Munculnya kaum buruh merupakan salah satu akibat dari munculnya kapitalisme. Menurut Karl Marx, kaum buruh merupakan kaum yang menduduki posisi paling bawah dan tertindas, teralienasi, bahkan terdiskriminasi. Padahal tanpa adanya buruh kegiatan produksi tidak akan berjalan. Karena tuntutan kebutuhan ekonomi maka memberikan daya tarik masyarakat untuk bekerja di pabrik khususnya wanita. Kebanyakan perempuan bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga atau penghasilan suami tidak mencukupi oleh sebab itu keluarga menjadi salah satu yang paling terpengaruh oleh masuknya perempuan ke pasar tenaga kerja.
Berbagai permasalahan mengenai buruh perempuan pun muncul, seperti pelecahan seksual, mengalami kekerasan verbal dan non verbal, kurang diperhatikannya para wanita yang sedang hamil. Kemudian tidak diberikannya upah secara maksimal. Selain itu, dengan gaji yang rendah, buruh perempuan juga kerap menerima tindak kekerasan dari para majikan, baik buruh di luar maupun dalam negeri, atau bahkan sampai ada yang dibunuh. Di Indonesia mulai nampak kesadaran kaum buruh akibat ulah kesewenang-wenangan pengusaha yang tidak memberikan upah yang layak sebagai imbalan atas kerja mereka, PHK secara sepihak, dan lain-lain. Maka berbagai demonstrasi pun digelar (tidak jarang yang disertai pengerusakkan) mogok kerja dan aksi-aksi lainnya dalam memperjuangkan nasibnya. Harga mahal yang harus dibayar akibat berbagai aksi tersebut, baik bagi buruh sendiri, pihak pengusaha dan stabilitas nasional pun terganggu.
Selain itu permasalahan diskriminasi antara laki laki dan perempuan dalam pekerjaan. Buruh perempuan yang telah menikah selalu dianggap lajang atau perusahaan hanya bersedia menerima buruh perempuan lajang. Kedua, hak buruh perempuan disamaratakan dengan hak laki-laki atau hak-hak reproduksi perempuan kerap diabaikan. Dari segi pekerjaan berdasarkan gender dapat menjelaskan sejauh mana perempuan dan laki-laki dapat memperoleh keuntungan dari berbagai kesempatan yang ada di dunia kerja.
Menurut ILO (International Labour Organization) sebagai organisasi perburuhan yang berskala internasional di bawah naungan PBB, prinsip kesetaraan gender yaitu:
- kesetaraan gender, atau kesetaraan antara laki laki dan perempuan mengacu pada pemenuhan hak hak kesempatan dan perlakuan yang adil oleh laki laki dan perempuan dari semua kelompok umur di segala tahapan kehidupan dan pekerjaan,
- kesetaraan gender berarti bahwa semua manusia bebas mengembangkan kemampuan pribadi mereka dan memilih tanpa dibatasi oleh stereotip dan prasangka tentang peran gender atau karakteristik laki laki dan perempuan
- kesetaraan gender tidak berarti bahwa laki laki dan perempuan adalah sama, atau telah menjadi sama, tapi hak hak, tanggung jawab, status sosial dari akses ke sumberdaya mereka tidak tergantung dari gender mereka.
Mengacu dari penjelasan permasalahan diatas kesejahteraan wanita perlu menjadi perhatian, kemudian perlunya peranan pemerintah juga sehingga adanya perlindungan dan hak bagi para buruh wanita. Dalam islam wanita sangat dimuliakan, Allah telah menetapkan bahwa kaum perempuan harus menjaga kehormatan dirinya. Allah mengharamkan mereka ber-khalwah atau berduaan dengan laki-laki yang bukan muhrim. Larangan ini mengandung konsekwensi bahwa perempuan tidak boleh mengerjakan perbuatan-perbuatan yang dapat menjerumuskan mereka ke dalam khalwah, ataupun mengerjakan perbuatan-perbuatan yang dapat merusak kehormatan dirinya.
Oleh karena itu, hendaknya setiap perempuan menunaikan tugas-tugas yang dibebankan pada nya dengan sebaik-baiknya. Dalam hal ini, perempuan boleh melakukan pekerjaan apa pun asalkan yang diperbolehkan, baik pekerjaan tersebut dalam lapangan industri, pertanian, pendidikan, perdagangan, dan sebagainya. Hanya saja, ketika menjalankan pekerjaan tersebut seorang perempuan harus dapat menentukan skala prioritas atas apa yang dilakukannya. Selanjutnya, agar kaum perempuan tidak mengalami kesulitan dalam menentukan skala prioritas,maka syariat Islam menetapkan bahwa pemenuhan kebutuhan ekonomi terhadap istri dan anak-anak dibebankan pada kaum laki-laki yaitu suaminya
Kemudian selain itu dari segi keislaman yang mana dari zaman Rasulullah hak buruh sangat diperhatikan. Mengingat posisi buruh yang sangat lemah, Islam memberi perhatian khusus untuk melindungi hak-haknya. Rasulullah memperlakukan pelayan beliau seperti anggota keluarganya sendiri dan memberi nasehat kepada para sahabat agar memperlakukan pelayan mereka denganbaik.Sebagaimana sabda Rasulullah saw: “Budak-budak dan pelayan-pelayan harus diberi makan dan pakaian sesuai kebiasaan umum dan jangan memberi pekerjaan yang tidak dapat mereka pikul”
Hal ini berarti bahwa sebagian hak-hak buruh sudah dicontohkan oleh Rasulullah, antara lain mengenai upah atau gaji, makan, pakaian dan pekerjaan yang harus mereka kerjakan harus sesuai dengan kemampuan mereka. Menurut hukum Islam, gaji buruh harus sesegera mungkin diberikan sesuai dengan sabda Nabi Muhammad saw dalam suatu Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda: “Allah akan memusuhi tiga golongan manusia di hari pembalasan dan dari ketiga golongan ini salah satu di antaranya adalah orang yang mempekerjakan seorang buruh, dan mempekerjakannya secara penuh tetapi tidak membayar upahnya”
Islam memperhatikan nasib buruh, kala suatu hari, seorang buruh dari kalangan Anshar lewat di hadapan beliau. Lalu beliau melihat tangannya yang kasar, dan bertanya,”apa ini yang terjadi dengan tanganmu?” Ia menjawab, “ini bekas sekop yang kugunakan untuk bekerja dan menafkahi keluargaku.” Spontan Rasulullah SAW menggenggam tangan buruh itu, menciumnya dan mengangkat nya tinggi tinggi di hadapan para sahabat beliau, sambil berkata,”inilah tangan yang dicintai Allah, inilah tangan yang tidak akan disentuh api neraka!”
Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik pada tahun 2012 dari jumlah buruh Indonesia yang mencapai 112 juta orang, sebanyak 43 juta diantaranya adalah buruh perempuan. Nasib buruh di Indonesia semakin perlu diperhatikan. Dari data ILO pada 2014 terkait pelecehan seksual di industri garmen, dari 1.223 pekerja wanita di 44 pabrik garmen di Indonesia berusia 26 hingga 30 tahun yang sudah bekerja 1-2 tahun lebih terbuka melaporkan pelecehan seksual dibanding negara tetangga seperti Vietnam.
Dari kasus yang telah terjadi ini meyakinkan bahwa sungguh memprihatinkan kondisi buruh khususnya wanita. Mau tidak mau tekanan kapitalisme mendorong perempuan keluar dari rumah. Akibatnya, ketika perempuan terdesak keluar rumah untuk mencari pekerjaan, posisi mereka dianggap sebagai pencari nafkah tambahan sehingga ini berpengaruh kepada upah kerja mereka.
Terlebih lagi buruh wanita pada umumnya memiliki tingkat pendidikan rendah, bekerja disektor pekerjaan yang tidak memerlukan pendidikan tinggi, ketrampilan dan keahlian khusus. Dibandingkan dengan buruh laki-laki, kesejahteraan buruh perempuan lebih buruk. Kemudian terjadi diskriminasi upah yang diberikan kepada buruh laki-laki dan perempuan.
Sesungguhnya buruh dan pemilik usaha memiliki kepentingan yang berbeda, buruh bekerja hanya ingin mendapatkan upah semata sedangkan di satu sisi para pemilik usaha menginginkan laba yang besar, untuk itu perlunya pihak ketiga sebagai penengah agar terealisasi apa yang menjadi keinginan kedua belah pihak. Pihak ketiga yaitu peran pemerintah. Pemerintah sudah memaksimalkan apa yang menjadi kebutuhan buruh dan munculnya pasal 102 undang undang no. 13 tahun 2003 yang mengatur tentang fungsi dan peran pemerintah, pekerja dan perusahaan.
Dalam hal ini maka perlunya pengawasan yang dilakukan pemerintah agar meminimalisir kejadian lemahnya pengawasan buruh wanita, padahal pabrik di Indonesia rata rata banyak memakai buruh wanita dengan alasan karena wanita lebih teliti dan pekerjaan mereka rapi kemudian pengeluaran untuk gaji tidak banyak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H