Mohon tunggu...
Nadia Maria
Nadia Maria Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis

Pemerhati kesehatan mental Founder Garwita Institute

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Siapakah yang Peduli pada Si Pemerkosa?

6 Mei 2016   15:43 Diperbarui: 7 Mei 2016   11:16 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ribuan artikel dan berita telah membahas kasus YY meski kejadiannya telah berlalu lebih dari satu bulan yang lalu. Kita semua memiliki empati mendalam pada korban dan keluarganya. Namun demikian, adakah sekelumit empati bagi pelaku?

PERMENUNGAN TENTANG REMAJA PELAKU DALAM KASUS ASUSILA

Hukuman bagi pelaku yang masih berstatus anak (anak berhadapan dengan hukum/ABH) dalam kasus YY sudah diputuskan pengadilan. Kalau saya adalah orang tua YY, saya pasti menuntut pelaku dihukum mati. Itupun belum cukup melegakan karena duka di hati ini akan sangat dalam, perih, dan mendera seumur hidup. Namun karena saya adalah “orang asing” dalam kasus ini, saya bisa mengambil jarak secara emosional dan berusaha berempati untuk kedua belah pihak, baik korban maupun pelaku.

Dalam tulisan ini, saya mau mengutarakan perhatian bagi pelaku. Terlepas dari kemungkinan dilakukannya banding atas keputusan pengadilan, kita perlu memikirkan dengan seksama rencana pendampingan bagi ABH pelaku. Tanpa bermaksud membela pelaku, hendaknya kita juga ingat bahwa sama seperti korban, beberapa pelaku pun masih berstatus “anak”. Di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Jember saya memiliki pengalaman mendampingi ABH terutama mereka yang terlibat kasus asusila, salah satunya adalah kasus perkosaan. Di sini saya mau berbagai pengalaman tersebut.

Tiga tahun lalu (tahun 2013) jumlah ABH, semuanya laki-laki, yang terlibat kasus asusila (pelecehan seksual, berhubungan seksual dengan anak di bawah umur, dan perkosaan) menjadi lebih banyak dari biasanya di Lapas Jember. Bila biasanya ABH pelaku yang terlibat kasus asusila persentasenya hanya 10% (kasus lainnya beragam seperti pencurian dan pengeroyokan), sejak tiga tahun lalu hingga satu tahun lalu, persentasenya meningkat tajam menjadi 60% dari seluruh napi anak yang ada. Saat itu sebagai seorang psikolog klinis yang melakukan pendampingan bagi napi, saya merasa bingung apa yang harus dilakukan.

Hasil permenungan saya dan tim menghasilkan beberapa buah pikir terkait ABH yang terlibat kasus asusila:

  • Bahwa mereka telah melakukan kejahatan yang sangat keji
  • Bahwa mereka menurut hukum di Indonesia statusnya juga adalah “anak”, usianya di bawah 18 tahun
  • Bahwa mereka juga adalah pelajar
  • Bahwa mereka juga adalah “korban” dari gaya hidup yang tidak ideal seperti terbiasa nongkrong sampai larut malam tanpa tujuan, mengkonsumsi miras, dan menonton video porno, bahkan sampai mengalami adiksi.
  • Bahwa mereka dari sudut pandang psikologi adalah remaja. Pada remaja terjadi pubertas, kematangan fisik, libido mulai muncul, namun seringkali tanpa dibarengi kematangan emosional sehingga pengambilan keputusan bersifat spontan tanpa adanya pemikiran jangka panjang
  • Bahwa mereka adalah “korban dari tekanan dalam peer group (=geng)”. Sebagian besar ABH dalam kasus asusila yang saya dampingi mendapat tekanan dari peer groupnya untuk melakukan suatu tindakan, misalnya “Kalau kamu tidak berhubungan seks dengan pacarmu (pelaku berusia 16 tahun dan pacarnya 15 tahun), kamu pengecut” atau “Kalau kamu tidak memerkosa cewek itu, kamu tidak jantan”. Karena peran peer group sangat besar dalam pembentukan identitas remaja, maka “tantangan” semacam itu sangat berbekas dalam pikiran dan perasaan mereka.

APA YANG DILAKUKAN?

Berdasar pemikiran di atas, saya dan tim berusaha menumbuhkan empati meski tidak mudah. Tetap ada perasaan jijik, heran, dan pertanyaan yang terus muncul dalam hati seperti, “Kok bisa-bisanya dia memerkosa?”, “Kok bisa-bisanya dia melecehkan anak berusia lima tahun?” Di tengah kegalauan itu, kami memutuskan untuk tetap mendampingi mereka, walau tidak yakin juga akan hasilnya. Melalui proses diskusi yang tidak terlalu panjang, kami mendesain pendampingan sebagai berikut :

  • Pendampingan psikologis dilakukan setiap minggu bersamaan dengan ABH lainnya dalam kelompok. Tema pendampingan berbeda di setiap sesinya namun dipilih tema-tema yang mudah dicerna, menarik, dan bermanfaat, seperti persahabatan, memaafkan, perilaku seksual berisiko, dan rencana masa depan.
  • Karena 90% ABH terkait kasus asusila adalah pelajar dan mereka mendapatkan hukuman yang tidak sebentar, yaitu sekitar 2-3 tahun, maka mereka terancam putus sekolah. Saya cuma berpikir sederhana waktu itu, "Sudah memerkosa, putus sekolah pula. Apa yang mau diharapkan dari anak-anak ini selepas mereka dari lapas?". Maka tim mengadakan apa yang kami sebut JAIL SCHOOLING (bukan tandingan home schooling ya…). Kami bekerja sama dengan mahasiswa Fakultas Pendidikan dan Keguruan dari berbagai kampus di Jember.

Jail Schooling

Jail Schooling (JS) tidak semata-mata mengajarkan mata pelajaran sekolah di dalam lapas. JS menjadi pendekatan unik dengan metode micro teaching yang dilaksanakan dalam setting lapas. Guru-guru (atau calon guru, karena mereka semua masih mahasiswa) yang direkrut merupakan guru-guru istimewa karena mereka harus mampu menghadapi ABH. Tidak sama seperti guru di sekolah reguler, guru JS berisiko untuk diabaikan, bahkan ditinggal pergi begitu saja bila cara pengajaran mereka tidak sesuai dengan harapan ABH. Lebih dari itu, mereka juga harus siap dibully ABH. Namun seiring dengan waktu, ABH mau menerima kehadiran guru JS dan tidak lagi kabur-kaburan saat bersekolah. Seringkali guru menjadi teman curhat dan teman bermain mereka. Mereka pun menanti kehadiran guru mereka setiap hari (JS dilaksanakan setiap hari Senin sampai dengan Jumat)

Prinsip kami dalam JS adalah mengajar dengan empati dan cinta tanpa prasangka. Berikan yang dibutuhkan ABH, bukan yang sesuai kurikulum pemerintah. Kreativitas guru dalam hal ini wajib hukumnya supaya ABH tidak bosan. Pelajaran yang diberikan setingkat SMA kelas 1, sesuai usia ABH: Matematika, Bahasa Indonesia, Ekonomi, Sejarah, Fisika, dan Biologi. Ada pembagian raport setiap 6 bulan sekali dimana dalam raport penjelasan tentang kondisi psikologis siswa (ABH) dijelaskan berdasarkan hasil observasi guru. JS sudah berjalan selama tiga tahun dan masih berjalan hingga sekarang.

*Cerita tentang Jail Schooling lebih lanjut dan lengkap akan saya bahas dalam artikel berikutnya.

APA HASILNYA?

Awalnya saya tidak berharap banyak dengan JS. Namun suatu hari kami pernah mengadakan lomba beberapa mata pelajaran yang diikuti beberapa sekolah di dalam lapas. Lomba dibuat adil, dimana siswa JS juga tidak mengetahui soal/problem yang diujikan. Hasilnya di luar dugaan, siswa JS mendapatkan juara 2 dari 4 sekolah. Bahkan untuk bidang Matematika, Vino (bukan nama sebenarnya), ABH siswa JS, mendapatkan skor tertinggi.

Vino berusia 15 tahun saat masuk lapas dan dia adalah seorang pemerkosa. Korbannya seorang remaja perempuan, berusia di bawah 18 tahun, diperkosa oleh beberapa pemuda, salah satunya Vino. Vino diganjar 2,5 tahun penjara. Saat masih di lapas, Vino mengatakan ia tidak pernah tahu sebelumnya bahwa ia ternyata memiliki kemampuan dan menyukai Matematika. Sebebas dari lapas, beberapa relawan membantunya agar bisa melanjutkan sekolah. Saat ini ia sudah menjadi seorang siswa salah satu SMK Negeri terbaik di Jember. Saya rasa tidak ada warga di sekolahnya yang tahu sejarah kelam Vino.

Lima puluh persen dari ABH "lulusan" JS, yang terkait kasus asusila, melanjutkan sekolah sebebas dari lapas. Mereka, si peleceh seksual dan si pemerkosa, saat ini berganti status menjadi pelajar. Mereka memakai seragam. Mereka belajar dan membuat PR. Mereka saat ini, masih sering bertemu dengan guru mereka, guru JS, untuk bercerita dan melepas rindu.  Saya tidak mengatakan bahwa intervensi ini berhasil, bahwa perilaku mereka menjadi lebih baik. Saya hanya hendak berbagi bahwa setiap anak, walau dia pernah melakukan kesalahan keji sekalipun, tetap memiliki kesempatan untuk memperbaiki hidup dan melanjutkan masa depan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun