Jakarta -Â Sentra buku terbesar yang terkenal di Jalan Kwitang Raya, Senen, Jakarta Pusat telah beroperasi sejak tahun 1980-an. Berbagai ribuan koleksi buku telah mewarnai dunia pendidikan dan literasi pendidikan Indonesia. Pasar Buku Kwitang sangat tepat dikunjungi, karena kita bisa menemukan berbagai macam buku, termasuk buku baru, buku yang sudah langka, buku antik, hingga buku bekas dari berbagai terbitan. Kisaran topik buku yang ditawarkan sangat beragam mencakup politik, sastra, ekonomi hingga buku anak-anak. Pengunjungnya berasal dari berbagai kalangan, mulai dari para pencari buku langka, kolektor buku jadul, sampai pelajar dan mahasiswa.
Kios-kios buku berderet di hadapan para pedagang yang duduk bersabar menanti pelanggan. Aroma kertas, pemandangan ratusan buku yang menumpuk, dan seruan-seruan pedagang menawarkan dagangannya turut menemani langkah pembeli. Namun, perlu diketahui buku ini tidak ada label harga tertempel, sehingga pembeli dapat bertanya secara langsung dan melakukan tawar-menawar dengan para pedagang.
Pasar Buku Kwitang memang tidak dapat disangkal dengan daya tarik yang memukau dan harga yang terjangkau tentunya masih menjadi tujuan bagi para pecinta buku. Mulai dari buku komik, novel, dan buku langka harganya berkisar Rp 10.000 sampai Rp 500.000. Ini menjadi pilihan menarik bagi pembaca yang ingin mengeksplorasi banyak bacaan tanpa harus mengeluarkan biaya yang tinggi. Namun, masa kejayaan Pasar Buku Kwitang semakin meredup sejak diterbitkan relokasi penggusuran. Kondisi ini menyisakan sedikit penjual buku yang berusaha bertahan dalam ruangan yang di sewa bersama-sama. Kini, sebagian penjual dari Kwitang telah berjualan di Blok M Square, Jakarta Selatan juga di Pasar Kenari, Jakarta Pusat.
Salah satu pedagang buku, Bonar (54) mengaku telah berjualan di Pasar Buku Kwitang sejak 1990 dari zaman kaki lima. Bonar mengatakan penjualan buku menurun drastis padahal Pasar Buku Kwitang terletak di Pusat Kota yang memudahkan pengunjung untuk menjangkaunya.
"Sudah sedikit bahkan mulai sepi pembeli, apalagi tahun ini drastis sekali sejak adanya buku elektronik (e-book) dan persaingan harga di toko online yang membuat penjualan kami juga semakin menurun dan biasanya setiap tahun ajaran baru ramai tapi sekarang juga sepi dibanding tahun lalu," ucapnya, Minggu (7/7) siang.
Lebih lanjut, menurut Bonar eksistensi Pasar Buku Kwitang mulai terlupakan di tengah gempuran era digitalisasi. Maraknya masyarakat yang beralih membeli buku secara online serta adanya penerbitan buku elektronik (e-book), hiruk pikuk jual beli tradisional tampak telah berkurang. Selain itu, kurikulum yang selalu berubah membuat lapaknya kesulitan mendapatkan stok buku-buku tersebut. Buku-buku lama yang menumpuk tidak lagi dicari karena sudah berbeda kurikulum.
"Saya sudah mencoba berjualan online tapi hasilnya tak begitu banyak karena biaya di toko online juga besar jadi merusak harga pasaran. Kurikulum sekarang juga suka berubah-ubah jadi banyak buku lama yang menumpuk dan kadang juga dari sekolah sudah ada peminjaman buku. Apapun keadaannya kami tetap menanti pembeli dengan antusias. Namanya dagang, ada kalanya ramai, ada kalanya sepi," pungkasnya.
Di era teknologi seperti ini, dominasi buku cetak semakin terancam dengan beredarnya banyak e-book yang dikenal sebagai terobosan untuk memudahkan pembaca serta penikmat buku untuk memperoleh manfaat kepraktisan. Buku dalam bentuk cetak sudah terasa tidak praktis lagi karena harga terlalu mahal dan tebal buku yang berat. Situasi ini memaksa pelaku usaha mencari celah baru untuk memasarkan buku mereka.Â
Keberadaan toko buku fisik sudah tidak lagi menjadi prioritas bagi sebagian orang. Namun, pasar buku ini masih menjadi daya tarik di kalangan mahasiswa salah satunya, Fadhlan Amri (24) mahasiswa Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (UNAIR) mengungkapkan bahwa membaca buku fisik jauh lebih nyaman.Â
"Saya selalu beli di toko buku bekas karena ada buku-buku lama yang sudah tidak diterbitkan, saya juga sesekali berkunjung karena merindukan suasana pasar buku bekas ya apalagi dengan harga buku yang murah jadi bisa langsung membeli kalau akses dari e-book cepat pusing apalagi saya pakai kacamata," ujarnya, Minggu (7/7).Â
Lebih lanjut, Fadhlan Amri berharap khususnya generasi muda dapat memberikan keseimbangan antara baca buku fisik dan e-book, sehingga buku-buku baru ataupun bekas tidak semakin menumpuk. Buku bekas itu juga bisa kita daur ulang sehingga dapat mengasah kemampuan kreativitas," pungkasnya.
Sejarah toko buku yang cukup terkenal menjadi tempat legendaris untuk bernostalgia dengan era kejayaan buku yang pernah menjadi salah satu latar film "Ada Apa Dengan Cinta?" yang dirilis pada 2002 lalu. Menghargai sebuah tempat yang mempunyai banyak kenangan, tidak ada salahnya. Namun, perkembangan teknologi yang hampir tak terbendung terasa pada pedagang di Pasar Buku Kwitang yang kian sepi. Kini, pedagang memutar otak agar usahanya tetap bertahan tak tergantikan zaman.
Penulis: Nadiah 11230511000022, Mahasiswi semester 2 Program Studi Jurnalistik, Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H