Setiap mendengar gesekan biola, ingatanku terlempar pada Mahendra. Lelaki keturunan setenang telaga itu selalu memainkan biola untukku jika aku menangis di hadapannya. Katanya suatu waktu, suasana hatinya akan membaik jika ia memainkan biola. Dan, ia berharap hal yang sama terjadi pada tiap orang yang mendengar gesekan busur dengan dawai biolanya.
Tetapi, sudah hampir satu semester aku tidak mendengar permainan biola karibku itu. Ia hilang bak ditelan bumi. Teman-teman kelasnya hanya mengangkat bahu atau menggelengkan kepala jika ditanya keberadaan Mahendra. Bahkan laki-laki yang menjadi partner latihan biolanya memberikan jawaban yang sulit kucerna. Katanya, pada hari terakhir bertemu, Mahendra mengatakan “Ada monster dalam diriku yang harus dijinakkan.”
***
Sejujurnya aku mulai mencium bau keganjilan pada Mahendra saat kami masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Sekitar, tiga-empat tahun lalu, seperti biasa aku menyambangi studio musik sekolah setelah kelas ekstra menulisku selesai. Ketika aku tiba, Mahendra masih berdiri di sana menggesek dawai biolanya.
“Mey, kamu pernah jatuh cinta?” pertanyaan itu tiba-tiba saja ia sampaikan saat kakiku menyentuh lantai studio musik.
Sore itu, sepi hampir merayapi setiap sudut gedung sekolah, menyisakan suara pantul bola dan hentak sepatu dari satu dua siswa yang masih bertahan di lapangan. Suara pantulan itu jelas terdengar. Akan tetapi, pertanyaan Mahendra yang tiba-tiba itu jauh lebih berdenyar. Berdengung-dengung di telinga. Membuatku serta merta kelimpungan untuk membuka suara.
“Kenapa tanya itu?” kataku memalingkan muka untuk menutupi wajah serupa kepiting rebus. Jujur saja, aku bukan tipe perempuan yang terbuka dengan perasaan.
“Aku hanya ingin tahu, rasanya suka pada seseorang.”
“Memang kamu belum pernah?” sekilas kutatap Mahendra dengan sisa keberanian yang ada.
Laki-laki bermata sipit di depanku menggeleng.