Mohon tunggu...
Nadia Aexia Amany
Nadia Aexia Amany Mohon Tunggu... Mahasiswa - Student at University of Airlangga

interested in any sort of genres that brings joy

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kejanggalan Vina: Sebelum 7 Hari, Tuntutan atas Keadilan atau Eksploitasi?

14 Juni 2024   20:40 Diperbarui: 16 Juni 2024   18:13 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semenjak rilis secara komersial pada 8 Mei 2024 di bioskop nasional, film Vina: Sebelum 7 Hari telah mencuri banyak perhatian publik. Di tengah pergerakan industri film Indonesia yang progresif belakangan ini, kemunculan film ini layaknya paku dalam kantong. Pasalnya, timbul banyak kritik tentang creative choice yang diambil oleh Dee Production selaku rumah produksi film Vina: Sebelum 7 Hari, yakni penggambaran adegan kekerasan dan pemerkosaan yang terlalu vulgar.

Sisi opini yang berlawanan berpendapat bahwa film ini merupakan suatu tuntutan–sebuah upaya untuk mengangkat kembali perhatian masyarakat tentang kasus kekerasan seksual dan pembunuhan mendiang Vina yang tak kunjung tuntas setelah 8 tahun. Namun, bukankah dalam adaptasi film yang diangkat dari kisah nyata, ada sensitivitas subyek yang perlu dipertimbangkan?

Industri film dan LSF yang memejamkan mata

 

Film Vina : Sebelum 7 Hari mengisahkan tentang tragedi pemerkosaan dan pembunuhan yang menimpa gadis 16 tahun, Vina Dewi Arsita di Cirebon pada tahun 2016 silam. Sampai saat film disiarkan, pihak berwenang belum berhasil menemukan pelaku. Anggy Umbara selaku sutradara mengakui bahwa hal tersebutlah yang menjadi motivasi dasar atas pembuatan film ini; untuk memperoleh keadilan bagi mendiang Vina dengan memperoleh kenaikan publisitas yang dapat mengangkat kembali kasus ini. Kendati demikian, film ini tetap terkesan tidak etis karena mempertontonkan kekerasan yang dialami Vina dalam adegan yang eksplisit.

Premis film, layaknya genre horor yang pada umumnya, berkutat pada pembalasan dendam Vina dalam bentuk arwah gentayangan. Semua elemen pemasaran film dari poster dan trailer pun menggambarkan Vina sebagai sosok lemah dan tidak berdaya, menghadirkan ‘keadilan’ fiktif berupa arwah yang berhasil membalaskan dendamnya. Mengingat bahwa kisah ini diadaptasi dari kejadian nyata yang mana status mendiang korban sebagai anak di bawah umur, keputusan pihak rumah produksi dalam proses penulisan serta lolosnya film ini di bawah radar LSF patut dipertanyakan.

Ketua Lembaga Sensor Film (LSF), Rommy Fibri Hardiyanto menyebut bahwa secara keseluruhan, film tidak melanggar pedoman sensor yang tertera pada Permendikbud Ristek. Dalam pedoman tersebut, tertulis bahwa unsur yang tergolong pornografi meliputi visual telanjang setengah hingga seluruh tubuh baik perempuan maupun laki-laki. Film Vina: Sebelum 7 Hari berhasil meloloskan diri karena memang para aktor mengenakan pakaian lengkap. Namun, adegan kekerasan dalam film ini sarat akan gerakan vulgar yang sugestif. Selain implikasi seksual, adegan penyiksaan dengan berbagai perlakuan keji tidak luput ditunjukkan. Keseluruhan scene tersebut memang konsisten dengan kesan menegangkan dalam genre horor. Namun, apakah standar ‘tidak ada penampakan tanpa busana, maka film lolos sensor’ tersebut dapat menjamin normalitas sebuah film? Hanya mengandalkan rating umur 17 tahun keatas tidaklah signifikan, karena secara substansi, representasi korban tidak terwujudkan dengan baik. Hal ini semakin mengkhawatirkan lantaran aktor yang berperan sebagai mendiang Vina (Nayla D. Purnama) pun belum menginjak umur legal (16 tahun). 

Tunggal Pawestri, tokoh aktivis perempuan, menanggapi bahwa adegan kekerasan seksual perlu dipertimbangkan secara matang apakah perlu ditampilkan atau tidak. Seringkali, representasi kekerasan seksual dalam bingkai perfilman direkam melalui male gaze atau sudut pandang pria. Dalam hal ini, male gaze mengacu pada kondisi ketika perempuan digambarkan sebagai objek pasif dari hasrat laki-laki. “Lagi-lagi, nanti mereka akan berlindung di balik dalih “ini ranah produksi, ranah kreasi, ranah kreativitas”,” ucap beliau.

Dheeraj Kalwani selaku produser dan CEO Dee Company berkilah bahwa adegan seksual dibuat ‘sebagaimana adanya’ supaya penonton dapat mengerti apa yang sebenarnya terjadi dan merasakan emosi secara lebih mendalam. Sutradara film, Anggy Umbara pun menanggapi dengan santai, mengatakan bahwa prinsip Bhinneka Tunggal Ika perlu diterapkan sehingga pihak pro dan kontra perlu memahami prinsip dan pendekatan masing-masing. Secara utuh, pihak rumah produksi berujar bahwa film ini berangkat dari niat baik dan telah memperoleh izin keluarga. Terlepas dari alasan tersebut, proses negosiasi dan perizinan dari keluarga tidak dapat menjadi tolak ukur mutlak dari kelayakan penayangan adegan eksplisit. Mengingat terdapat ketimpangan kuasa antara pihak keluarga dengan rumah produksi.

Bagaimana sebaiknya film menayangkan kekerasan seksual?

 

Banyak pendekatan dan perspektif alternatif yang dapat diputuskan oleh rumah produksi jika memang ingin mengadaptasi kasus ini sebagai film, terutama jika niat utamanya untuk meningkatkan publisitas demi keadilan korban. Rumah produksi bisa saja membuat genre film dokumenter untuk menjaga objektivitas dan memastikan seluruh pokok permasalahan dikaji dengan baik. Approach ini terbukti membuahkan hasil. Dapat diamati dari beberapa film true crime yang sukses menarik banyak perhatian, seperti Don’t F**k with Cats, The Keepers, dan Allen V. Farrow.

Pilihan alternatif ini tidak membatasi rumah produksi pada genre dokumenter saja. Poin terpenting adalah memastikan bahwa inti pesan tersampaikan. Jika memandang dari sudut pandang film dengan unsur drama dan fiksi, tidak sedikit film yang berhasil mengangkat isu kekerasan seksual tanpa mempertontonkan kejadian kekerasan itu sendiri secara gamblang, seperti 27 Steps of May, Sleepers, Perks of Being a Wallflower, dan masih banyak lagi.

Kala industri film dan lembaga-lembaga berwenang memberi panggung bagi film-film yang tidak berperspektif korban, masyarakat umum memegang andil utama dalam menyikapinya. Harapannya, kondisi ini tidak terulang lagi sekaligus membuka sudut pandang dan kesadaran yang lebih luas, terutama demi mengupayakan keadilan bagi korban kekerasan seksual.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun