7 Maret 2016
Â
Selamat malam, para pembaca Kompasiana. Rasanya sudah puluhan tahun saya tidak membuka dan mengupdate tulisan di sini. Well, mohon maaf. Paruh akhir tahun 2014, tahun 2015, dan awal 2016 ini saya mengalami hal-hal yang tidak bisa dijelaskan satu per satu. Mulai dari pengerjaan skripsi, pengurusan kelulusan, mencari pekerjaan setelah lulus, memulai dunia pekerjaan, merencanakan masa depan, sampai perlahan-lahan berbenah diri, sambil mencari jodoh (eh…).
Sudah banyak hal yang berubah dalam diri saya sejak terakhir kali saya memposting tulisan di Kompasiana. Alhamdulillah, perubahan ini banyak yang ke arah lebih baik. Saya senang dan bersyukur.
Masa vakum saya yang cukup lama ini juga disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya adalah tidak adanya topik yang cukup menarik dan bermanfaat untuk bisa saya angkat dan sajikan kepada pembaca. Keinginan untuk mulai menulis lagi sebenarnya sudah muncul bulan Februari lalu. Sayangnya, waktu dan mood seringnya tidak berjalan seirama untuk mewujudkannya. Namun, kejadian kemarin, didorong oleh motivasi saya untuk meningkatkan skill menulis, membuat saya memutuskan untuk melakukan ‘debut’ kembali di Kompasiana.
Kali ini saya hanya ingin berbagi pengalaman dan perasaan kepada pembaca yang budiman, khususnya untuk pembaca seumuran saya, yang notabene sedang dalam fase atau masa transisi dari remaja menjadi dewasa.
Pembaca Kompasiana, pernahkah anda merasa dipaksa keluar dari zona nyaman anda? Adakah momen dimana anda berpikir bahwa sudah seharusnya anda beranjak dari zona nyaman anda?
Sebelum saya meneruskan, zona nyaman adalah hal-hal, kegiatan, kebiasaan, atau kondisi dimana kita merasa nyaman sekali di dalamnya dan menjalaninya. Hal-hal dan kebiasaan ini kita ciptakan sendiri sejak lama, sehingga kita merasa aman, nyaman dan kita tidak mau melepasnya atau berhenti melakukannya. Saat berada di zona nyaman, kita cenderung tidak ingin beranjak. Berat rasanya untuk keluar dari zona favorit setiap manusia itu.
Masing-masing dari kita pasti memiliki zona nyaman. Saat kondisi atau situasi mencoba mengusik zona nyaman kita, tentunya kita cenderung menolak dan menghindarinya. Tetapi, pasti pembaca sudah pernah mengalami situasi yang membuat anda berpikir bahwa keluar dari zona nyaman itu bukanlah sebuah ‘kesalahan’. Ada situasi yang memaksa kita untuk mencoba keluar atau langsung keluar dari zona nyaman itu. Situasi itulah yang saya sebut sebagai proses menuju kedewasaan.
Kemarin, saya mengalami situasi itu. Manajemen waktu, salah satu hal yang sampai saat ini belum saya kuasai, menjadi pemeran utama dalam pengalaman saya hari ini. Singkat cerita, kemarin di kantor, saya dan tim (7 orang) bertugas menerjemahkan video menjadi data di Microsoft Excel. Di sini, saya koordinatornya. Saya melakukan pembagian tugas. Setiap anggota tim melakukan tugasnya, yang terhitung mulai jam 9 pagi sampai deadline jam 5 sore, dimana saya harus mengirimkan laporan harian (berupa e-mail) kepada atasan mengenai progress input data tersebut. Jam 5 sore adalah waktu untuk pulang kerja bagi saya dan tim, sehingga semua pekerjaan hari itu sudah harus selesai.
Dalam benak saya, pukul 17.00 adalah saat dimana saya sudah harus mendapatkan semua data yang dikerjakan tim saya, meng-compile-nya (menggabungkan), merapikan formatnya, lalu saya kirimkan ke atasan saya. Maka, saya mencoba mengimplementasikan rencana itu. Kenyataannya, saya selesai melakukan itu semua pukul 17.30. Dalam situasi normal (biasanya), saya tidak menganggap itu sebagai ‘pelanggaran’ atau ‘kesalahan’. Tetapi, kemarin saya merasa sedih.