Sebagai penulis pemula, menjadi sebuah kebahagiaan apabila karya yang kita tulis mendapat apresiasi dari orang lain. Demikian pula dengan diri saya. Maka, ketika Saudara Alfian Maulana, seorang kawan diskusi di kelas, memberikan ulasannya terhadap cerpen "Biola Mahendra" yang saya tuliskan (Baca Biola Mahendra), dengan suka cita saya menyambutnya.Â
Terlebih, ulasan kawan ini yang menyorot tajam dengan menggunakan lapis-lapis teori sastra, pada akhirnya dapat menunjukkan celah-celah cerita yang saya tuliskan dan memperlihatkan hal-hal yang luput dari perhatian. Menurut hemat saya ulasan yang ditulis Alfian ini menarik—menyoal kesadaran eksorsisme penulis cerita, sehingga saya ingin membagikannya. Selamat menyelami ulasannya!
***
Yang nyata dapat hilang, namun tidak dengan kenangannya. Kenangan berumur lebih panjang, bahkan bisa sepanjang zaman. Jika yang mengenang satu orang, maka kenangan bisa berumur seumur hidup. Jika yang mengenang masyarakat, kenangan bisa hidup lama sekali hingga beberapa generasi. Tentu, beda cerita jika yang mengenang terkena alzheimer. Meski demikian, seringkali kenangan lebih panjang umurnya daripada peristiwa maupun barang konkretnya. Fenomena ini bisa dibilang anugerah sekaligus kutukan; terkadang kenangan dapat membuat kita terus bertahan hidup, walau, sebaliknya, terkadang justru kenangan itulah yang memorak-porandakan kita.
Kenangan menjadi fondasi dari "Biola Mahendra", sebuah cerita pendek (cerpen) karangan Nadhila Hibatul Nastikaputri, penulis sekaligus akademisi sastra dari Gunung Kidul. Hal ini terlihat dari fungsi kenangan sebagai pembentuk alur dan konflik. Lihat saja kalimat pertama cerbung ini, "Setiap mendengar gesekan biola, ingatanku terlempar pada Mahendra" (Nastikaputri, 2022). Dari kutipan tersebut, terlihat bahwa hal yang umum (suara biola) dihubungkan pada hal yang khusus (Mahendra) melalui ingatan. Konflik dalam cerpen ini bahkan dibentuk dari dua lapisan kenangan. Pada lapis pertama adalah kenangan Mey, sang narrator, terkait Mahendra dan usahanya untuk mengembalikan kenangan tersebut menjadi kenyataan lewat sebuah pencarian. Sementara pada lapis kedua adalah kenangan traumatis milik Mahendra yang mengubah tingkah laku tokoh tersebut.Â
Sulit untuk mengatakan kenangan bersifat personal, apalagi jika kenangan itu telah diceritakan atau diketahui oleh orang lain. Namun lain cerita jika kenangan tersebut diceritakan lewat sudut pandang personal. Lewat sudut pandang seperti itu, kenangan menjadi personal; suatu harta kekayaan pribadi sehingga, entah seperti apa bentuk konkret dari suatu kenyataan atau barang, kenangan bisa saja berbeda tergantung siapa yang mengenang. Hal ini yang menjadi tantangan ketika sang penulis, Nadhila, memilih menggunakan sudut pandang orang pertama milik tokoh dalam cerita sebagai narator. Teknik naratif yang menggunakan sudut pandang seperti ini, dalam teori Dorrit Cohn dikutip oleh Herman dan Vervaeck, disebut sebagai self-narration (Herman & Vervaeck, 2009: 28).
Di satu sisi, sudut pandang seperti ini memberikan kedekatan antara pembaca dan narrator. Kenangan tidak menjadi sekumpulan objek yang ada sepanjang cerita, namun menjadi semacam harta yang kehadirannya penting bagi sang narrator. Sudut pandang yang demikian juga menjadikan pengetahuan narrator (dan pembaca) terkait Mahendra juga terbatas, sehingga pembaca (setidaknya saya) merasa ada sesuatu yang hilang dan memang harus dicari. Pencarian Mey karena keterbatasan pengetahuan atas Mahendra akhirnya menjadi motivasi bagi saya untuk terus membaca.Â
Membaca "Biola Mahendra" seperti mendengarkan cerita seorang teman terkait perjuangannya; sebuah kenangan akan perjuangan Mey dan sebuah kenangan atas kepahitan mengetahui dampak kenangan traumatis pada Mahendra. Strategi seperti ini layak diapresiasi karena kesinambungan antara konsep pencarian dengan "ruang kosong" yang membatasi pengetahuan Mey atas keberadaan Mahendra. Semua ini disusun lewat fragmen-fragmen kenangan Mey.
Di sisi lain, self-narration mengharuskan penulisnya untuk memastikan sang karakter memang utuh dan, dalam taraf tertentu, merdeka tanpa campur tangan kepribadian penulis, kecuali jika karakter dan penulis diceritakan memiliki kepribadian yang sama. Herman dan Vervaeck mengisyaratkan hal ini saat menulis pengertian self-narration sebagai, "Here the I-narrator summarizes his memories. He does not quote himself as a younger man, but instead he talks, in a way similar to indirect speech, about the ideas and feelings he had" (di (teknik) ini sang aku-narator menyimpulkan memorinya. Dia tidak mengutip perkataan yang pernah dikatakan di usia muda, namun dia bicara, dengan cara yang mirip dengan kalimat tidak langsung, tentang ide dan perasaan yang dia miliki) (Herman dan Vervaeck, 2001: 28).Â
Mengikuti kutipan dari Herman dan Vervaeck tersebut, seorang karakter dapat dikatakan merdeka jika dia bicara mengenai ide dan perasaan yang dia miliki. Dengan kata lain, seorang karakter berbicara dengan bahasa, diksi, dan dialek khas milikinya guna mengkomunikasikan ide dan perasaanya. Bahasa, diksi, dan dialek, serta ide dan perasaan ini tidak boleh tercampur dengan bahasa, diksi, dialek, ide, dan perasaan penulis. Penulis tentu bisa menitipkan ide dan perasaannya, namun hal ini dilakukan sesuai plot, bukan dengan meminjam badan dan suara karakter untuk secara langsung mengatakannya.
Masalah terjadi ketika Mey terkadang terasa seperti Nadhila. Mey, sebagai seorang mahasiswi psikologi, justru menggunakan diksi-diksi yang sepertinya akan dikatakan oleh seorang penulis sastra yang puitis. Mari kita lihat kalimat kedua dalam cerpen tersebut, "Lelaki keturunan setenang telaga itu selalu memainkan biola untukku jika aku menangis di hadapannya" (Nastikaputri, 2022).Â
Sulit untuk membayangkan seorang mahasiswi psikologi, bahkan meski telah bersahabat sejak kecil dengan Mahendra, menggunakan frasa "keturunan setenang telaga." Tentu saja ada kemungkinan bahwa Mahendra adalah sosok yang tenang (atau dingin) sehingga sebagai mahasiswi psikologi, Mey menggarisbawahi sifat tenang ini. Namun, mengapa telaga? Apalah Mey tinggal di dekat telaga? Apakah ada teori psikologi yang menggunakan perumpamaan tempat-tempat tertentu? Freud memang menggunakan cerita Dewa Dewi Olimpus dalam menyampaikan teorinya, sementara Lacan menggunakan diksi dan frasa dari Linguistik, namun belum saya temukan psikolog yang menggunakan tempat sehingga sulit untuk membayangkan ada mahasiswi psikologi yang berkata seperti Mey, kecuali jika dia tertarik sastra.Â
Tentu saja kelas menulis yang diikuti Mey bisa saja kelas menulis fiksi yang mana membantah keraguan sebelumnya. Namun tidak diceritakan kelas menulis apa itu. Selanjutnya ada pula kata "keturunan" sebelum kata "setenang telaga." Mengapa "keturunan?" Mey tidak diceritakan mengenal orang tua Mahendra. Mengingat teknik yang digunakan Nadhila adalah self-naration, maka pengetahuan Mey adalah pengetahuan yang tertulis dalam cerita. Akan berbeda jika penulis menggunakan sudut pandang ketiga, dimana narrator bisa jadi bukanlah karakter dalam latar dan memiliki kemampuan terbatas untuk mengenal karakternya. Misalnya, narrator dalam Seratus Tahun Kesunyian karya Gabriel Garcia Marquez dapat meramal masa depan dan melihat ingatan tokoh dalam novel tersebut, namun dia tidak selalu bisa memahami tindakan maupun sifat setiap tokoh yang dia ceritakan. Tugasnya hanya bercerita sebagai tukang cerita, bukan bercerita sebagai pribadi yang pernah mengalami hal tersebut seperti yang terjadi pada Mey dalam "Biola Mahendra".
Kecenderungan Mey untuk mengganti kata-katanya dengan suasana suatu tempat setidaknya hadir dua kali lagi, yaitu pada kalimat, "Ia bahkan mengenalkanku pada lelaki berwajah teduh yang biasa berlatih bersamanya." (Nastikaputri, 2022) dan "Kalimat terakhir Mahendra serasa angin segar di tengah kemarau berkepanjangan."Â (Nastikaputri, 2022). Kecenderungan seperti ini, walaupun tidak muncul sering, membuat saya bertanya-tanya: siapakah Mey sebenarnya? Apakah dia mahasiswi psikologi, atau seorang pertapa penyuka alam yang kebetulan juga puitis? Dia ini Mey dengan sifat dan kesenangannya yang memang saling bercampur, atau dia aslinya dua orang? Mey di satu sisi, dan Nadhila, yang membahas isu-isu ekologi sastra, penulis prosa dan puisi sastra, serta akademisi sastra? Jika Mey hadir seperti itu karena kompleksitas sifatnya, maka saya kira kompleksitas itu seharusnya juga ditunjukkan, walaupun tentu akan menggeser inti dari cerita dan memengaruhi penggunaan strategi naratif self-narration seperti yang telah saya puji di poin sebelumnya.
Kecurigaan saya bahwa Nadhila bergentayangan di semesta "Biola Mahendra" mencapai puncak pada kalimat, "'Kenapa tanya itu?' kataku memalingkan muka untuk menutupi wajah serupa kepiting rebus." (Nastikaputri, 2022). Kalimat ini menjadi satu-satunya kalimat yang menggunakan dua narrator sekaligus. Pada bagian pertama, yaitu dari kata ""kenapa tanya itu?" kataku memalingkan muka ...", diceritakan oleh narrator dengan strategi self-narration. Dengan kata lain, bagian pertama kalimat tersebut diceritakan oleh Mey ketika dewasa.Â
Pada bagian kedua, yaitu dari kata, "untuk menutupi wajah serupa rebus", tidak mungkin diceritakan oleh Mey, karena seseorang tidak bisa melihat wajahnya sendiri. Selain itu, tidak semua orang bisa benar dalam menghubungkan perasaan malu dan perubahan rona wajah. Kadang seseorang menutup muka meski wajahnya tidak merah, kadang justru sebaliknya. Bagian kedua kalimat ini hanya bisa diceritakan jika ada orang lain yang melihat wajah Mey. Mahendra tentu bukan yang menceritakan frasa tersebut, karena tidak diceritakan bahwa Mahendra menceritakan hal tersebut pada Mey untuk diceritakan pada kita. Kemungkinan paling besar adalah kehadiran narrator kedua, seorang narrator-yang-bukan-tokoh, mewujud transparan di sana layaknya hantu.
Kehadiran narrator kedua ini tentu bukan kesalahan fatal. Herman dan Vervaeck (2001) juga menyatakan bahwa hal tersebut wajar. Bahkan, terkadang ada penulis yang dengan sengaja mengaburkan garis batas narrator mereka, entah dengan mencampur beberapa jenis narrator dalam satu kalimat, atau membuat peran antar narrator sulit dideskripsikan oleh teori narratology yang sedang mapan (Herman dan Vervaeck, 2001). Namun, siapakah narrator kedua ini? Mengetahui secara pasti siapa narrator kedua ini adalah suatu tindakan yang sulit, bila bisa dikatakan mustahil. Meski demikian, bisa kita lihat bahwa dia tinggal di dekat laut karena dia menggunakan frasa "kepiting rebus." Melihat latar cerita ini ada di Yogyakarta, kepiting rebus menjadi makanan yang mewah dan jarang di Kota, dan lebih sulit lagi di cari di ujung atas Sleman, atau Kulon Progo. Kepiting rebus menjadi makanan yang lebih mudah didapatkan di wilayah pesisir seperti Bantul yang dekat dengan pantai atau Gunung Kidul. Dari informasi ini, ditambah kecenderungan Mey untuk "kesurupan" kesadaran dari Nadhila seperti yang diulas pada bagian sebelumnya, memberi kecurigaan bahwa narrator kedua adalah kesadaran Nadhila yang bergentayangan di cerbung tersebut.
Secara kuantitas, fenomena kebergentayangan Nadhila ini memang tidak sering terjadi. Namun secara kualitas, bagi saya, fenomena ini cukup memengaruhi kepercayaan saya pada kenangan Mey. Sebagai sebuah karya yang dibentuk dari kenangan personal, kenangan seharusnya menjadi harta yang diolah oleh orang yang mengenang. Jika harta ini terkadang diolah oleh Nadhila, maka muncul keraguan, kenangan siapa ini? Mey atau Nadhila? Dampaknya adalah keraguan saya terhadap ideologi yang diusung Mey, yaitu bahwa homoseksual adalah sebuah penyakit psikologi dan bukannya bentuk lain dari cinta. Ideologi siapa ini? Benarkan Mey secara teguh, utuh, dan merdeka memercayai ideologi ini atau Nadhila yang memasukkan ideologi tersebut dalam kesadaran Mey?
Memang, karya sastra merupakan bentuk ekspresif dari penulis, seperti yang dikatakan oleh Abrams (1953). Namun melalui Abrams (1953) pula perlu kita ingat bahwa karya sastra juga bersifat mimetik dan objektif. Ini berarti keseluruhan karya adalah bangunan tempat penulis menitipkan ekspresinya (jika tidak ditolak) sesuai dengan aturan logika yang dibuat dalam cerita. Dalam cerita yang mengandalkan kenangan tanpa unsur magis, kehadiran kenangan yang lain serta kebergentayangan narrator kedua bisa dibilang menyalahi aturan logika dalam cerpen "Biola Mahendra".
Mengapa fenomena kebergentayangan ini terjadi adalah pertanyaan yang membutuhkan analisis lebih lanjut agar bisa dijawab. Metodologi yang digunakan mungkin bertumpu pada metode wawancara untuk memahami alasan Nadhila di tingkat kesadaran. Di tingkat pra kesadaran, analisis ini bisa meminjam teori-teori psikologi yang berkaitan dengan bahasa, misalnya menggunakan teori Lacan. Namun, analisis seperti ini membutuhkan waktu, dan oleh karena sifat malas saya, saya pikir lebih baik diserahkan pada penulisnya saja. Tentu saja pertanyaan ini tidak genting sehingga dapat dipecahkan kapan saja atau bahkan dihiraukan sama sekali. Yang menjadi poin pentingnya, setidaknya dalam tulisan ini, adalah memperlihatkan kemungkinan adanya fenomena bergentayangannya kesadaran Nadhila dalam cerbung buatannya.Â
Tindakan bergentayangan ini bahkan sampai pada tahap Nadhila ngangslup kedalam kesadaran Mey. Suatu bentuk tindakan yang perlu kita eksorsisme. Memang, Sadeq Rahimi (2021) menyatakan bahwa tindakan eksorsisme adalah tindakan kekerasan yang tidak hanya mengusir hantu dari tubuh manusia, namun juga melarangnya bicara dan menceritakan keluh kesah masalahnya. Jika yang merasuki Mey ini adalah roh orang yang mati, tentu saya akan memilih hauntologi saja daripada eksorsisme. Namun karena yang merasuki Mey ini adalah Nadhila yang masih hidup, sehat, dan sering meminta susu Ultramilk pada kakaknya, maka lebih baik kita eksorsis saja!
Referensi:
Abrams, M. H. (1953). The Mirror and the Lamp. New York: Oxford University Press.
Herman, L., & Vervaeck, B. (2009). Narrative Interest as Cultural Negotiation. Narrative, 17(1), 111--129.
Nastikaputri, N. Hi. (2022). Biola Mahendra. Yogyakarta: Majalah Astro.
Rahimi, S. (2021). Hauntology of Everyday Life. London: Palgrave Macmillan.
Penulis ulasan:
Alfian Maulana, seorang mahasiswa Magister Sastra Universitas Gadjah Mada. Mendalami kajian-kajian kuasa simbolik Pierre Bourdieu dan ecospectrality Laura White. Tulisan terbaru dapat dibaca di Jurnal Poetika-Tulisan Alfian. Berbagi kabar di laman @_amaulana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H