Terlebih lagi buruh wanita pada umumnya memiliki tingkat pendidikan rendah, bekerja disektor pekerjaan yang tidak memerlukan pendidikan tinggi, ketrampilan dan keahlian khusus. Dibandingkan dengan buruh laki-laki, kesejahteraan buruh perempuan lebih buruk. Kemudian terjadi diskriminasi upah yang diberikan kepada buruh laki-laki dan perempuan.
Sesungguhnya buruh dan pemilik usaha memiliki kepentingan yang berbeda, buruh bekerja hanya ingin mendapatkan upah semata sedangkan di satu sisi para pemilik usaha menginginkan laba yang besar, untuk itu perlunya pihak ketiga sebagai penengah agar terealisasi apa yang menjadi keinginan kedua belah pihak. Pihak ketiga yaitu peran pemerintah. Pemerintah sudah memaksimalkan apa yang menjadi kebutuhan buruh dan munculnya pasal 102 undang undang no. 13 tahun 2003 yang mengatur tentang fungsi dan peran pemerintah, pekerja dan perusahaan.
Dalam hal ini maka perlunya pengawasan yang dilakukan pemerintah agar meminimalisir kejadian lemahnya pengawasan buruh wanita, padahal pabrik di Indonesia rata rata banyak memakai buruh wanita dengan alasan karena wanita lebih teliti dan pekerjaan mereka rapi kemudian pengeluaran untuk gaji tidak banyak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H