“Change will not come if you wait for some other person, or if we wait for some
other time. We are the ones we’ve been waiting for. We are the change that we
seek.” –Barack Obama
Pada tahun 2015 silam, para pemimpin dunia menyepakati 17 tujuan global pada sidang umum PBB yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat secara berkesinambungan, menjaga keberlanjutan kehidupan sosial masyarakat, menjaga kualitas lingkungan hidup serta menjaga peningkatan kualitas kehidupan dari generasi ke generasi. Konsep SDG sendiri telah menjadi topik yang tidak pernah lepas dari riset akademik belakangan.
Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa mencapai SDG atau Sustainable Development Goals secara menyeluruh dan berkesinambungan sangat berbeda realisasinya di negara maju dan berkembang.
Beberapa poin dalam SDG tidak mudah untuk direalisasikan secara bersamaan karena adanya kontradiksi. Seperti poin 8; Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi dan 6; Air Bersih dan Sanitasi Layak. Hubungan antara tingkat ekonomi dan kelestarian lingkungan memang beberapa kali dianggap kontroversial. Seringkali dalam kasus negara berkembang, prioritas meningkatkan perekonomian membuat keadaan lingkungan di nomor duakan.
Salah satu faktor utama yang berfungsi untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat adalah dengan adanya pertumbuhan ekonomi. Untuk mencapai peningkatan pertumbuhan ekonomi, diperlukan pula peningkatan produksi yang memerlukan industrialisasi sebagai penyokongnya.
Peningkatan industrialisasi berimplikasi pada pencemaran lingkungan karena adanya pembuangan limbah (cair, padat dan gas) ke sungai dengan kuantitas yang semakin meningkat. Di antara sekian limbah, ada limbah yang berbahaya dan beracun yang disebut sebagai limbah B3 (Bahan Beracun dan Berbahaya). Limbah ini akan membahayakan keselamatan manusia serta organisme lain jika dibuang langsung tanpa melalui proses yang tepat. Masalahnya, hampir semua limbah yang dihasilkan oleh industri adalah limbah B3.
Menurut Dokumen Informasi Kinerja Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (DIKPLHD) DKI Jakarta, 13 sungai yang mengalir di DKI Jakarta berada dalam kategori tercemar yakni sebesar 99,24% sedangkan untuk kategori memenuhi baku mutu hanya 0,76%. Padahal, beberapa dari sungai-sungai tersebut adalah penunjang kebutuhan dan kegiatan masyarakat.
Urgensi pengelolaan limbah B3 industri mendorong pemerintah untuk mengeluarkan peraturan tentang pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun secara lebih menyeluruh dalam Peraturan Pemerintah No 37 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Daerah Aliran. Peraturan ini bermaksud sebagai pedoman dalam penyusunan kebijakan teknis, perencanaan, pengembangan, dan pengelolaan air limbah permukiman.
Namun, sanksi Administratif yang berupa teguran tertulis dirasa belum bisa membuat efek jera. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang 2021 terdapat 10.683 desa/kelurahan yang mengalami pencemaran air. Kasus pencemaran tersebut paling banyak ditemukan di Jawa Tengah, dengan 1.310 terdampak. Kemudian ada Jawa Barat dengan 1.217 terdampak, dan Jawa Timur 1.152 terdampak.