Suara keyboard yang diketuk oleh pemiliknya selalu menghiasi ruangan ini. Sesekali ada pembicaraan ringan mengisi sela-sela waktu untuk sejenak melepaskan jenuh oleh layar monitor. Siang itu, seperti biasa Sinar sedang berada di kantornya, Sinar adalah salah seorang penulis artikel di tabloid remaja. Dia biasa menulis artikel tentang tips-tips kocak, atau sering juga mengisi rubrik ringan yang membahas uniknya kehidupan remaja.
“Nar, deadline udah clear belum?”, tanya Gesang, salah seorang rekan kerja Sinar.
“Udah dong, tinggal editing terus kasih lihat ke bu Reni deh. Punyamu?”.
“Aku sih udah selesai nulis hasil liputan sama artis yag baru naik kereta itu, eh maksutnya naik daun”.
Gesang mencoba menggoda Sinar dengan becandaan yang garing. Karena cara itu selalu berhasil membuat senyum manis terbentuk di wajah cantik Sinar, begitu pikir Gesang setiap berdua dengan Sinar. Gesang memang sudah lama mengagumi Sinar. Namun entah mengapa Gesang merasa minder untuk mengutarakan isi hatinya, diat takut jika Sinar menolaknya. Gesang juga berpikir, masih ada sisi lain dari Sinar yang masih misteriu, entah apa.
“Hey, kenapa ngliatinnya gitu? Terpesona ya dengan kecantikanku”, goda Sinar saat mendapati Gesanng sedang memperhatikan dirinya.
Sinar sendiri tidak tau perasaan seperti apa yang menghinggapi hatinya. Dia hanya merasa senang berada di dekat Gesang.
“Makan yuk, kamu tadi pagi belum sarapan kan? Makanya kamu bawa coklat buat ganjel perut. Tapi tetep aja rasa lapernya jebol karena perut kamu memberontak minta nasi. Dasar gendut”, sindir Gesang sambil melarikan diri ke arah parkiran.
Dengan wajah kesal berbalut senyum, Sinar meraih tas dan jaketnya kemudian menyusul Gesang.
Mereka berboncengan menaiki motor sport milik Gesang, menuju sebuah rumah makan langganan. Mereka langsung memesan makanan masing-masing. Sambil menunggu mereka pun berbincang dengan hangat.
“Sinar, kamu tau nggak kenapa aku sering ngajak kamu kesini”?, sinar hanya menggelengkan kepala dengan gaya khasnya yang membuat Gesang makin jatuh cinta.
“Karena ini adalah tempat faforitku dari kecil. Dan aku ingin membawamu serta menjalani cerita hidup selanjutnya dimulai dari sini”, begitulah yang ingin diucapkan Gesang. Namun lagi-lagi lidahnya seperti terserang stroke dan tidak mampu berkata-kata. Akhirnya hanya melempar senyum yang bisa dia lakukan dihadapan gadis pujaannya.
Menyadari suasana yang mulai aneh, Sinar memecah keheningan yang sesaat itu.
“Eh, Sang. Kamu kan jurnalis ya, sekarang kita mainan yuk. Aku kasih kamu kata, terus kamu harus bisa membuat sebuah kalimmat berita dari kata itu”.
“Boleh, tapi abis itu gantian. Karena kamu penulis setiap kata yang aku kasih harus jadi kalimat yang indah”, Gesang meantang balik.
“Oke, siapa takut. Aku duluan ya?, Batu”. Sinar memulai permainannya.
“Penyanyi muda itu seperti kena batunya. Akibat keisengannya saat make up akhirnya terpaksa dia perform dengan rambut yang pitak sebelah. Sekarang giliran kamu, kutu”. Gesang yang merasa mampu melakukan tantangan, menyerang balik Sinar dengan kata yang sengaja diilih dengan harapan tidak mungkin tercipta kalimat romantis darinya.
Namun bukan Sinar jika tidak mampu membuat Gesang terpana. Sesaat Sinar diam, dan menatap tajam mata Gesang.
“Seperti kutu aku mencintaimu. Berusaha tak terlihat agar tak kau usir. Berusaha sembunyi agar tak kau dapati. Demi untuk tetap bersamamu”.
Entah mengapa, Sinarpun seperti tulus mengucapkan itu. Gesang hanya bengong, melepas senyum. Dalam hatinya dia membulatkan tekat untuk mengungkapkan perasaan pada gadis ini. Dia tak mau kehilangan moment lagi.
“Permisi, ini pesanannya”, suara pelayan rumah makan yang mengacaukan suasana.
Sinar dan Gesang pun kembali hidup dari stroke perasaan masing-masing. Menikmati makanan dalam hangatnya canda. Dan sesungguhnya, mereka mulai merasakan peraaan itu satu sama lain.
“Daun”, tiba-tiba Gesang memasang wajah yang menantang penulis itu. Sinar tersenyum, lalu berkata,
“Daun pun sesungguhnya tak rela gugur meninggalkan ranting kecuali karena keadaan. Begitu pula aku”.
Suasana seperti itu terus berlanjut hingga sampai dikantor dan mereka hendak masuk ke ruangan masing-masing.
“terakhir deh Nar, cinta”, Gesang penuh harap Sinar akan mengucapkan kalimat tentangnya.
Namun Sinar hanya terdiam. Mengalihkan pandangan, sekeras apapun dia berpikir dia tak mampu merangkai kata-kata indah. Raut wajahnya berubah, dan dengan tatapan kosong menuju tempat duduknya kembali menatap layar monitor.
Masih dengan keadaan yang campur aduk Sinar membuka google crome kemudan mengetikan kata cinta. Lalu menitihkan air mata. Sebelum akhirnya kembali larut dalam pekerjaannya.
Waktu menunjukan pukul 15.00. Saatnya pulang. Gesang yang sudah lupa akan kejadian tadi, menghampiri Sinar seperti biaa untuk mengajak pulang bersama.
“Sinar, pulang yuk. Tapi aku mau ngajak kamu jalan dulu”, kalimat bernada halus menyentuh hati Sinar.
“perasaan apa ini. Apa yang terjadi denganku”, sinar justru bergejolak dalam hati. Kemudian menyetujui ajakan Gesang dan merekapun pergi ke sebuah taman.
“ngapain sih kita kesini?”, Sinar tak kuasa memendam pertanyaan yang sebenarnya sudah muncul sejak tadi.
“kamu masih utang sama aku. Cinta, ayo buatin kalimat romantis dari itu”, Gesang mengembangkan senyum dengan penu percaya diri jika Sinar akan memberinya kalimat manis.
Tanpa disadari, ternyata Gesang sudah beberapa langkah berjalan sendirian. Sinar masih berdiri dibelakang, meneteskan air mata. Gesang yang terkejut langsung kembali menghampiri Sinar. Dia tak tau apa yang terjadi, dia hanya bisa bertanya.
Gesang akhirnya terpaku mendengar jawaban Sinar.
“Kamu boleh tanya apapun ke aku. Kamu boleh kasih kata apapun. Tapi jangan kata itu. Aku nggak tau apa itu. Aku nggak pernah kenal apa itu. Aku tak bisa mengerti. Aku..”, Sinar tak bisa berkata-kata lagi. Dia larut dalam tangisnya.
Sinar memang tak pernah memiliki cintanya. Setiap dia merasa suka pada seorang cowo, akhir kisahnya adalah air mata. Dia seringkali patah hati, dan sakit hati. Dia orang yang selalu tulus, namun belum pernah mendapatkan cintanya.
Gesang kini menyadari, misteri yang masih mengganjal hatinya. Selama ini Sinar telah bercerita banyak tentang kehidupannya. Tapi tak sedikitpun Sinar bercerita tentang kisah cintanya. Gesang akhirnya mengerti sudut yang hilang dari setiap pandangan Sinar. Yaitu cinta, kekasih hati. Gesang bisa merasakan dinginnya perasaan Sinar, dan itu membuat ia semakin ingin menghangatkan hatinya.
“Gesang, dari dulu aku suka nulis. Apapun. Aku bisa membuat cerita, tentang apapun. Tapi setiap aku mencoba memakai kata itu aku nggak bisa. Aku tidak punya hal untuk diceritakan. Semua hal aku bisa mengimajinasikannya, semuanya, kecuali cinta. Aku nggak tau rasanya dicintai”.
Dengan senyum yang tersimpul dieajahnya, Gesang menggenggam tangan Sinar erat, semakin erat.
“Aku, cinta sama kamu. Aku sayang sama kamu. Dari dulu. Sekarang aku ingin menemanimu memahami apa itu cinta. Kamu tak perlu menghindari kata itu lagi untuk tulisanmu”.
Sinar yang juga merasakan kenyamanan setiap bersama Gesang, mengahmburkan badannya ke pelukan cowo yang telah menemaninya selama satu tahun terakhir. Sinar bahagia karena kini cintanya terbalas, dengan indah. Gesang apalagi, sangat bahagia karena dia menjadi laki-laki pertama yang memberikan cinta pada gadis pujaannya. Dan berharap dia pun menjadi yang terakhir bagi Sinar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H