Teman dekat saya, yang termasuk dalam tim, yang biasa mengantarkan saya pulang ke rumah, adalah sosok di balik pengalaman ‘pahit’ saya hari ini. Ia adalah seorang deadliner yang sangat anti dengan manajemen waktu yang tidak baik. Saat ia sudah menyelesaikan bagiannya, beberes dan siap untuk pulang, ia mengirim pesan BBM pada saya yang intinya ‘ayo cepat selesaikan, saya tidak suka dengan kemoloran seperti ini. Banyak waktu terbuang’. Saya, yang pada saat itu sedang tergesa-gesa memenuhi target waktu saya sendiri, masih dalam proses merapikan data, merasa terganggu sekaligus tersinggung. Lagi gupuh kok malah dimarahin. Saya balas pesan BBM itu sambil menahan emosi. Lalu saya segera selesaikan e-mail dan beberes untuk siap pulang. Hati saya mendadak tidak enak sejak pesan BBM teman saya muncul tadi. Kebetulan saya memang moody. Saat diantar pulang olehnya pun, saya tak mengeluarkan satu patah kata pun. Mood saya masih tidak bagus, dan saya menunjukkannya dengan diam seribu bahasa. Karena kami berencana untuk berbuka puasa bersama, maka kami berhenti di sebuah warung makan di pinggir jalan. Di situlah teman saya menceritakan pentingnya manajemen waktu. Ia memberitahu saya apa yang seharusnya saya benahi dari kejadian hari ini. Banyak sekali salah saya. Saya sesekali protes dan membela diri. Tapi ia secara implisit membuktikan bahwa itu hanya excuse (alasan) saya sebagai pembenaran.
Saat ia menjelaskan pentingnya manajemen waktu, saya merasa tidak nyaman, sekaligus merasa bersalah. Saya tidak suka situasi (disalah-salahkan) seperti ini, tapi saya juga sadar bahwa saya harus belajar dari ini. Mau tidak mau. Kenapa? Karena hanya dengan belajar lah saya bisa berubah. Hanya dengan ‘mencoba mengerti’-lah kita bisa berbenah. Susah sekali rasanya. Susah sekali untuk memahami ini. Tapi di saat saya merasakan kesusahan ini, saya seperti sudah bisa melihat apa yang ada di ujung jalan. Saya tahu saya akan menjadi lebih baik di ujung jalan itu, setelah melewati ‘kesakitan’ ini.
Setelah saya sampai di rumah dan memikirkan kembali perkataan teman saya, saya mulai mendapatkan gambaran besarnya. Teman dekat saya ini ingin membantu saya untuk menjadi lebih dewasa. Dengan cara apa? Manajemen waktu yang lebih baik. Melihat sesuatu jauh ke depan. Dua hal itulah yang diajarkan pada saya hari ini. Dengan dua hal itulah teman saya ‘menampar’ sifat kekanakan dan manja saya sampai sakitnya terasa. Saat saya menyadari maksud baik itu, saya tahu saya sedang dalam proses menuju kedewasaan.
Bukan main. Rasanya cukup menyakitkan. Sangat tidak nyaman.
Pada titik ini, saya menemukan hal baru lainnya: menjadi dewasa itu menyakitkan. Ya. Perubahan dari remaja (yang masih membawa sifat kekanakan) menuju dewasa itu menyakitkan. Apakah berarti ini hal yang buruk? Salah besar. Saya belum selesaikan premis ini. Menjadi dewasa itu menyakitkan dalam prosesnya.
Kita semua tahu, tak ada proses yang indah, tak ada pula yang instan. Semua yang berjudul ‘proses menuju kebaikan’ itu menyakitkan. Tetapi di ujung jalan, sesuatu yang indah akan terjadi. Lebih indah dari zona nyaman, tempat dimana jendelanya tidak cukup lebar sehingga hanya mampu memperlihatkan ‘proses yang menyakitkan’. Sedangkan di ujung sana, sesuatu yang indah sedang menanti.
Maka, pembaca Kompasiana, terutama yang sebaya dengan saya, jika anda merasakan apa yang saya rasakan, maka tersenyumlah. Anda sedang berproses menuju kebaikan, sama seperti saya. Mari sama-sama rasakan pahitnya untuk kemudian menuai nikmatnya. Selama ada niat untuk maju, semuanya akan baik-baik saja. Saya belum bisa bagikan bagaimana rasanya sesungguhnya, karena sayapun belum sampai sana. Saya hanya yakin akan sampai di sana.
Bagi anda yang masih merasakan separuh dari apa yang saya ceritakan (rasa tidak nyaman akan perubahan), cobalah untuk membaca lagi dan memahami maksud saya dalam tulisan ini. Saya tidak bermaksud sok pintar dan menggurui, tetapi memang, menjadi dewasa itu menyakitkan. Berubah itu susah. Tapi saat kita telah dewasa, saat kita sampai di ujung jalan itu, insya Allah kesakitan ini tak akan ada apa-apanya dengan apa yang kita dapat.
Â
Terimakasih sudah meluangkan waktu untuk membaca. Saya terbuka untuk sharing.
Selamat beraktivitas, Kompasianer.