“Ya nanti bunda telfon!” kata ku singkat
“Tidak! Sekarang!” jawab Billa ketus. Aku melihat kemarahan dari raut wajahnya yang putih mungil, aku tau bahwa itu raut wajah yang tidak biasanya.
“Mau sampai kapan bunda ga perduli sama nenek? Nenek sakit dan butuh kita!” bentak Billa kearahku.
“Billa, bunda mau melahirkan, setelah ini bunda janji akan jaga nenek, tapi tolong untuk sekarang kamu bantu bunda, jangan membentak bunda. Bunda tau bunda bodoh! But STOP THAT NOW!” jawabku ikut membentaknya.
Tanpa berpikir panjang, aku masih merasakan mulas tapi aku memaksa kaki ku untuk melangkah kearah rumah mama yang ada disebelah. Aku melangkahkan kaki perlahan, berjalan perlahan-lahan, aku siap menghadapi mereka apalagi ini adalah waktu aku akan melahirkan cucu dari nenekku, jika mereka mengajak perang, aku yakin akan membalas mereka.
“Kamu mau kemana?” teriak Andri dari arah dapur
“Aku mau pamit sama mama, aku mau melahirkan!”
“Sebentar, aku antar!” jawab Andri mengejar langkahku yang tertatih-tatih perlahan.
Akhirnya aku sampai dirumah mama dengan selamat, aku sempat mencium dirinya yang selama ini aku rindukan, aku sempat memeluknya dan memberitahukan bahwa mungkin nanti malam atau besok, aku akan melahirkan cucu laki-laki pertamanya. Karena sebelumnya cucunya perempuan semua. Ya seperti dugaanku, mama ku menerimaku dengan senang dan bahagia, wajahnya terlihat sumringah, dia senang, aku tau dia sangat senang. Keadaan mama ku tidak jauh berbeda dengan papa waktu beberapa bulan sebelum meninggalnya, aku tau ini pasti tidak lama lagi waktu mama ku. Aku hanya memeluk erat dan memainkan rambutnya seperti biasa. Rambutnya yang keriting kecil dan tipis selalu aku mainkan dari kecil dan itu membuatku sedikit nyaman. Tak lama kembali kudengar suara keras dari keluarga mama, “Mama kamu harus mandi!” teriakkan mereka membuat aku sangat-sangat membencinya, bahkan sampai detik ini aku masih mengingatnya persis seperti apa nada suaranya. Tak lupa aku masih memiliki rekaman suara mereka yang membentakku dan anakku.
Lalu Andri mengajakku pulang kerumah, agar tidak terjadi perang didalam rumah mama, aku sedih kenapa di akhir hayat mama jadi seperti ini, persis seperti apa yang pernah papa ceritakan dulu sama aku. Aku hanya memiliki energi papa didalam HP papa, aku sama sekali tidak mempunyai apapun juga. Tak lama sebelum aku melangkahkan kaki keluar rumah mama, aku mendengar HP mama berbunyi, aku masih melirik nama yang menelfon “PAPA” ya benar, ternyata energi papa tidak hanya di HP ku tapi juga HP mama ku, aku hanya bisa mengambil HP mama lalu mematikannya. Kutaruh HP mama ku persis di posisi yang sama, aku tidak pernah tau apakah mama masih mengetahui bahwa papa juga masih menghubunginya seperti menghubungiku dan Billa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H