Menulis bukan sekadar merangkai kata-kata, tetapi membuatnya bermakna dan hidup dalam pikiran pembaca. Tulisan yang memiliki senyawa ilmu diharapkan muncul dari penggawa masa depan bangsa, siapa lagi kalau bukan mahasiswa. Aku bersyukur bisa belajar menulis dijenjang kuliah, bagiku menulis tak sesederhana yang banyak orang katakan, lebih dari itu tulisan yang baik mampu mengubah dunia dan membangun peradaban.
Lemas. Spontan menyebut kalimat istighfar. Aku hanya bisa terperangah melihat kelas  yang tersisa adalah dengan dosen tersebut. Seketika memoriku kembali ke semester satu, setiap diajar olehnya jantungku berdebar kencang, tak hanya tampang yang garang, tugas yang diberikanpun cukup membuat kewalahan. Aku hanya berharap di semester empat ini, beliau lebih bersahabat dibanding semester satu lalu. Ternyata harapan tersebut menjadi kenyataan, semester ini beliau lebih banyak bercanda dan tak se-kaku yang kukenal.
Sejujurnya aku menyukai mata kuliah Penulisan Berita dan Penulisan Kreatif karena aku ingin mengasah kemampuan menulis, terlebih dosen tersebut lebih menekankan praktik daripada teori. Ia juga bekerja sama dengan Pemimpin Redaksi (Pimred) media lokal terkemuka di Banten.
Pada awal perkuliahan, ia meminta mahasiswa membentuk kelompok, kemudian setiap minggu membuat berita berdasarkan tema yang telah ditentukan dan opini bertema bebas. Tulisan akan diposting di website media lokal yang telah diajak kerja sama, tetapi sebelumnya harus dicek oleh Pimred yang juga merupakan kerabat dekat sang dosen.
Singkat cerita kelompokku mendapatkan tema seni untuk berita. Hari demi hari terlewati, siapa sangka opini kelompokku yang pertama kali diposting, tentunya ini menambah semangat untuk menghasilkan tulisan-tulisan berikutnya. Tetapi nyatanya tak demikian, semangat mendadak hilang dihembus rumput yang bergoyang, entah mengapa mendadak Pimred tersebut sangat slow respon sehingga berita dan opini semua kelompok tak kunjung terbit. Disaat yang bersamaan, kami harus membuat berita untuk minggu-minggu selanjutnya.
Siapa yang tidak kesal? Susah payah cari isu tentang seni, riset sana-sini, lelah meliput secara langsung, diskusi alot membuat opini, tetapi Pimred tersebut tak kunjung membaca pesan kami. Rasanya habis energi, belum lagi menghadapi narasumber yang tidak merespon bahkan seolah enggan diwawancarai.
Masalah lainnya terdapat berita yang kejar-kejaran dengan aktualialisasi sehingga kami takut beritanya basi. Seperti orang kesal pada umumnya, misuh-misuh selalu menghiasi perbincangan di kelas. Apalagi kami mempunyai tugas kuliah lain, sangat menyita waktu jika terus-menerus memikirkan tugas ini dengan segala ketidakpastiannya.
Hingga pada suatu hari, dosen tersebut mengabarkan bahwa rekannya sedang sakit sehingga off whatsapp untuk beberapa minggu. Aku merendahkan emosi, mengingat visualisasi Pimred tersebut ketika awal perkuliahan diundang untuk memaparkan materi di kelas, ia nampak sudah berumur. Walaupun kerap bercanda, tetapi sosoknya serius dalam bekerja, terbukti ada beberapa kelompok yang mendapatkan revisi dengan kalimat yang cukup pedas.
Saat sudah kembali sehat, barulah satu persatu pesan whatsapp kelompok dibalas. Awalnya kelompokku senang karena setelah sekian lama menunggu akhirnya mendapatkan balasan, tetapi kesenangan tersebut mendadak sirna karena untuk pertama kalinya opini kami dinilai tidak to the point dan mendapatkan revisi sebanyak 3 kali. Tetapi setidaknya dengan kembali responsifnya Pimred menimbulkan secercah gairah untuk melanjutkan tugas ini.
Mendengar keluh kesah mahasiswa yang seperti sudah kehilangan semangat, dosen meminta tiap mahasiswa untuk menceritakan pembelajaran yang didapat selama pengerjaan tugas, dan akhirnya ia memutuskan untuk menyudahi tugas ini. Lega rasanya, pun menurutku pengalaman ini sudah cukup menambah wawasan, terlebih Pimred tersebut tidak bisa terus-menerus mengurusi kami-kami ini. Bohong kalau selama prosesnya tidak kesal, capek, jengkel, bosan, tetapi yang pasti menjadi pengalaman yang mahal.
Dari tugas ini aku belajar tentang pentingnya mahasiswa peka terhadap peristiwa di sekitar serta aturan penulisan berita dan opini agar tidak menyesatkan khalayak. Selain itu, tugas jurnalis juga bukan hanya menulis, tetapi mampu riset dan berpikir kritis. Dari sisi berita, pelajaran yang paling membekas adalah berita harus to the point, sedangkan dalam konteks opini, kami diajarkan untuk berani bersuara dan melahirkan ide-ide cemerlang.
Baru saja nafas sejenak, tiba-tiba dosen meminta setiap kelompok menganalisis berita dan opini dari berbagai media di Indonesia, kemudian dituangkan dalam bentuk podcast. Walaupun terdengar cukup berat, bagiku ini merupakan pengalaman baru yang terdengar menyenangkan.
Seminggu berselang, pada hari yang kebetulan aku tak masuk kelas, dosen tersebut tiba-tiba marah. Bukan tanpa sebab, hanya ada satu kelompok yang baru menyerahkan bukti berlangganan media yang telah disepakati diawal. Beberapa kelompok yang belum berlangganan dihukum untuk membuat tugas yang setara dengan tugas podcast, beruntungnya kelompokku aman.
Setelah perkelompok presentasi mengenai analisis berita dan opini, barulah secara bergantian membuat podcast di tempat media lokal yang sama seperti di awal. Kebetulan mendapatkan urutan terakhir, kelompokku menonton podcast kelompok lain yang sudah tayang di youtube. Kami sedikit terkejut karena konsepnya tidak seperti yang kami pahami, mereka lebih banyak membahas aspek isu daripada segi penulisan. Alhasil kami melakukan beberapa perombakan pada script.
Sampai tiba dihari H, dengan modal percaya diri, kami berserah diri kepada yang Maha Memberi. Entah apa yang akan dibicarakan nanti karena sejujurnya persiapan kami belum begitu matang. Ujung-ujungnya yang terjadi adalah obrolan mengalir selama kurang lebih 30 menit.
Aku bersyukur dan cukup bangga bisa menuntaskan semua tugas mata kuliah ini. Banyak rasa marah dan kesal, tetapi aku merasa mendapatkan ilmu kekal. Praktik lapangan pada kuliah ini yang membuatku terkesan. Sesulit dan selelah apapun prosesnya, nyatanya tuhan memberikan kekuatan bagi siapa yang berusaha. Walaupun kadang ada instruksi dosen yang membuat kebingungan, aku menganggapnya sebagai bagian dari tantangan.
Dari sedikit pengalaman ini, aku ingin menegaskan bahwa menulis adalah skill yang tak bisa dipandang sebelah mata. Kerap dianggap remeh dan tak bernilai, padahal menulis adalah skill yang tak semua orang miliki, butuh sentuhan khusus agar kalimat yang disusun mampu menggugah pembaca. Proses untuk memiliki tulisan yang baik terutama dalam konteks berita dan opini, perlu pembelajaran tersendiri. Jangan berharap prosesnya akan mulus, untuk mencapai kemenangan pasti akan diuji dengan berbagai tantangan, kadang berdarah-darah sampai rasanya ingin pasrah. Kalau sedang goyah merasa dibunuh secara perlahan, tetapi mari kembali sadar bahwa tidak ada kesuksesan yang instan.
Nadia Larisa
Mahasiswa Ilmu Komunikasi
4E Penulisan Berita dan Penulisan Kreatif
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H