Mohon tunggu...
Nadia Seassi Roesdiono
Nadia Seassi Roesdiono Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Bachelor of English Literature, majoring in Cultural Studies. 23. Growing up. Learning. Understanding.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Menjadi Dewasa Itu Menyakitkan

8 Maret 2016   19:23 Diperbarui: 8 Maret 2016   19:43 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

7 Maret 2016

 

Selamat malam, para pembaca Kompasiana. Rasanya sudah puluhan tahun saya tidak membuka dan mengupdate tulisan di sini. Well, mohon maaf. Paruh akhir tahun 2014, tahun 2015, dan awal 2016 ini saya mengalami hal-hal yang tidak bisa dijelaskan satu per satu. Mulai dari pengerjaan skripsi, pengurusan kelulusan, mencari pekerjaan setelah lulus, memulai dunia pekerjaan, merencanakan masa depan, sampai perlahan-lahan berbenah diri, sambil mencari jodoh (eh…).

Sudah banyak hal yang berubah dalam diri saya sejak terakhir kali saya memposting tulisan di Kompasiana. Alhamdulillah, perubahan ini banyak yang ke arah lebih baik. Saya senang dan bersyukur.

Masa vakum saya yang cukup lama ini juga disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya adalah tidak adanya topik yang cukup menarik dan bermanfaat untuk bisa saya angkat dan sajikan kepada pembaca. Keinginan untuk mulai menulis lagi sebenarnya sudah muncul bulan Februari lalu. Sayangnya, waktu dan mood seringnya tidak berjalan seirama untuk mewujudkannya. Namun, kejadian kemarin, didorong oleh motivasi saya untuk meningkatkan skill menulis, membuat saya memutuskan untuk melakukan ‘debut’ kembali di Kompasiana.

Kali ini saya hanya ingin berbagi pengalaman dan perasaan kepada pembaca yang budiman, khususnya untuk pembaca seumuran saya, yang notabene sedang dalam fase atau masa transisi dari remaja menjadi dewasa.

Pembaca Kompasiana, pernahkah anda merasa dipaksa keluar dari zona nyaman anda? Adakah momen dimana anda berpikir bahwa sudah seharusnya anda beranjak dari zona nyaman anda?

Sebelum saya meneruskan, zona nyaman adalah hal-hal, kegiatan, kebiasaan, atau kondisi dimana kita merasa nyaman sekali di dalamnya dan menjalaninya. Hal-hal dan kebiasaan ini kita ciptakan sendiri sejak lama, sehingga kita merasa aman, nyaman dan kita tidak mau melepasnya atau berhenti melakukannya. Saat berada di zona nyaman, kita cenderung tidak ingin beranjak. Berat rasanya untuk keluar dari zona favorit setiap manusia itu.

Masing-masing dari kita pasti memiliki zona nyaman. Saat kondisi atau situasi mencoba mengusik zona nyaman kita, tentunya kita cenderung menolak dan menghindarinya. Tetapi, pasti pembaca sudah pernah mengalami situasi yang membuat anda berpikir bahwa keluar dari zona nyaman itu bukanlah sebuah ‘kesalahan’. Ada situasi yang memaksa kita untuk mencoba keluar atau langsung keluar dari zona nyaman itu. Situasi itulah yang saya sebut sebagai proses menuju kedewasaan.

Kemarin, saya mengalami situasi itu. Manajemen waktu, salah satu hal yang sampai saat ini belum saya kuasai, menjadi pemeran utama dalam pengalaman saya hari ini. Singkat cerita, kemarin di kantor, saya dan tim (7 orang) bertugas menerjemahkan video menjadi data di Microsoft Excel. Di sini, saya koordinatornya. Saya melakukan pembagian tugas. Setiap anggota tim melakukan tugasnya, yang terhitung mulai jam 9 pagi sampai deadline jam 5 sore, dimana saya harus mengirimkan laporan harian (berupa e-mail) kepada atasan mengenai progress input data tersebut. Jam 5 sore adalah waktu untuk pulang kerja bagi saya dan tim, sehingga semua pekerjaan hari itu sudah harus selesai.

Dalam benak saya, pukul 17.00 adalah saat dimana saya sudah harus mendapatkan semua data yang dikerjakan tim saya, meng-compile-nya (menggabungkan), merapikan formatnya, lalu saya kirimkan ke atasan saya. Maka, saya mencoba mengimplementasikan rencana itu. Kenyataannya, saya selesai melakukan itu semua pukul 17.30. Dalam situasi normal (biasanya), saya tidak menganggap itu sebagai ‘pelanggaran’ atau ‘kesalahan’. Tetapi, kemarin saya merasa sedih.

Teman dekat saya, yang termasuk dalam tim, yang biasa mengantarkan saya pulang ke rumah, adalah sosok di balik pengalaman ‘pahit’ saya hari ini. Ia adalah seorang deadliner yang sangat anti dengan manajemen waktu yang tidak baik. Saat ia sudah menyelesaikan bagiannya, beberes dan siap untuk pulang, ia mengirim pesan BBM pada saya yang intinya ‘ayo cepat selesaikan, saya tidak suka dengan kemoloran seperti ini. Banyak waktu terbuang’. Saya, yang pada saat itu sedang tergesa-gesa memenuhi target waktu saya sendiri, masih dalam proses merapikan data, merasa terganggu sekaligus tersinggung. Lagi gupuh kok malah dimarahin. Saya balas pesan BBM itu sambil menahan emosi. Lalu saya segera selesaikan e-mail dan beberes untuk siap pulang. Hati saya mendadak tidak enak sejak pesan BBM teman saya muncul tadi. Kebetulan saya memang moody. Saat diantar pulang olehnya pun, saya tak mengeluarkan satu patah kata pun. Mood saya masih tidak bagus, dan saya menunjukkannya dengan diam seribu bahasa. Karena kami berencana untuk berbuka puasa bersama, maka kami berhenti di sebuah warung makan di pinggir jalan. Di situlah teman saya menceritakan pentingnya manajemen waktu. Ia memberitahu saya apa yang seharusnya saya benahi dari kejadian hari ini. Banyak sekali salah saya. Saya sesekali protes dan membela diri. Tapi ia secara implisit membuktikan bahwa itu hanya excuse (alasan) saya sebagai pembenaran.

Saat ia menjelaskan pentingnya manajemen waktu, saya merasa tidak nyaman, sekaligus merasa bersalah. Saya tidak suka situasi (disalah-salahkan) seperti ini, tapi saya juga sadar bahwa saya harus belajar dari ini. Mau tidak mau. Kenapa? Karena hanya dengan belajar lah saya bisa berubah. Hanya dengan ‘mencoba mengerti’-lah kita bisa berbenah. Susah sekali rasanya. Susah sekali untuk memahami ini. Tapi di saat saya merasakan kesusahan ini, saya seperti sudah bisa melihat apa yang ada di ujung jalan. Saya tahu saya akan menjadi lebih baik di ujung jalan itu, setelah melewati ‘kesakitan’ ini.

Setelah saya sampai di rumah dan memikirkan kembali perkataan teman saya, saya mulai mendapatkan gambaran besarnya. Teman dekat saya ini ingin membantu saya untuk menjadi lebih dewasa. Dengan cara apa? Manajemen waktu yang lebih baik. Melihat sesuatu jauh ke depan. Dua hal itulah yang diajarkan pada saya hari ini. Dengan dua hal itulah teman saya ‘menampar’ sifat kekanakan dan manja saya sampai sakitnya terasa. Saat saya menyadari maksud baik itu, saya tahu saya sedang dalam proses menuju kedewasaan.

Bukan main. Rasanya cukup menyakitkan. Sangat tidak nyaman.

Pada titik ini, saya menemukan hal baru lainnya: menjadi dewasa itu menyakitkan. Ya. Perubahan dari remaja (yang masih membawa sifat kekanakan) menuju dewasa itu menyakitkan. Apakah berarti ini hal yang buruk? Salah besar. Saya belum selesaikan premis ini. Menjadi dewasa itu menyakitkan dalam prosesnya.

Kita semua tahu, tak ada proses yang indah, tak ada pula yang instan. Semua yang berjudul ‘proses menuju kebaikan’ itu menyakitkan. Tetapi di ujung jalan, sesuatu yang indah akan terjadi. Lebih indah dari zona nyaman, tempat dimana jendelanya tidak cukup lebar sehingga hanya mampu memperlihatkan ‘proses yang menyakitkan’. Sedangkan di ujung sana, sesuatu yang indah sedang menanti.

Maka, pembaca Kompasiana, terutama yang sebaya dengan saya, jika anda merasakan apa yang saya rasakan, maka tersenyumlah. Anda sedang berproses menuju kebaikan, sama seperti saya. Mari sama-sama rasakan pahitnya untuk kemudian menuai nikmatnya. Selama ada niat untuk maju, semuanya akan baik-baik saja. Saya belum bisa bagikan bagaimana rasanya sesungguhnya, karena sayapun belum sampai sana. Saya hanya yakin akan sampai di sana.

Bagi anda yang masih merasakan separuh dari apa yang saya ceritakan (rasa tidak nyaman akan perubahan), cobalah untuk membaca lagi dan memahami maksud saya dalam tulisan ini. Saya tidak bermaksud sok pintar dan menggurui, tetapi memang, menjadi dewasa itu menyakitkan. Berubah itu susah. Tapi saat kita telah dewasa, saat kita sampai di ujung jalan itu, insya Allah kesakitan ini tak akan ada apa-apanya dengan apa yang kita dapat.

 

Terimakasih sudah meluangkan waktu untuk membaca. Saya terbuka untuk sharing.

Selamat beraktivitas, Kompasianer.

NSЯ

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun