PengertianÂ
Syiqaq adalah pertengkaran antara suami dan istri, perselisihan ini mungkin disebabkan karena istri nusyuz (tidak melaksanakan kewajibannya) atau mungkin juga karena suami berbuat kejam dan aniaya kepada istrinya. Menurut Muhammad Ali Ash Shabuni, syiqaq adalah perselisihan dan permusuhan, diambil dari kata asy syaqqu yang berarti sisi, dikarenakan setiap kedua pihak yang berselisih berada pada sisi yang berbeda satu sama lain yang disebabkan oleh permusuhan dan ketidakjelasan. Sedangkan Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa syiqaq merupakan perpecahan antara suami istri sehingga timbul permusuhan yang dikhawatirkan akan mengakibatkan pisah dan hancurnya rumah tangga. Beliau juga berpendapat bahwa perceraian karena syiqaq tergolong sebagai perceraian yang membahayakan (al-dharar). Beberapa bentuk dharar seperti suami suka memukul, suka mencaci, suka menyakiti badan jasmani istrinya, dan memaksa istrinya itu untuk berbuat mungkar.
Dasar Hukum
Syiqaq diatur dalam Undang-Undang tentang Peradilan Agama serta mengenai penyelesaian masalah dalam syiqaq diatur dalam Al-Qur'an, sebagai berikut:
Pasal 76 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dalam Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 menyebutkan bahwa apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan syiqaq, maka untuk mendapatkan putusan perceraian harus didengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami istri. Kemudian juga dijelaskan mengenai syiqaq yaitu perselisihan yang tajam dan terus menerus antara suami dan istri. Â
Surat An-Nisa (4:35), menyebutkan mengenai penyelesaian masalah syiqaq dengan mengirimkan hakam untuk menyelesaikan persengketaan hebat dalam rumah tangga.
Sebab Terjadinya Syiqaq
Kriteria yang menjadikan perselisihan dapat disebut sebagai perkara syiqaq adalah sebagai berikut:
Ketidaksesuaian pada kedua belah pihak. Artinya masing-masing pihak telah memperlihatkan tingkah laku yang tidak kompromi lagi.
Sebuah cekcok rumah tangga baru bisa disebut sebagai perkara syiqaq, disamping persyaratan di atas, juga bilamana percekcokan itu tidak dapat diselesaikan oleh kedua suami istri secara damai.
Akibat Hukum
Perceraian dengan alasan syiqaq memiliki akibat hukum yang sama dengan perceraian pada umumnya. Berikut adalah akibat hukum dari syiqaq:
1) Putusnya Ikatan Perkawinan
Perceraian dengan alasan syiqaq mengakibatkan putusnya perkawinan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 114 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yaitu putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian.
2) Berlakunya Masa 'Iddah bagi Perempuan
Seorang istri mengalami masa 'iddah setelah putusnya perkawinan. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 153 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang salah satu poinnya menyebutkan bahwa waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan, apabila perkawinan putus karena perceraian waktu tunggu bagi yang masih haid ditetapkan 3 (kali) suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari.
3) Hak Asuh Anak
Apabila suami istri yang bercerai mempunyai anak, maka anak tersebut dalam pemeliharaan ibunya. Namun, dalam Pasal 105 huruf (a) dan (b) Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan apabila anak belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya tetapi apabila anak yang sudah mumayyiz dapat diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya.
4) Kewajiban Menanggung Nafkah
Akibat dari perceraian, suami wajib memberi nafkah atau biaya hidup apabila mempunyai anak. Hal tersebut disebutkan dalam Pasal 41 huruf (b) Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).
5) Harta Bersama
Perceraian dengan alasan syiqaq juga mengakibatkan adanya pembagian harta bersama. Berdasarkan Pasal 37 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 menjelaskan bila perkawinan putus karena perceraian, harta benda diatur menurut hukumnya masing-masing. Sedangkan, dalam Pasal 157 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan bahwa harta bersama dibagi menurut ketentuan Pasal 96 dan Pasal 97 yang mana dalam pembagian harta bersama, masing-masing suami istri mendapatkan bagian yang sama. Namun, untuk harta bawaan dan harta yang diperoleh sebagai hadiah maupun warisan dikembalikan kepada yang berhak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H