Mohon tunggu...
Nadia Sarasati Nailufar
Nadia Sarasati Nailufar Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu Rumah Tangga

Emak-emak Jaksel

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Ketahanan Pangan di Mata Emak-Emak Jaksel

2 November 2024   15:59 Diperbarui: 2 November 2024   15:59 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

Tentu saya setuju dengan gagasan tersebut. Nasi juga musuh bagi saya yang sedang diet. Masalahnya, mengolah alternatif-aternatif beras itu tidak semudah nyeklek rice cooker. 

Alternatif karbohidrat selain beras dijelaskan lebih lengkap di materi Sjamsul Hadi. Ada variasi umbi-umbian, sagu, dan jagung. Sebenarnya info ini bukan hal baru bagi kami, ibu-ibu yang dulu masak MPASI (Makanan Pendamping ASI). Dulu saya mengolah beberapa alternatif beras, seperti kentang, ubi, dan jagung, jadi bubur bayi. Sayangnya, seperti anak-anak pada umumnya, makin besar mereka makin cinta nasi dan menganggap varian karbohidrat lainnya itu sebagai snack belaka. 

Contohnya french fries, jasuke, dan yang akhir-akhir ini muncul… ubi bruule. Yah, anggapan itu tidak sepenuhnya salah. Karena memang menu itu hanya karbohidrat saja, tidak ada protein, dan asupan nutrisi lain. 

Apa bisa ditambah protein dan serat? Secara teori bisa. Ubi bruule dengan grilled chicken dan sauteed spinach misalnya. Tapi dari namanya saja sudah terdengar mahal. Anak-anak juga sepertinya lebih memilih nasi ayam goreng dan sayur bayam. Kalau untuk bapaknya, cukup tambah sambal terasi.

Emak-emak seperti saya sebenarnya adaptif dan kreatif. Kalau nanti beras jadi sulit didapat dan di supermarket adalah singkong dan jagung, saya akan scroll tiktok mencari resep-resep masakan dengan bahan tersebut. Tapi selama beras masih tersedia, saya lebih memilih beras yang tinggal ceklek rice cooker.

Untuk menggunakan alternatif beras sebagai pengganti karbohidrat, memang sulit. Tapi kutipan Sjamsul Hadi, Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat Kemendikbud, di dalam materinya, membuat saya merasa bisa mulai dari langkah kecil dulu.

Beliau menuliskan bahwa “jika sehari dalam seminggu tidak makan nasi, kita bisa menghemat 3.3 juta ton beras dalam setahun.” Wah, lumayan juga ya. Beras yang dihemat cukup banyak, dan dari sisi saya yang memasak bahan alternatif tersebut, satu hari tanpa beras sepertinya doable. 

Saya juga tertarik dengan pembahasan Jarot Indarto, Direktur Pangan dan Pertanian Kementrian PPN/Bappenas tentang masalah food waste. Ternyata food waste Indonesia itu banyak, hampir 300 kilogram/orang/tahun. Berarti rata-rata orang Indonesia membuang makanan sekitar 850 gram tiap hari. Itu setara berat ayam kampung 1 ekor yang kecil, lho.

Data lain dari kajian Bappenas 2021 juga mengungkap bahwa timbulan terbesar food waste berasal dari padi-padian. Jadi yang paling banyak dibuang itu nasi. Fakta yang cukup ironis, karena jumlah orang yang defisit energi di Indonesia adalah 45%.  

Walaupun saya baru tahu tentang fakta-fakta ini, saya sudah memilah sampah makanan dan SDU (sampah daur ulang) 4 tahun terakhir ini. Alasan idealnya adalah saya ingin anak-anak tumbuh dewasa di bumi yang sehat, bukan bumi yang tertutup sampah. Alasan praktisnya, memilah sampah membuat rumah tidak begitu bau dan cenderung lebih bersih.

Saya recycle SDU lewat start up jasa kelola sampah. Tapi untuk food waste, saya belum menemukan solusinya. Sepertinya begitu juga dengan Pak Jarot, karena tidak ada pembahasan lebih lanjut tentang solusi food waste.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun