Mohon tunggu...
Nadia Basri
Nadia Basri Mohon Tunggu... -

Pembelajar, Economicholic, Love My Country Indonesia. (Study at The Business School, Bournemouth University, UK)

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Memahami Manuver Jokowi Hadapi Perang Dagang AS-China

9 Juli 2018   19:42 Diperbarui: 9 Juli 2018   19:57 1117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi perang dagang as-china. sumber : Tribunnews.com

"Perang Dagang AS-China", kosakata itu akhir -- akhir ini tengah ramai dibahas mulai dari media sosial hingga media cetak Indonesia. Bahkan, kosakata itu juga terus menjadi "sasaran tembak" dari fenomena ekonomi yang terjadi Presiden Joko Widodo pun hari ini, Senin (9/7/2018) di Istana Bogor memimpin langsung Rapat Terbatas guna menentukan langkah ekonomi apa yang akan diambil Indonesia di situasi "Perang Dagang AS-China".

Apa itu perang dagang?

Secara sederhana dalam konteks ini, (AS-China) perang dagang dapat dipahami sebagai langkah kedua negara yang saling menaikan tarif barang yang masuk ke negaranya, dengan tujuan meningkatkan keuntungan bagi negara pengimpor.

Namun demikian, negara pengimpor pun melakukan "aksi balasan" dengan menaikan tarif impor barang yang berasal dari negara yang lebih dahulu menaikan tarif barangnya.

Akhirnya, kedua negara pun sebenarnya mengalami kerugian ekonomi.

Itu lah yang terjadi dengan AS -- China, dua negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia saat ini. Pada 22 Maret 2018, Presiden AS Donald Trump mengumumkan pengenaan tarif tambahan impor barang dari Cina senilai 50 miliar dollar AS disertai rencana pembatasan investasi industri teknologi oleh China.

Aksi tersebut pun secara langsung dibalas oleh China yang pada April 2018 menaikan tarif 10 persen untuk produk buah-buahan segar dan kering dari AS dan 25 persen untuk produk babi, dan alumunium. Total terdapat 128 produk impor asal AS yang tarifnya dinaikan oleh China.

Apa dampaknya bagi dunia?

Dikutip dari Harian Kompas, Global Risk Survey (2018) yang dilakukan Oxford Economics mengungkapkan, faktor risiko global terbesar adalah perang dagang AS-China.

Perang dagang diperkirakan akan memperlambat pertumbuhan ekonomi global sebesar 0,2-0,5 basis poin.

Tidak mengherankan, rupiah yang berpatok kepada dollar menjadi tidak stabil.

Demikian juga harga minyak dunia yang terus melonjak, itu semua dampak dari cemasnya perekonomian dunia dari kondisi perang dagang tersebut.

Bagi Indonesia, perang dagang secara tidak langsung akan berdampak, baik positif maupun negatif. Dampak positif dapat diraih bila pemerintah Indonesia memanfaatkan peluang untuk meningkatkan ekspornya.

AS tentu saja akan mencari pasar baru untuk mengimpor barang selain dari China yang biayanya ditingkatkan, begitu pun dengan China. Peluang Indonesia untuk menggenjot ekspornya sehingga akan tercapai surplus neraca perdagangan dalam hal ini terbuka lebar.

Sebaliknya, jika tidak dapat memanfaatkan peluang, Indonesia akan terkena dampak negatif. Dengan kondisi perekonomian yang melambat karena ketidakpastian global, barang -- barang Indonesia di pasar global (jika tidak kompetitif harganya) akan tidak diminati. Rendahnya ekspor akan membuat neraca perdagangan RI defisit, sehingga rupiah pun melemah.

Dari hasil Ratas di Istana Bogor hari ini, pemerintah menegaskan akan memaksimalkan tool fiscal, yaitu harmonisasi bea masuk, bea keluar, dan juga substitusi impor.

Pemerintah akan membiayai SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu) kepada UMKM yang bergerak di bidang furniture, biaya operasional pengrajin pun akan semakin rendah. Hal itu berdampak produk Indonesia memiliki harga yang lebih murah di pasar global, eskpor pun dapat ditingkatkan.

Selain itu, pemerintah menegaskan akan meningkatkan penggunaan produksi dalam negeri dalam pengadaan barang pemerintah. Hal itu guna menekan impor, sehingga surplus dapat tercapai.

Pemerintah pun tengah mempertimbangkan untuk memberikan insentif untuk melakukan relokasi pabrik yang sudah padat karya, misalnya dari Jawa Barat ke Jawa Tengah. Dengan upah buruh (biaya operasional) yang lebih murah di Jawa Tengah, barang yang diproduksi dari dalam negeri pun akan memiliki harga yang relatif bersaing di pasar global.

Sebagai orang yang terbiasa mempelajari ekonomi, langkah Indonesia perlu diapresiasi. Saat ini tidak ada satu pun negara di dunia yang dapat menghindari dampak perang dagang. Yang dapat dilakukan ialah menghadapinya dengan berbagai manuver kebijakan ekonomi. Manuver yang dilakukan oleh Indonesia saat ini pun berada di jalur yang benar, yaitu berusaha menjadi pengekspor alternatif.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun