Mohon tunggu...
Nadhila Hibatul Nastikaputri
Nadhila Hibatul Nastikaputri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Blogger dan Freelancer

Perempuan Gunungkidul yang tengah belajar mengeja kehidupan. Pernah belajar di Sastra Indonesia Universitas Negeri Yogyakarta. Menyukai buku, senja, dan kerlip lampu kota. Kabarnya bisa di tengok di @nadhilaputri21, sementara tulisannya yang lain bisa dibaca di catatannadhila.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Eksorsisme Kesadaran: Sebuah Respon Personal atas Cerpen "Biola Mahendra"

31 Januari 2023   22:56 Diperbarui: 10 Februari 2023   12:34 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai penulis pemula, menjadi sebuah kebahagiaan apabila karya yang kita tulis mendapat apresiasi dari orang lain. Demikian pula dengan diri saya. Maka, ketika Saudara Alfian Maulana, seorang kawan diskusi di kelas, memberikan ulasannya terhadap cerpen "Biola Mahendra" yang saya tuliskan (Baca Biola Mahendra), dengan suka cita saya menyambutnya. 

Terlebih, ulasan kawan ini yang menyorot tajam dengan menggunakan lapis-lapis teori sastra, pada akhirnya dapat menunjukkan celah-celah cerita yang saya tuliskan dan memperlihatkan hal-hal yang luput dari perhatian. Menurut hemat saya ulasan yang ditulis Alfian ini menarik—menyoal kesadaran eksorsisme penulis cerita, sehingga saya ingin membagikannya. Selamat menyelami ulasannya!

***

Yang nyata dapat hilang, namun tidak dengan kenangannya. Kenangan berumur lebih panjang, bahkan bisa sepanjang zaman. Jika yang mengenang satu orang, maka kenangan bisa berumur seumur hidup. Jika yang mengenang masyarakat, kenangan bisa hidup lama sekali hingga beberapa generasi. Tentu, beda cerita jika yang mengenang terkena alzheimer. Meski demikian, seringkali kenangan lebih panjang umurnya daripada peristiwa maupun barang konkretnya. Fenomena ini bisa dibilang anugerah sekaligus kutukan; terkadang kenangan dapat membuat kita terus bertahan hidup, walau, sebaliknya, terkadang justru kenangan itulah yang memorak-porandakan kita.

Baca juga: Biola Mahendra

Kenangan menjadi fondasi dari "Biola Mahendra", sebuah cerita pendek (cerpen) karangan Nadhila Hibatul Nastikaputri, penulis sekaligus akademisi sastra dari Gunung Kidul. Hal ini terlihat dari fungsi kenangan sebagai pembentuk alur dan konflik. Lihat saja kalimat pertama cerbung ini, "Setiap mendengar gesekan biola, ingatanku terlempar pada Mahendra" (Nastikaputri, 2022). Dari kutipan tersebut, terlihat bahwa hal yang umum (suara biola) dihubungkan pada hal yang khusus (Mahendra) melalui ingatan. Konflik dalam cerpen ini bahkan dibentuk dari dua lapisan kenangan. Pada lapis pertama adalah kenangan Mey, sang narrator, terkait Mahendra dan usahanya untuk mengembalikan kenangan tersebut menjadi kenyataan lewat sebuah pencarian. Sementara pada lapis kedua adalah kenangan traumatis milik Mahendra yang mengubah tingkah laku tokoh tersebut. 

Sulit untuk mengatakan kenangan bersifat personal, apalagi jika kenangan itu telah diceritakan atau diketahui oleh orang lain. Namun lain cerita jika kenangan tersebut diceritakan lewat sudut pandang personal. Lewat sudut pandang seperti itu, kenangan menjadi personal; suatu harta kekayaan pribadi sehingga, entah seperti apa bentuk konkret dari suatu kenyataan atau barang, kenangan bisa saja berbeda tergantung siapa yang mengenang. Hal ini yang menjadi tantangan ketika sang penulis, Nadhila, memilih menggunakan sudut pandang orang pertama milik tokoh dalam cerita sebagai narator. Teknik naratif yang menggunakan sudut pandang seperti ini, dalam teori Dorrit Cohn dikutip oleh Herman dan Vervaeck, disebut sebagai self-narration (Herman & Vervaeck, 2009: 28).

Di satu sisi, sudut pandang seperti ini memberikan kedekatan antara pembaca dan narrator. Kenangan tidak menjadi sekumpulan objek yang ada sepanjang cerita, namun menjadi semacam harta yang kehadirannya penting bagi sang narrator. Sudut pandang yang demikian juga menjadikan pengetahuan narrator (dan pembaca) terkait Mahendra juga terbatas, sehingga pembaca (setidaknya saya) merasa ada sesuatu yang hilang dan memang harus dicari. Pencarian Mey karena keterbatasan pengetahuan atas Mahendra akhirnya menjadi motivasi bagi saya untuk terus membaca. 

Membaca "Biola Mahendra" seperti mendengarkan cerita seorang teman terkait perjuangannya; sebuah kenangan akan perjuangan Mey dan sebuah kenangan atas kepahitan mengetahui dampak kenangan traumatis pada Mahendra. Strategi seperti ini layak diapresiasi karena kesinambungan antara konsep pencarian dengan "ruang kosong" yang membatasi pengetahuan Mey atas keberadaan Mahendra. Semua ini disusun lewat fragmen-fragmen kenangan Mey.

Di sisi lain, self-narration mengharuskan penulisnya untuk memastikan sang karakter memang utuh dan, dalam taraf tertentu, merdeka tanpa campur tangan kepribadian penulis, kecuali jika karakter dan penulis diceritakan memiliki kepribadian yang sama. Herman dan Vervaeck mengisyaratkan hal ini saat menulis pengertian self-narration sebagai, "Here the I-narrator summarizes his memories. He does not quote himself as a younger man, but instead he talks, in a way similar to indirect speech, about the ideas and feelings he had" (di (teknik) ini sang aku-narator menyimpulkan memorinya. Dia tidak mengutip perkataan yang pernah dikatakan di usia muda, namun dia bicara, dengan cara yang mirip dengan kalimat tidak langsung, tentang ide dan perasaan yang dia miliki) (Herman dan Vervaeck, 2001: 28). 

Mengikuti kutipan dari Herman dan Vervaeck tersebut, seorang karakter dapat dikatakan merdeka jika dia bicara mengenai ide dan perasaan yang dia miliki. Dengan kata lain, seorang karakter berbicara dengan bahasa, diksi, dan dialek khas milikinya guna mengkomunikasikan ide dan perasaanya. Bahasa, diksi, dan dialek, serta ide dan perasaan ini tidak boleh tercampur dengan bahasa, diksi, dialek, ide, dan perasaan penulis. Penulis tentu bisa menitipkan ide dan perasaannya, namun hal ini dilakukan sesuai plot, bukan dengan meminjam badan dan suara karakter untuk secara langsung mengatakannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun