Dampak buruk lainnya dari ketergantungan gadget selain menimbulkan sifat mengasingkan dari masyarakat adalah, membuat kurangnya respect atau kepedulian orang terhadap pribadi kita. Mereka cenderung berpikir bahwa tanpa orang lain pun dapat bertahan hidup dengan santai. Padahal jiwa asli kita adalah makhluk sosial yang bergantung dengan sesama makhluk hidup.Â
Jika sudah begini yang terjadi adalah penyimpangan sosial dan agama. Entah itu menyakiti diri sendiri akibat stres yang tinggi atau melakukan hal hal tak sepantasnya sebab merasa aman tak ada satupun yang melihat. Misalkan kita depresi, dengan berkomunikasi dan mendapat saran yang membangun dari teman atau keluarga masalah akan cepat selesai.Â
Hal itu juga berlaku saat melakukan kegiatan tak pantas, daripada membuang tenaga dengan kegiatan negatif, lebih baik kita bertegur sapa untuk menambah pengetahuan serta wawasan. Karena setiap orang pasti memiliki pengalaman atau ilmu yang kita sendiri belum tentu menguasainya dengan benar.Â
Seperti pembahasan diatas, bahwa dakwah bukan hanya sekedar mengajak pada sesuatu kebaikan yang besar, tetapi memberitahu dan mempengaruhi seseorang agar mengikuti perkataan kita supaya mereka menaati aturan dan menjauhi larangan yang sudah tertera dalam Al-Quran dan hadits.Â
Minimnya interaksi, akan menimbulkan banyak tanda tanya yang harusnya bisa dijawab dengan landasan agama yang kuat atau bukti shahih untuk menjaga kualitas informasi, bukan hanya berselancar di jejaring social media dan menerka-nerka sendiri tanpa mengetahui kejelasannya. Untuk itu, bersosialisasi bukanlah sesuatu yang buruk.
Kali ini, saya akan mengangkat contoh yang sesuai dengan judul artikel dengan kejadian di kos putri yang sedang saya tempati. Disini, interaksi antara penghuni sangat jarang, bertegur sapa hanya dilakukan jika langsung bertemu, tidak ada yang namanya mengerjakan tugas bersama, melakukan sharing session, atau sekedar main bersama.Â
Masing-masing penghuni kamar memiliki jadwalnya sendiri, ada yang dari pagi sudah pergi karena pekerjaan, ada juga yang sibuk berkuliah, hingga berdiam diri dikamar selama seharian, keluar juga saat lapar ataupun mandi. Kasus tersebut membuat sulit dalam menjalin komunikasi terkait kabar dan aktivitas harian.Â
Karena sifatnya sangat bebas dan tak ada pengawasan ketat seperti saat di rumah atau pondok yang jelas terpantau oleh orang tua, kebanyakan jadi menyepelekan soal akidah yang seharusnya diterapkan. Contoh, dulu saat mondok selepas adzan akan banyak orang-orang yang mengambil wudhu, sugesti yang berulang membuat pikiran kita ikut meminta untuk lekas berwudhu. Apabila tidak pun, banyak teman yang mengingatkan untuk sholat.Â
Bahkan saat subuh tak heran banyak sekali yang tidur sampai siang dan baru menunaikan solat di waktu itu juga, terkadang ada pula yang tidak solat sama sekali. Namun, ketika kita dirumah, keluarga dan orang tua membangunkan kita dengan paksa, mau tak mau harus menunaikan kewajiban yang memang tak boleh ditinggalkan.Â
Sementara jika di kos-kosan banyak di antara penghuni lain yang tak tahu apakah kamar sebelah sudah menunaikan ibadah, mau membangunkan pun kita segan tak seperti di lingkungan rumah atau pondok yang memang diberikan aturan untuk bangun. Ketidakterikatan inilah yang menimbulkan mindset menyepelekan.Â
Kita bisa dengan mudah mengingatkan sholat, menjaga kebersihan, mengikuti tata krama seperti tidak boleh berpacaran, dan lain halnya. Minimnya interaksi meskipun masih dalam satu atap yang sama tak memungkiri bahwa ada beberapa yang masih enggan untuk melakukan ibadah wajib dan menjaga kebersihan.Â