Pada tanggal 11 Maret 2020, World Health Organization atau WHO mengumumkan wabah COVID-19 sebagai pandemi global (Times 2020).Â
Sejak 24 Mei 2020 terkonfirmasi lebih dari 5,2 juta kasus COVID-19, dan lebih dari 330.000 kematian yang telah terjadi di seluruh dunia karena COVID-19 (Organization 2020).Â
Menanggapi kasus kesehatan global ini, tentu saja perlu dilakukan tindakan tegas untuk mencegah penyebaran virus yang bisa mengancam kesehatan masyarakat secara global.Â
Salah satu kebijakan yang diberlakukan untuk mencegah penularan virus ini adalah pemberlakukan pembatasan sosial berskala besar, di mana ada pembatasan atau pemisahan terhadap mobilitas dan interaksi yang ada pada masyarakat.Â
Secara tidak langsung hal tersebut memaksa sebagian besar penduduk bumi untuk bisa beradaptasi terhadap hal-hal baru seperti belajar dan bekerja dari rumah.Â
Mau tidak mau orang-orang harus menghadapi kesulitan baru seperti kehilangan orang terdekat, kehilangan pekerjaan, pendapatan berkurang, terinfeksi virus, isolasi, serta mobilitas yang sangat terbatas karena harus menjalani karantina.Â
Tindakan karantina berskala besar ini diterapkan di seluruh dunia guna menahan penyebaran dan melindungi masyarakat dari virus corona-2019 (COVID-19;Han dkk., 2020).Â
Pandemi COVID-19 telah menyebabkan dampak yang sangat signifikan terhadap segala aspek kehidupan masyarakat di seluruh penjuru dunia mulai dari segi kesehatan, ekonomi, pendidikan, dan juga kesehatan mental.
Pandemi COVID - 19 menimbulkan berbagai macam gejala depresi yang terjadi pada masyarakat dari berbagai negara di dunia.Â
Depresi selama pandemi COVID - 19 terjadi karena berbagai  macam faktor mulai dari kecemasan akan tertular COVID - 19, tertekan karena kehilangan keluarga dan orang terdekat, stres karena harus tetap di rumah dalam waktu yang cukup lama, hingga stres akibat PHK yang berdampak pada kesulitan ekonomi.Â
Selain itu keberadaan media yang terus menerus memberikan laporan terkait kasus dan angka kematian akibat COVID - 19 membuat rasa cemas meningkat.Â
Faktor - faktor tersebut berdampak pada lonjakan kasus depresi selama pandemi COVID - 19 secara global.Â
Semenjak diberlakukannya lockdown kita harus membatasi mobilitas yang ada untuk mencegah angka penularan COVID - 19 itulah mengapa hampir seluruh pemerintahan di dunia memberlakukan lockdown dalam waktu yang cukup lama terutama pada negara yang memiliki angka kasus yang tinggi.Â
Sebuah literatur menunjukkan bahwa gejala depresi dan kecemasan dapat meningkat selama pandemi COVID-19.Â
Kelompok spesialis kesehatan masyarakat di Inggris memperingatkan dalam British Medical Journal bahwa "dampak yang ditimbulkan oleh  pandemi terhadap kesehatan mental akan bertahan lebih lama daripada dampak secara kesehatan fisik ".Â
Daerah dengan kepadatan kasus COVID-19 yang tinggi lebih rentan terhadap penurunan kondisi kesehatan mental selama pandemi (Torales, O'Higgins, Castaldelli-Maia., & Ventriglo, 2020 ; Vindegaard & Benros, 2020).Â
Beberapa penelitian sebelumnya juga telah melaporkan bahwa rasa takut dan kepanikan tentang COVID-19 meningkatkan resiko gangguan kesehatan mental, termasuk kecemasan dan depresi (Ahorsu, Imani, et al., 2020; Du dkk., 2020 ; Guo dkk,., Â 2020; Huang & Zhao, 2020; Lai dkk., 2020; Liu dkk., 2020; Pang dkk., 2020). Â
Studi menunjukkan bukti yang signifikan bahwa pandemi COVID - 19 memicu terjadinya gangguan mental seperti depresi pada orang yang sebelumnya tidak memiliki gejala gangguan mental dan memperburuk gejala pada mereka yang sebelumnya sudah memiliki diagnosis. Tentu saja depresi yang berkelanjutan bisa mempengaruhi kesejahteraan hidup seseorang.Â
Intervensi berbasis mindfulness berkembang dengan sangat cepat dalam beberapa tahun dalam dunia psikologogi, kurang lebih terdapat 720 paper dan penelitian yang telah dipublikasikan untuk membahas tentang efektivitas mindfulness dari berbagai sisi.Â
Termasuk sebagai pilihan terapi pada beberapa kondisi klinis. Terkait dengan depresi yang terjadi selama pandemi Terapi Mindfulness merupakan konsep yang penting di masa-masa krisis seperti pandemi COVID-19.Â
Terapi Mindfulness menawarkan solusi untuk membantu menghadapi depresi dan kecemasan karena dapat mengurangi efek negatif dari rasa takut akan COVID-19 terhadap kesehatan mental individu (Analayo, 2020).Â
Mindfulness adalah kemampuan individu untuk menyadari dan memperhatikan setiap detail peristiwa yang terjadi di waktu itu (Brownies & Ryan, 2003).Â
Kabat Zinn (Chris, 2008) juga mendefinisikan Mindfulness sebagai kemampuan memberi perhatian atau kesadaran pada diri sendiri apa adanya tanpa menghakimi semua pengalaman yang muncul saat ini.Â
Secara sederhana, dalam konteks terapi berbasis Mindfulness, Mindfulness didefinisikan sebagai memperhatikan segala sesuatu yang dialami baik secara sensorik, pikiran, maupun perasaan, dan memungkinkan memungkinkan semua pengalaman yang terjadi dianalisa dan dinilai oleh pikiran.Â
Hasil menunjukkan bahwa jurnal-jurnal penelitian yang sudah ditelaah memiliki argumen dan hasil penelitian yang konsisten dengan literatur yang sebelumnya.Â
Studi melaporkan bahwa MBSR mengurangi gejala depresi pada orang dewasa dengan berbagai komorbiditas kondisi medis seperti kecemasan sosial (Hjeltnes l, et al. 2017), penyakit kardiovaskular (Abbot dkk 2014), kanker (Piet et al. 2012), dan penyakit medis jangka panjang (Bohlmeijer et. al. 2010).Â
Kepekaan analisis dilakukan dengan mengecualikan  studi dengan populasi nonklinis (Gallegos et al. 2013) selanjutnya, temuan tersebut bergeser ke tingkat yang lebih tinggi signifikansi statistik dengan perkiraan ukuran efek G lindung nilai = 1,07.
Dari sini jelas ditunjukkan bahwa intervensi MBSR memiliki efektivitas yang lebih besar dalam meningkatkan suasana hati terhadap populasi orang dewasa yang tertekan daripada populasi orang yang sehat.Â
Terapi mindfulness menfasilitasi peserta untuk menghadapi setiap pengalaman dengan lebih terbuka dan tanpa penilaian.Â
Metode mindfulness menggunakan serangkaian latihan yang dirancang untuk melatih pikiran agar tetap fokus dan lebih berlapang dada untuk berbagai macam kondisi seperti stress dan depresi yang dihadapi selama pandemi COVID-19 . Â
Sebuah pra-studi meta - analisis tentang efektivitas MBSR di antara orang dewasa usia kerja dengan penyakit mental dilaporkan memiliki efek yang besar pada gejala depresi dengan skala hasil intervensi sebesar 1,92 (d Cohen, Klainin - Yobas et. al. 2012), ini memberikan bukti lanjut bahwa intervensi berbasis mindfulness paling manjur untuk orang dengan gangguan mood yang signifikan.Â
Dalam studi ini metode MBSR diadu ke efektivitasnya dengan metode WLC pada peserta dengan depresi. Penulis menyimpulkan bahwa metode MBSR lebih efektif daripa metode WLC untuk mengurangi depresi pada orang dewasa dengan gejala klinis.
Dalam literatur yang lain juga mengatakan bahwa ada penelitian yang meneliti efek MBSR pada depresi dan kecemasan, sekitas 8 dari 15 studi melaporkan pengurangan yang signifikan terhadap tingkat depresi dan kecemasan setelah terapi MBSR (Toneatto dan Nguyen, 2007).Â
Pada tahun 2012 Hazlett-Stevens melaporkan bahwa MBSR telah menunjukkan potensi hasil yang menguntuntungkan dalam pengobatan kecemasan dan depresi, dan juga pengobatan alternatif dengan kormobiditas kecemasan dan depresi.Â
Dalam tinjauan literatur yang membahas tentang efek MBSR pada penelitian depresi dan kecemasan, ternyata MBSR terbukti menjadi program yang efektif untuk mengelola kecemasan dan depresi pada populasi klinis (Niazi dan Niazi, 2011).
Pada umumnya penulis yang meneliti efek terapi metode MBSR mengukur tingkat stress dan depresi dengan skala kecemasan dan stress-21 (DASS-21, Yayasan Psikologi Australia, 2013). Skala tersebut memiliki 21 item dalam tiga skala : depresi (DASS-D), kecemasan (DASS-A) dan stress (DASS-S) .Â
The Mindfulness Attention Awarness Scale (MAAS) versi Korea yang dikembangkan oleh Parkir sejak tahun 2006 digunakan sebagai ukuran secara keseluruhan. MAAS ini berisi sub skala, termasuk kesadaran saat ini, konsentrasi, penerimaan yang tidak menghakimi.
Pada penelitian efektivitas MBSR terhadap kecemasan dan depresi yang dialami oleh mahasiswa keperawatan di Korea juga ditemukan bahwa program MBSR menghasilkan penurunan yang jauh lebih besar dalam depresi, kecemasan dan stres, dan peningkatan kesadaran dalam penelitian ini.Â
Pada studi tersebut peneliti mendukung bahwa program MBSR standar memiliki 2-2, 5 jam latihan per minggu dapat menurunkan depresi, dan stress pada mahasiswa kepercawatan.Â
Studi ini memberikan dukungan bahwa program MBSR dapat membantu mengurangi depresi dan meningkatkan kesadaran pada siswa keperawatan.Â
Dari studi tersebut bisa disimpulkan bahwa program MBSR memiliki efek yang bermanfaat terhadap depresi, kecemasan, stres.Â
Dari berbagai literatur yang telah dibaca dapat disimpulkan lagi bahwa MBSR memberikan kontribusi terhadap penurunan tingkat depresi pada seseorang. Maka dari itu intervensi MBSR juga pasti akan sangat membantu mereka yang mengalami depresi karena pandemi COVID-19.Â
Intervensi MBSR ini tentu akan sangat menguntungkan bagi komdisi kesehatan mentas selama pandemi COVID-19 jika diterapkan melalui program MBSR sesuai prosedur yang ada sebelumnya.Â
Hal ini penting untuk dilakukan karena kesejahteraan psikolologis selama pandemic COVID-19 memengaruhi kualitas hidup dan kesehatan orang yang bersangkutan.Â
Jika tidak segera diatasi maka orang yang menderita depresi akan semakin merasa terpuruk dan sulit untuk kembali pada kehidupan normalnya.
MBSR memang intervensi yang dapat dianggap sebagai pengobatan depresi dan kecemasan selama pandemic COVID-19.Â
Menurut tinjauan sistematis dan meta-analisis menunjukkan bahwa MBSR berpotensi manjur dalam mengurangi gejala depresi dalam jangka pendek.Â
Oleh karena itu tetap diperlukan pengukuran lebih lanjut untuk meninjau efek terapi MBSR dalam jangka panjang.Â
Selain itu perlu dilakukan uji coba yang lebih luas yang beresiko terhadap berbagai sumber bias.Â
Namun dibalik efek jangka panjang yang belum diketahui terapi MBSR dinilai menjadi intervensi yang cukup efektif untuk menngatasi depresi dan kecemasan di masa pandemic COVID-19.
Saran untuk penerapan terapi mindfulness di masa pandemi seperti ini ada baiknya pengembangan program MBSR melalui media online. Karena pada saat pandemi seperti ini individu harus tetap memperhatikan jarak sosial. Sehingga program MBSR online akan membuka peluang peserta untuk tetap konsisten dan merasa aman selama mengikuti terapi MBSR.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H