Dakwah memiliki pengertian secara umum yakni mengajak manusia untuk melakukan kebaikan. Tentu saja hal ini berlaku pada setiap tindakan yang merujuk pada sebuah ajakan sekalipun pada aktivitas sederhana. Sejak zaman dahulu kala dakwah selalu berkembang dan mengalami revolusi yang sangat signifikan. Dulunya, para pemuka agama hanya bisa menyiarkan syariat melalui pengajian, door to door, bahkan zaman Nabi Muhammad SAW awal menyebarkan islam dilakukan sembunyi-sembunyi.Â
Akan tetapi, saat ini sudah sangat berbeda, dari berbagai platform social media, masyarakat dimudahkan dengan adanya hilirisasi informasi yang mudah sekali mencuat ke permukaan. Kita, bahkan bisa mencari berbagai data dan sumber seputar hukum di agama Islam tanpa perlu membuka buku.Â
Ketidak-sahihan inilah yang membuat perspektif tiap orang berbeda-beda. Contohnya saja, ada yang mengatakan ziarah itu haram dilakukan. Namun, jika melihat dari mazhab lain tentu saja ziarah bagian yang diperbolehkan karena bukan kegiatan yang melenceng agama. Publik ketika membaca hukum hanya berdasarkan fenomena sosial, misalnya saat kondisi psikis merasa dibenarkan dengan berita maka akan dianut.
Tantangan seperti itu, kerap kali membuat kita tidak bisa memilah informasi yang benar dan yang salah.Pentingnya, komunikasi dengan orang lain secara langsung dapat menimbulkan berbagai sudut pandang lain yang bisa kita pertimbangkan. Jadi, bukan hanya semata-mata karena internet yang dipercaya sebagai mesin pencari nomor satu.
Ada lagi, kasus yang bisa diambil baru-baru ini muncul berbagai aliran yang hanya menimbulkan perpecahan bahkan minim toleransi. Dalam agama kita, tidak ada satupun hal yang mengajarkan kebencian apalagi mengagungkan madzhab seseorang. Jika diperhatikan dari fenomena sosial banyak anak muda yang saat ini selalu acuh terhadap kemasyarakatan sehingga mereka mudah termakan hoax dan kurang mementingkan syariat yang benar.Â
Zaman dahulu, sebelum gadget dan internet tercipta semua orang bersosialiasai, anak mengaji di masjid, remaja pergi ke pondok, orang tua melakukan pekerjaannya di ladang maupun sawah. Sehingga, intensitas untuk saling menyapa dan bertanya kabar semakin tinggi. Keuntungan dari bermasyarakat inilah yang menjadikan seseorang tidak mengabaikan apa yang penting dan tidak karena selalu di awasi moral dan adat secara langsung.Â
Apabila melanggarnya, bisa mendapat teguran langsung seperti cemooh, hinaan, bahkan pengasingan dari masyarakat. Tetapi, dengan berkembangnya teknologi, sikap individualis kian memuncak. Banyak sekali anak muda sampai orang tua yang memilih menghabiskan waktu didepan layar tanpa mengingat waktu yang sudah dihabiskan.Â
Bahaya dari anti sosial sendiri bisa menimbulkan stress, depresi, suka berpikir negatif, dan cenderung kesepian. Dimana seharusnya pada fase produktif banyak menghabiskan waktu dengan orang lain untuk memperluas relasi justru sebaliknya. Alhasil kita akan kesulitan menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial.Â
Secara fisik pun akan terlihat perbedaannya, orang yang suka berkumpul memiliki badan lebih bugar karena terpapar sinar matahari. Dilain hal, kita mudah menyelaraskan diri dengan kebudayaan dan norma yang berlaku. Karena orang yang penyendiri cenderung egois, ia tidak akan mendengarkan berbagai masukan baik. Bahkan, mungkin ia akan menganggapnya sebagai sindiran ketika dinasehati.Â
Perbuatan-perbuatan seperti itu sebenarnya sekarang mudah sekali kita temui. Individualis tak terlepas karena kegemaran seseorang untuk mengurung dirinya jauh dari keramaian dan masyarakat. Segala peraturan tidak terlalu penting baginya, hanya dirinya dan dunianya yang di nomor satukan.Â
Sebenarnya ada beragam cara untuk mengantisipasi kita jauh dari hal yang baik atau norma sosial yang telah ditegakkan demi kenyamanan bersama, Tapi, pada hakikatnya manusia akan selalu menuruti hawa nafsu terhadap apa yang dicintainya, termasuk dalam bermalas-malasan, menunda kegiatan, dan tidak patuh pada syariat agama.Â
Dampak buruk lainnya dari ketergantungan gadget selain menimbulkan sifat mengasingkan dari masyarakat adalah, membuat kurangnya respect atau kepedulian orang terhadap pribadi kita. Mereka cenderung berpikir bahwa tanpa orang lain pun dapat bertahan hidup dengan santai. Padahal jiwa asli kita adalah makhluk sosial yang bergantung dengan sesama makhluk hidup.Â
Jika sudah begini yang terjadi adalah penyimpangan sosial dan agama. Entah itu menyakiti diri sendiri akibat stres yang tinggi atau melakukan hal hal tak sepantasnya sebab merasa aman tak ada satupun yang melihat. Misalkan kita depresi, dengan berkomunikasi dan mendapat saran yang membangun dari teman atau keluarga masalah akan cepat selesai.Â
Hal itu juga berlaku saat melakukan kegiatan tak pantas, daripada membuang tenaga dengan kegiatan negatif, lebih baik kita bertegur sapa untuk menambah pengetahuan serta wawasan. Karena setiap orang pasti memiliki pengalaman atau ilmu yang kita sendiri belum tentu menguasainya dengan benar.Â
Seperti pembahasan diatas, bahwa dakwah bukan hanya sekedar mengajak pada sesuatu kebaikan yang besar, tetapi memberitahu dan mempengaruhi seseorang agar mengikuti perkataan kita supaya mereka menaati aturan dan menjauhi larangan yang sudah tertera dalam Al-Quran dan hadits.Â
Minimnya interaksi, akan menimbulkan banyak tanda tanya yang harusnya bisa dijawab dengan landasan agama yang kuat atau bukti shahih untuk menjaga kualitas informasi, bukan hanya berselancar di jejaring social media dan menerka-nerka sendiri tanpa mengetahui kejelasannya. Untuk itu, bersosialisasi bukanlah sesuatu yang buruk.
Kali ini, saya akan mengangkat contoh yang sesuai dengan judul artikel dengan kejadian di kos putri yang sedang saya tempati. Disini, interaksi antara penghuni sangat jarang, bertegur sapa hanya dilakukan jika langsung bertemu, tidak ada yang namanya mengerjakan tugas bersama, melakukan sharing session, atau sekedar main bersama.Â
Masing-masing penghuni kamar memiliki jadwalnya sendiri, ada yang dari pagi sudah pergi karena pekerjaan, ada juga yang sibuk berkuliah, hingga berdiam diri dikamar selama seharian, keluar juga saat lapar ataupun mandi. Kasus tersebut membuat sulit dalam menjalin komunikasi terkait kabar dan aktivitas harian.Â
Karena sifatnya sangat bebas dan tak ada pengawasan ketat seperti saat di rumah atau pondok yang jelas terpantau oleh orang tua, kebanyakan jadi menyepelekan soal akidah yang seharusnya diterapkan. Contoh, dulu saat mondok selepas adzan akan banyak orang-orang yang mengambil wudhu, sugesti yang berulang membuat pikiran kita ikut meminta untuk lekas berwudhu. Apabila tidak pun, banyak teman yang mengingatkan untuk sholat.Â
Bahkan saat subuh tak heran banyak sekali yang tidur sampai siang dan baru menunaikan solat di waktu itu juga, terkadang ada pula yang tidak solat sama sekali. Namun, ketika kita dirumah, keluarga dan orang tua membangunkan kita dengan paksa, mau tak mau harus menunaikan kewajiban yang memang tak boleh ditinggalkan.Â
Sementara jika di kos-kosan banyak di antara penghuni lain yang tak tahu apakah kamar sebelah sudah menunaikan ibadah, mau membangunkan pun kita segan tak seperti di lingkungan rumah atau pondok yang memang diberikan aturan untuk bangun. Ketidakterikatan inilah yang menimbulkan mindset menyepelekan.Â
Kita bisa dengan mudah mengingatkan sholat, menjaga kebersihan, mengikuti tata krama seperti tidak boleh berpacaran, dan lain halnya. Minimnya interaksi meskipun masih dalam satu atap yang sama tak memungkiri bahwa ada beberapa yang masih enggan untuk melakukan ibadah wajib dan menjaga kebersihan.Â
Kejadian saya baru-baru ini adalah kebersihan di kos, baik itu toilet, wastafel, dan juga ruangan terkadang sangat kotor dan membuat jijik. Tanpa bisa menegur siapa yang melakukan hal tidak baik seperti itu dan mengganggu kenyamanan pihak lain. Apabila punya peraturan dan lingkungan yang cukup tinggi sosialisasinya pasti dapat dengan mudah menemukan orang yang suka mengotori tempat. Dengan menegurnya dan menyuruhnya bertanggungjawab akan ada efek jera serta kesadaran yang perlu dibangun.Â
Pentingnya komunikasi lain dalam mengingatkan kebaikan adalah memberikan sugesti untuk berbuat baik pula, seperti saat yang lain solat tentu kita akan langsung sholat, jika yang lain menjaga kebersihan dan ada piket, kita juga memiliki kegiatan yang sama. Apabila teman kita memakan sesuatu yang halal maka kita secara otomatis akan mencari sumber pangan halal.Â
Ajakan kebaikan akan terus mengalir karena ada generasi atau seseorang yang tak pernah memutuskannya. Melalui ajakan berkala dan terus-menerus bisa membuat seseorang luluh. Maka dari itu sebagai remaja perlu untuk melakukan komunikasi aktif agar orang yang ada dilingkungan kita menyadari kewajiban dan larangan dalam islam.Â
Cara mudah mengajak kebaikan di lingkungan kos yang cukup individualis adalah mengakrabkan diri dengan sesama, jika sudah menjadi teman, tentu saja tak ada pikiran kurang enak dalam menegur. Bukti nyata ketika di pondok, bahkan senior yang dulunya tidak dikenal atau pengurus, tak segan menegur karena ada keterikatan dalam sebuah peraturan dan tanggung jawab.Â
Cara yang kedua adalah, menumbuhkan jiwa kepedulian tinggi, terkadang saya pribadi sengaja bertanya kepada teman beda kamar apakah sudah sholat atau mau wudhu, tujuannya untuk menyadarkan orang lain bahwa ada tanggungan sebagai seorang muslim yang taat dalam menyembah Allah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H