Bicara tentang makanan adalah cara paling asyik untuk bicara hal-hal di luar makanan, ia mengodifikasi sekaligus menyelubungi kebutuhan-kebutuhan lain di dalam diri kita-seks, dendam lama, kasih sayang, pengakuan, ketakutan akan ditelantarkan, penebusan-dan makanan, ternyata, sungguh merupakan simbol sekaligus metafora kebudayaan. -Laksmi Pamuntjak-
Kalau saya bilang film Aruna dan Lidahnya mirip-mirip Bridget Jones Diary boleh, kan? Konyol-konyolnya mirip, sih, tentu saja dalam artian yang baik, ya. Bukan karena saya suka film Bridget Jones Diary lalu saya menyamakan Aruna dan Lidahnya dengan film Hollywood itu, sama sekali bukan.Â
Justru ini bagus karena Indonesia jarang membuat film dengan genre culinary romantic comedy seperti ini. Dengan aktor dan aktris sekelas Dian Sastrowardoyo, Nicholas Saputra, Hannah Al Rasyid dan Oka Antara, pengejawantahan dari novel berjudul sama karya Laksmi Pamutnjak (lagi-lagi penulis favorit saya, yeay!) ini tersaji dengan lezat.
Film ini bercerita tentang persahabatan Aruna dan kawan-kawannya yang mana mereka rata-rata berusia pertengahan tiga puluh tahun, dibalut dengan benang merah kecintaan mereka pada makanan. Aruna sendiri adalah seorang ahli wabah yang memaknai hubungan personal dengan makanan lebih menguntungkan daripada dengan lawan jenis. Intinya mending nggak punya pacar daripada nggak makan.Â
Sahabat Aruna, Bono si chef perfeksionis dan Nad si penikmat dunia melengkapi hari-hari Aruna dan menghadirkan obrolan santai tapi berbobot di meja makan.
Singkatnya, Aruna mendapat tugas menginvestigasi virus flu burung yang diduga merebak di beberapa kota. Bono dan Nad memutuskan ikut untuk melancarkan rencana wisata kuliner mereka bertiga. Datanglah Farish, never ending love-nya Aruna, yang kebetulan ditugaskan untuk mensupervisi Aruna.Â
Terjebak keadaan, mereka akhirnya kerja dan kulineran berempat. Yang membuat menarik adalah, dialog-dialog yang hadir selama mereka makan. Pesan yang bisa saya ambil adalah orang jadi lebih terbuka ketika mereka nyaman dan kenyang. Ketika kita menikmati makanan, bahkan dengan orang yang baru kita kenal sekalipun, kita jadi lebih bisa membuka diri dan menghilangkan kecanggungan. Begitu ajaibnya sebuah makanan, ya.
Drama dan eskalasi emosi di film ini juga digarap dengan baik dan puncak konfliknya di eksekusi dengan baik juga. Penonton disuguhi drama yang meningkat perlahan dan meledak dengan sempurna tanpa perlu pusing memikirkan lompatan plot.Â
Gradasi warna di film ini juga nyaman di mata, padahal film ini colorful banget, lho. Tapi lagi-lagi yang bikin film ini juara adalah dialognya.Â
Kekuatan kata-kata dan intonasi yang disuguhkan dengan benar membuat maksud dari film ini disampaikan dengan baik kepada penonton. Saya mau nggak mau setuju kalau dari makanan yang kita pilih bisa mencerminkan karakter kita.
Satu lagi yang nggak kalah penting, melalui film ini kita diajak untuk lebih mencintai kuliner nusantara yang sudah pasti unik dan original. Saya yakin setelah film ini jadi banyak orang berburu pengkang yang kata Bono masih saudara jauhnya lemper. Jadi banyak orang yang ingin tahu apa itu Lorjuk dan kenapa makanan itu enak padahal kalau dilihat dari penampilannya, Lorjuk itu nggak banget. Indonesia ini kaya akan makanan daerah dan mencoba kuliner lokal suatu daerah adalah tantangan tersendiri.Â
Last but not least, film ini jadi menarik dan sangat layak tonton adalah karena kualitas akting para pemeran yang paripurna. Dian Sastrowardoyo sukses menjadi Aruna yang pendiam tapi bisa punya pemikiran yang kompleks dan kritis akan suatu hal.Â
Nicholas Saputra, as always, berhasil memerankan seorang chef yang penuh dengan curiosity tentang menu-menu, tapi juga bisa jadi teman yang loyal, menyenangkan dan menenangkan semua orang. Sementara itu Nadeshda yang open minded dan mencintai hidup dan petualangan sukses diperankan oleh Hannah Al Rasyid tanpa perlu terkesan berlebihan. Sementara Oka Antara, berhasil banget jadi Farish yang membosankan tapi bikin gregetan, tipe cowok yang, herannya, disukai banyak cewek.
Kesan saya setelah nonton film ini adalah saya jadi lebih menghargai makanan yang saya punya hari ini dan sepertinya cara pandang saya tentang makanan akan berbeda. Bukan lagi hanya sebagai kebutuhan pokok tapi media untuk menyalurkan gairah, emosi, dan juga cinta.
Salam kenyang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H