNP ini, diharapkan pelaksanaan pemilu di Indonesia tidak hanya menjadi simbol demokrasi, tetapi juga menjadi wujud nyata dari penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal.

Pasal 1 Deklarasi Universal pada Hak Asasi Manusia (DUHAM) menyatakan bahwa setiap manusia dilahirkan dalam kondisi bebas dan memiliki martabat dan hak yang setara. Dalam konteks Indonesia, setiap manusia berkedudukan sama dihadapan Tuhan Yang Maha Esa karena dilahirkan dengan martabat, derajat, hak, dan kewajiban yang sama. Manusia memang diciptakan dalam kelompok ras atau etnis yang berbeda-beda dan yang menentukan adalah Tuhan Yang Maha Esa, manusia tidak bisa memilih untuk dilahirkan sebagai bagian dari ras atau etnis tertentu. Oleh karena itu, perbedaan ras dan etnis tidak boleh menjadi dasar adanya perbedaan hak dan kebebasan.

Ada beberapa faktor yang dapat memicu terjadinya pelanggaran hak asasi manusia dalam konteks Pilkada, antara lain :

  • Polarisasi Politik : Polarisasi politik yang tajam seringkali memicu konflik dan kekerasan. Perbedaan pandangan politik yang ekstrem dapat memicu intoleransi dan radikalisme, yang berpotensi mengarah pada tindakan kekerasan.
  • Lemahnya Penegakan Hukum : Penegakan hukum yang lemah dan tidak konsisten terhadap pelaku kekerasan politik menjadi salah satu faktor yang mendorong terjadinya pelanggaran HAM. Pelaku seringkali merasa kebal hukum sehingga berani melakukan tindakan kekerasan tanpa takut akan sanksi.
  • Kurangnya Pendidikan Politik : Rendahnya tingkat pendidikan politik masyarakat membuat mereka mudah terprovokasi oleh isu-isu yang bersifat SARA atau hoaks. Masyarakat yang kurang memahami hak dan kewajibannya sebagai warga negara cenderung mudah dimanipulasi oleh kelompok-kelompok tertentu untuk kepentingan politik.

Dalam kasus ini mengungkap beberapa pelanggaran hak asasi manusia yang serius yaitu :

  1. Hak atas Kehidupan
    Hak atas kehidupan adalah hak paling mendasar yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Pembacokan hingga tewas terhadap saksi Pilkada ini adalah bentuk pelanggaran langsung terhadap hak ini. Setiap individu 

  2. Hak atas Keamanan Pribadi
    Sebagai warga negara, korban seharusnya dilindungi oleh negara dari ancaman kekerasan. Tindakan brutal yang dialaminya menunjukkan kegagalan sistem keamanan dalam melindungi individu yang menjalankan perannya dalam proses demokrasi.

  3. Kebebasan Berpendapat
    Hak untuk menyatakan pendapat, termasuk mendukung atau mengkritik kandidat tertentu, dijamin oleh Pasal 28 UUD 1945. Kekerasan yang dialami korban adalah upaya terang-terangan untuk membungkam kebebasan tersebut.

Tragedi ini menjadi refleksi buruknya pemahaman dan implementasi HAM di tingkat lokal. Sistem demokrasi yang seharusnya menjunjung tinggi perbedaan pendapat justru menjadi ladang subur untuk intoleransi dan kekerasan. Dalam konteks ini, ada beberapa tantangan besar :

  • Pendidikan Demokrasi dan HAM
    Kurangnya pemahaman masyarakat tentang pentingnya menghormati perbedaan adalah akar masalah. Pendidikan mengenai demokrasi dan HAM perlu diperkuat di berbagai lapisan masyarakat.
  • Penegakan Hukum yang Tegas
    Aparat penegak hukum harus bertindak tegas terhadap pelaku kekerasan tanpa memandang latar belakang politik atau sosial. Impunitas hanya akan memperkuat budaya kekerasan. 
  • Peran Negara dalam Melindungi Warga
    Negara memiliki tanggung jawab untuk memastikan keselamatan warganya, termasuk saksi dan pengawas dalam proses demokrasi. Sistem perlindungan terhadap individu yang rentan harus diperkuat.

Pelanggaran hak asasi manusia dalam Pilkada memiliki dampak yang sangat luas, baik bagi korban maupun bagi masyarakat secara keseluruhan. Beberapa dampak negatif yang dapat ditimbulkan antara lain :

  • Menguji Kepercayaan Publik : Pelanggaran HAM dapat merusak kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga negara, termasuk penyelenggara pemilu. Hal ini dapat menyebabkan apatisme politik dan partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi menjadi menurun.
  • Menghambat Pembangunan Demokrasi : Kejadian kekerasan dalam Pilkada dapat menghambat proses konsolidasi demokrasi di Indonesia. Kekerasan politik dapat menciptakan rasa takut dan ketidakamanan di masyarakat, sehingga menghambat pembangunan demokrasi yang berkelanjutan.
  • Menciptakan Ketidakstabilan : Konflik dan kekerasan dalam Pilkada dapat memicu terjadinya konflik sosial yang lebih luas dan mengancam stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat.

Upaya Pencegahan dan Penanganan Pelanggaran HAM dalam Pilkada

Untuk mencegah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia dalam Pilkada, diperlukan upaya yang komprehensif dari berbagai pihak, antara lain:

  • Penguatan Pendidikan Politik : Pendidikan politik yang berkualitas perlu diberikan kepada seluruh lapisan masyarakat, mulai dari tingkat sekolah hingga masyarakat umum. Pendidikan politik yang baik dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya demokrasi dan hak-hak asasi manusia.
  • Penegakan Hukum yang Tegas : Penegak hukum harus bertindak tegas terhadap pelaku kekerasan politik. Proses hukum harus berjalan secara transparan dan akuntabel, sehingga memberikan efek jera bagi pelaku dan memulihkan rasa keadilan bagi korban.
  • Penguatan Peran Masyarakat Sipil : Organisasi masyarakat sipil memiliki peran penting dalam mengawasi jalannya Pilkada dan melaporkan setiap bentuk pelanggaran yang terjadi. Masyarakat sipil juga dapat berperan dalam melakukan edukasi dan advokasi kepada masyarakat.

Kesimpulan

Tragedi pembacokan yang menimpa seorang saksi Pilkada di Sampang merupakan salah satu contoh nyata dari pelanggaran hak asasi manusia yang tidak hanya mencederai prinsip dasar demokrasi, tetapi juga mencerminkan masih lemahnya pemahaman dan penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Insiden ini menjadi pengingat keras bahwa kebebasan berpendapat, sebagai hak fundamental yang dijamin oleh konstitusi, masih sering kali terabaikan atau bahkan dilanggar secara brutal. Tidak ada kebebasan yang pantas dibayar dengan nyawa seseorang, terlebih dalam konteks demokrasi yang seharusnya mengedepankan dialog, toleransi, dan penghormatan terhadap perbedaan.

Kasus ini menyoroti betapa rentannya pelaksanaan demokrasi di Indonesia apabila tidak disertai dengan edukasi politik yang memadai, penegakan hukum yang tegas, dan komitmen kolektif untuk melindungi hak asasi setiap warga negara. Kekerasan yang terjadi tidak hanya melukai korban secara fisik, tetapi juga mencederai martabat kemanusiaan dan meruntuhkan kepercayaan publik terhadap proses demokrasi. Dalam sistem demokrasi yang ideal, setiap individu berhak menyuarakan pendapatnya tanpa rasa takut akan intimidasi, diskriminasi, atau ancaman kekerasan. Namun, tragedi ini menunjukkan bahwa idealisme tersebut masih jauh dari kenyataan di beberapa wilayah, terutama di daerah dengan tensi politik yang tinggi dan minimnya kontrol sosial.

Untuk mencegah kejadian serupa di masa depan, diperlukan langkah konkret dan kolaboratif dari pemerintah, masyarakat, dan seluruh pemangku kepentingan. Pemerintah perlu memperkuat penegakan hukum dengan memberikan hukuman tegas kepada pelaku kekerasan serta memastikan perlindungan yang memadai bagi saksi, peserta, dan penyelenggara pemilu. Selain itu, masyarakat juga harus didorong untuk lebih memahami pentingnya menghormati perbedaan pendapat melalui edukasi politik yang berkelanjutan, terutama di daerah-daerah yang rawan konflik. Penyelenggara pemilu, dalam hal ini, juga memiliki tanggung jawab besar untuk menciptakan mekanisme pengamanan yang ketat dan mengedepankan prinsip keadilan serta inklusivitas dalam setiap tahap pelaksanaan pemilu.

Pada akhirnya, tragedi ini harus menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak untuk membangun demokrasi yang tidak hanya prosedural, tetapi juga substansial, dengan menjadikan penghormatan terhadap hak asasi manusia sebagai pondasi utamanya. Demokrasi sejati bukan hanya soal memilih pemimpin, tetapi juga tentang menciptakan ruang di mana setiap individu dapat menyampaikan aspirasinya dengan bebas, aman, dan bermartabat.

Artikel dibuat untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Kewarganegaraan

Dosen Pengampu : Muhamad Arif Mahdiannur, S.Pd., M.Pd.

Tema : Hak Asasi Manusia

Teknologi Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya

Kelompok 6 (2023B) :

1. Herlina Alya Rahma (23010024013)

2. Nadia Yulianingtias (23010024020)

3. Nia Aprilia Nurhadi (23010024030)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun