Sekira pada periode 2012 lalu, Perahu Kertas menjadi salah satu buku paling boomingpasca adaptasinya ke dalam sebuah film dengan judul yang sama. Dewi DeeLestari, maestro di balik novel apik tersebut kabarnya juga menulis langsung skenario film yang ditangani sutradara Hanung Bramantyo ini. Berbicara soal menemukan cinta, agaknya Perahu Kertas menjadi salah satu yang juara. Ramuan kasmaran khas anak kuliahan, gonta-ganti pacar untuk sebuah proses menemukan teman hidup, sampai cinta bos-bawahan saat Kugy bekerja di kantor periklanan sempurna tergambar. Pendeknya, hikmah tersurat dari novel --juga film- ini adalah kalau cinta nggakkemana, jodoh tidak akan tertukar. Begitu pepatah klasik berbicara.
Meski begitu, saya mencoba melihat Perahu Kertas dari sudut lain: pendidikan, sebab pendidikan itu (katanya) membebaskan. Sekuen awal novel ini, yang justru dihilangkan di dalam filmnya bagi saya melukiskan itu semua.
.....
Enam tahun lalu, Keenan datang ke Amsterdam untuk menemani Oma --ibu dari mamanya- agar tidak digusur ke panti jompo karena dianggap terlalu tua untuk tinggal sendirian. Saat itu usia Keenan masih kanak-kanak, sekitar belasan tahun. Di negeri kincir angin Keenan kecil pun bebas merawat mimpinya, melukis. Amsterdam adalah tempat pelukis-pelukis hebat yang dikaguminya berseliweran. Ia rajin mengasah bakat, juga berkorespondensi dengan Pak Wayan, seniman Ubud yang merupakan kawan baik mamanya di masa lalu. Kini, enam tahun telah berlalu, Keenan harus pulang ke Jakarta. Namun, hatinya gamang. Pemuda itu tidak tahu apakah melukis akan tetap jadi jalan hidupnya.
Keenan tahu, ia mendapati bakat melukis dari mama. Mama dulunya pelukis, namun sejak menikah ia berhenti, entah apa alasannya. Sementara itu papanya selalu mengatakan bahwa dirinya terlalu pintar untuk sekadar jadi pelukis. Dari sana Keenan semakin menyadari bahwa papa tidak pernah setuju dengan jalan hidup yang ia pilih.
Setibanya di Indonesia, pertengahan 1999, Keenan mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi (UMPTN) dan diterima di jurusan manajemen. Orang tuanya lega, namun tidak begitu bagi dirinya. Di dalam kamar, setelah ia mendengar pembicaraan mama dan papa soal jurusan kuliah, Keenan semakin gamang. Ia terpaku memeluk lutut, sambil memandangi secarik kanvas kosong, yang ia tahu itu adalah jawaban hatinya.
.....
Di tempat yang lain Kugy Alisa merasakan kegamangan hati yang sama. Perempuan mungil itu tahun ini akan memasuki dunia perkuliahan. Kugy memilih jurusan sastra, tidak lain karena mengejar mimpinya menjadi penulis dongeng, sesuatu yang dianggap konyol oleh keluarganya. Kugy mencintai menulis lebih dari apapun, namun di hadapan orang lain ia tidak menjadi dirinya sendiri ketika menulis. Kugy tahu, orang-orang di sekitarnya butuh bukti bahwa dia serius menulis. Maka, sejak bangku SMP hingga SMA Kugy aktif menjadi pemimpin redaksi majalah sekolah, hingga mengikuti berbagai lomba sampai berkali-kali mendapatkan juara. Namun, jika orang-orang tahu yang sebenarnya, pikiran gadis mungil ini hanya dipenuhi dengeng-dongeng fantasi. Cerita khayalan pangeran lobak, wortelina, dan penyihir nyit-kunyit meluap-luap di otaknya.
Bagi Kugy memasuki jurusan sastra adalah hal paling realistis yang bisa ia lakukan. Jurusan yang paling mendekati impiannya. Dari sana Kugy berusaha merawat mimpinya, meski ia sendiri tidak tahu apakah dongeng-dongeng itu akan menjelma menjadi realita.
.....
Keenan dan Kugy pertama kali bertemu Agustus 1999 ketika kuliah di kampus yang sama. Tanpa pernah disadari, ternyata mereka memiliki banyak kesamaan. Kugy bercerita soal impiannya menulis dongeng kepada Keenan, sesuatu yang berbeda dengan yang terlihat dalam piagam-piagam menulis Kugy saat itu. Keenan tahu Kugy tidak menjadi dirinya sendiri, dia hanya berusaha memberikan pembuktian yang layak kepada banyak orang.
Membaca dongeng Kugy membuat Keenan merasa hidup. Apalagi di sela-sela tulisannya ia melihat Kugy berusaha mengilustrasikan tokoh-tokoh di dalamnya, namun selalu gagal. Saat itulah untuk pertama kalinya Keenan sangat bersemangat melukis untuk orang yang baru ia kenal. Tentu, Kugy sangat bahagia. Bersama Keenan ia merasa bahwa impiannya begitu dekat. Keenan juga bahagia Kugy melibatkannya menjadi bagian dari agen rahasia Neptunus. Agen yang dianggap main-main oleh orang lain, namun lewat radar ini mereka berdua pada akhirnya saling menemukan.
.....
Ada masa-masa ketika keadaan tak berpihak pada impian mereka. Kugy sempat berhenti menulis dan mencoba berpikir lebih realistis. Keenan juga sempat berhenti melukis karena dirinya merasa lukisannya tidak terlalu layak dipajang di sebuah galeri nasional. Sang ayah yang tidak pernah mendukung Keenan dalam melukis juga makin membuatnya tahu bahwa dirinya tidak akan pernah bebas melukis. Meski Keenan berhasil membuktikan pada papa dengan indeks prestasi tertinggi di angkatannya selama dua semester berturut-turut, nilai itu tidak berarti apapun, yang jelas tidak lebih berarti dari melukis.
.....
Keenan dan Kugy cukup memberikan gambaran tentang meredefinisi makna belajar yang sesungguhnya. Pendidikan yang sesungguhnya bagi saya adalah ketika orang-orang mampu bahagia atas kebebasan pilihannya, bukan atas materi dan pengakuan dari orang lain. Keenan sangat dibanggakan keluarganya ketika sukses kuliah manajemen, padahal baginya ia lebih sukses melukis. Papa selalu mengatakan bahwa melukis tidak akan membuatnya jadi kaya. Seniman tidak dibutuhkan di perusahaan tradingyang dikelola orang tuanya. Ah iya, saya lupa kalau saya tinggal di Indonesia. Saya tinggal di negara yang terlalu meterialistis mengukur sebuah kesuksesan dengan penghasilan pekerjaan.
Lalu pikiran ini jauh melayang pada bidang-bidang tertentu yang secara alami menjadi lebih diunggulkan daripada jurusan lain. Tidak lain karena dia memberikan materi lebih besar dalam dunia yang serba realita ini. Maka, jangan heran bahwa dokter, insinyur, teknisi, pengusaha digadang-gadang sebagai tolak ukur kesuksesan ketimbang sastra atau seni. Hal ini pulalah yang membuat sekolah-sekolah lebih banyak membuka kelas sains, dan ilmu sosial-humaniora menjadi terpinggirkan. Saya ingat, dulu ketika SD dan SMP, saat semua pelajaran bersifat umum, saya tidak pernah mendapati rumpun IPS atau seni menjadi salah satu materi yang diujikan dalam UN. Akibatnya, pelajaran sains dan matematika hampir menjadi satu-satunya tolak ukur kecerdasan pelajaran sekolah, sebabnya tentu karena ilmu-ilmu pasti mudah dinilai dan menjadi tolak ukur assessment. Pelajaran-pelajaran yang memiliki estetika dikesampingkan gara-gara pola ini, dan celakanya banyak anak, juga orang tua kolot terlalu terjebak dengan pemikiran demikian. Cerda situ ya juara olimpiade fisika, jaogo matematika, atau menang lomba biologi, bukan menulis apalagi melukis.
Rasa-rasanya ingin sekali menciptakan model pendidikan seperti yang diciptakan A.S. Neill dalam Summerhill Shool-nya. Di Summerhill anak-anak bebas dan sehat karena kehidupan mereka tidak terkotori oleh rasa takut dan benci. Summerhill, kata Neill tidak pernah menyuruh anak-anaknya sekadar duduk, dan patuh pada peradaban masa kini yang primitive,yang parameter keberhasilannya adalah uang. Ide Neill yang brilian itu muncul karena ia sadar bahwa selama ini anak-anak harus belajar dengan konsepsi yang diinginkan orang dewasa tentang belajar. Lantas Summerhill dibuat sebagai upaya menciptakan sekolah yang membiarkan anak-anak bebas menjadi diri mereka sendiri.
.....
Menjadi diri sendiri bagi Keenan dan Kugy membuat mereka bahagia. Kugy selalu menulis dongeng yang akhirnya menjadi nyata bersama Keenan, dan satu lagi K kecil di dalam perutnya. Perahu kertas telah berlabuh dengan bahagia di akhir cerita. Semoga kamu juga
Ps. Saya menggunakan buku Summerhill School: Pendidikan Alternatif yang Membebaskanterbitan Serambi (2007) sebagai bahan tambahan untuk melihat hanya satu sisi cerita dalam novel Perahu Kertas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H