Saat ini, perhatian banyak negara di dunia terfokus pada permasalahan Base Erosion and Profit Sharing (BEPS). BEPS dianggap telah menyebabkan permasalahan yang serius bagi kedaulatan dan penerimaan pajak di banyak negara di dunia. T
ak hanya itu, pertumbuhan investasi yang rendah akibat menurunnya integritas dan kepercayaan seluruh negara juga merupakan dampak dari implementasi BEPS itu sendiri.Â
Dan pada kenyataannya, BEPS berpotensi mendukung terciptanya unfairness (ketidakadilan) dalam sistem perekonomian internasional. Adanya BEPS ini memberikan ancaman serta menimbulkan kerugian terutama bagi negara-negara yang dalam sistem perpajakannya menerapkan tarif pajak tinggi.
Praktik BEPS banyak dilakukan oleh perusahaan multinasional (MNCs). Perusahaan multinasional merupakan perusahaan besar yang ada di berbagai negara industri dan memiliki anak atau kantor cabang di beberapa negara lainnya.Â
Karena merupakan perusahaan global, perusahaan multinasional tentu memiliki pengaruh atau dampak yang besar pada keadaan politik internasional.Â
Perusahaan Multinasional (MNCs) sering kali dengan sengaja memindahkan/mengalihkan laba atau keuntungan dari perusahaan mereka ke negara lain yang memberlakukan tarif pajak lebih rendah atau bahkan nol.
Dilihat dari definisinya, Base Erosion dan Profit Sharing (BEPS) adalah dua hal yang berbeda namun saling berkaitan antara satu dengan lainnya.Â
Pengertian Base Erosion lebih merujuk pada praktik penggeseran, pengalihan atau pemindahan laba usaha ke negara yang menerapkan tarif pajak rendah atau tarif pajak nol. Sedangkan Profit Sharing adalah upaya yang ditempuh dalam mengalihkan atau memindahkan laba usaha tersebut.
Pada dasarnya BEPS ini memiliki konteks yang sangat luas. Praktik BEPS juga mencakup tindakan untuk memerangi aggressive tax planning (perencanaan pajak yang agresif), melawan persaingan pajak yang menimbulkan kerugian bagi negara lain, juga keinginan untuk mengoordinasikan sektor pajak yang lebih baik dalam ruang lingkup internasional. Jadi, praktik BEPS tidak selalu membahas mengenai tindakan penggeseran atau pengalihan laba usaha dalam rangka menghindari pajak.
Banyak hal yang menjadi latar belakang terjadinya praktik BEPS. Yang pertama adalah karena sistem perpajakan yang berlaku saat ini memberikan kemudahan dan kesempatan serta mendorong untuk melakukan penghindaran pajak sehingga mengurangi kewajiban perpajakannya.Â
Yang kedua adalah karena adanya pemberlakukan tarif pajak yang berbeda-beda di seluruh negara di dunia. BEPS cenderung dilakukan oleh perusahaan dari negara yang menerapkan tarif pajak tinggi.Â
Kegiatan semacam ini tentu saja akan membuat pengalokasian sumber daya menjadi tidak efisien serta mendorong terciptanya persaingan yang tidak sehat di antara pelaku usaha.Â
Lebih parahnya lagi, praktik BEPS akan berakibat pada hilangnya potensi pendapatan dari sisi perpajakan yang diterima oleh setiap negara karena laba tersebut akan dialihkan atau dipindahkan ke negara lain yang menerapkan kebijakan tarif pajak rendah atau tarif pajak nol.Â
Dan yang ketiga adalah karena regulasi perpajakan internasional yang ada saat ini dinilai sudah tidak sesuai karena disusun berdasarkan kesepakatan pada tahun 1920-an (sekitar 100 tahun yang lalu). Regulasi tersebut tidak mampu mengatur dan mengakomodasi perkembangan dunia bisnis dan globalisasi yang semakin lama semakin kompleks sehingga berpotensi menyebabkan munculnya double non-taxation, treaty shopping, serta berbagai bentuk tindakan penghindaran pajak lainnya.
Berdasarkan penjabaran di atas, penyelesaian masalah Base Erosion and Profit Sharing (BEPS) harus segera dilakukan mengingat bahwa stabilitas keuangan global penting untuk dicapai.Â
Dalam pelaksanaannya, banyak hal yang perlu dipertimbangkan dengan sangat cermat dan hati-hati agar tujuan tersebut dapat dicapai tepat waktu dan tepat sasaran, serta implementasinya nanti tidak menimbulkan kerugian bagi negara-negara lain.Â
Namun dikarenakan BEPS ini merupakan permasalahan yang serius, kebijakan anti penghindaran pajak yang diterapkan di masing-masing negara, baik itu aturan domestik maupun kesepakatan bilateralnya, dianggap masih belum mampu dalam mencegah tindakan penghindaran pajak.
Direktur Perpajakan Internasional, John Hutagaol, menyatakan bahwa di era sekarang permasalahan BEPS ini hanya dapat diselesaikan melalui kolaborasi internasional atau dengan melibatkan semua negara, tak terkecuali Indonesia.Â
Keterlibatan Indonesia dalam mencegah praktik BEPS ini dinilai akan meminimalisir kemungkinan risiko yang terjadi sebagai konsekuensi dari pengimplementasian sistem perpajakan internasional yang baru.Â
Kolaborasi secara internasional ini diharapkan mampu menciptakan kebijakan baru yang lebih efektif dan efisien, mudah, sederhana, dan transparan. Kebijakan baru ini diwujudkan dengan cara memperbaharui ribuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B). Oleh karena itu, diciptakanlah Multilateral Convention to Implement Tax Treaty Related Measures to Prevent Base Erosion and Profit Shifting atau yang lebih dikenal dengan sebutan Multilateral Instrument on Tax Treaty (MLI).
Multilateral Instrument on Tax Treaty (MLI) adalah bentuk perubahan atau amandemen terhadap aturan tax treaty yang dilakukan bersama-sama tanpa melalui negosiasi antardua negara (bilateral) dengan tujuan untuk memperoleh standar pajak  internasional dalam rangka mencegah terjadinya praktik BEPS.Â
MLI ini sendiri merupakan sebuah terobosan baru dari aturan P3B atau tax treaty yang memiliki konsep lebih efektif dan efisien, mudah, sederhana serta transparan jika dibandingkan dengan aturan-aturan P3B secara bilateral pada umumnya.Â
Dengan adanya instrumen multilateral ini, Indonesia akan memperoleh manfaat, yaitu tidak perlu melakukan negosiasi P3B secara terpisah dengan satu yurisdiksi tertentu, karena proses negosiasi bilateral (konvensional) ini akan membutuhkan waktu yang lebih lama serta alokasi sumber daya yang lebih besar, baik itu tenaga maupun dana sehingga perubahan atas aturan P3B tersebut akan menjadi lebih efektif jika dilakukan secara serentak dan sekaligus.Â
Selain menghemat waktu dan biaya, MLI juga memberikan manfaat lain secara substansial, yang mana menambah ketentuan dalam menangkal upaya tindakan penggerusan dan pengalihan, serta anti penghindaran pajak yang sebelumnya tidak ada dalam aturan P3B
Multilateral Instrument on Tax Treaty (MLI) merupakan strategi yang paling cepat dan tepat dalam mencegah penyalahgunaan penghindaran pajak berganda, mengingat bahwa ada ribuan aturan P3B atau tax treaty yang berlaku di berbagai penjuru dunia.
Sampai saat ini, terdapat 15 rencana aksi BEPS yang dilakukan dalam rangka mencegah praktik penggerusan basis pajak dan pemindahan laba usaha, dan MLI merupakan salah satu dari 15 BEPS Actions tersebut.Â
Dalam praktiknya, MLI ini sifatnya fleksibel karena MLI memberikan kesempatan pada setiap yurisdiksi untuk dapat memilih klausul MLI mana saja yang akan digunakan dengan cara menyesuaikannya dengan kondisi dan kebutuhannya. Sehingga nantinya klausul MLI yang dipilih akan mencerminkan kesepakatan bersama antara satu negara dengan negara mitranya.Â
Saat ini, terdapat beberapa standar dan norma dalam MLI yang dapat digunakan oleh setiap yurisdiksi untuk mencegah praktik BEPS. Yang pertama yaitu BEPS Action 2 (Menetralisir Pengaruh Perbedaan Penerapan Peraturan Antar Negara).Â
Menurut Action 2, perbedaan aturan dalam sistem perpajakan di berbagai dunia tidak jarang menimbulkan kesulitan untuk menentukan negara mana yang mengalami kerugian pajak. Ada dua macam solusi untuk permasalahan ini, yaitu solusi khusus peraturan dalam negeri dan juga solusi untuk isu-isu P3B. Â Untuk isu-isu P3B, solusi tersebut berisi rekomendasi khusus entitas yang memiliki status kewarganegaraan ganda. Yang kedua yaitu BEPS Action 6 (Preventing Granting of Treaty Benefits in Inappropriate Circumtances).Â
Menurut Action 6, ada 3 hal yang menjadi perhatian utama, di antaranya rekomendasi terkait peraturan domestik dalam rangka mencegah penyalahgunaan aturan P3B, penjelasan bahwasanya P3B tidak dibuat dengan tujuan untuk melakukan penghindaran pajak berganda, serta identifikasi hal-hal apa saja yang harus dipertimbangkan oleh suatu negara sebelum ia melakukan kesepakatan/perjanjian P3B dengan negara lain. Â
Yang ketiga yaitu BEPS Action 7 (Mencegah Adanya Pemalsuan atas Status Permanent Establishment). Action 7 ini memiliki tujuan untuk mencegah kemungkinan terjadinya tindakan pemalsuan atas status permanent establishment (PE). Mengacu pada standar internasional, kemungkinan suatu negara memajaki keuntungan perusahaan asing itu kecil, kecuali status PE memang dimiliki oleh perusahaan di negara tersebut. Â
Yang terakhir yaitu BEPS Action 14 (Making Dispute Resolution More Effective). Action 14 ini bertujuan menyelesaikan permasalahan melalui cara-cara yang lebih efektif. Tindakan yang dilakukan untuk memerangi praktik BEPS juga harus mencakup tindakan yang menjamin kepastian meningkatnya pertumbuhan investasi.
Dalam pelaksanaannya, setiap negara yang menandatangani MLI tidak memiliki kewajiban untuk melakukan revisi atau perbaikan atas naskah P3B mereka, karena pada dasarnya MLI adalah suatu instrumen yang diciptakan dalam rangka memodifikasi aturan P3B dengan cara menyandingkan aturan P3B dengan MLI itu sendiri. Jadi bisa disimpulkan bahwa pada esensinya, MLI tidak diciptakan untuk memperbaiki aturan P3B yang telah ada sebelum penandatanganan MLI.
Pada paragraf sebelumnya telah dijelaskan bahwa Multilateral Instrument (MLI) ini sifatnya fleksibel karena memberikan kebebasan bagi seluruh yurisdiksi untuk melakukan modifikasi terhadap aturan P3B sesuai dengan kebutuhan dan kebijakan yurisdiksi masing-masing.Â
Sebagai contoh, Pasal 7 MLI terkait upaya pencegahan penyalahgunaan P3B. Dengan adanya pemberian fleksibilitas tersebut diharapkan masing-masing negara dapat melakukan mitigasi atas praktik BEPS yang berkaitan dengan aturan P3B. Namun ada dampak dari adanya fleksibilitas tersebut, yaitu tidak semua pasal-pasal dalam MLI dapat diberlakukan oleh negara Indonesia. Beberapa contoh pasal tersebut di antaranya pasal 3 mengenai entitas transparan, pasal 5 mengenai penerapan metode-metode eliminasi pajak berganda, pasal 10 mengenai ketentuan anti penyalahgunaan BUT, serta pasal 16 ayat 1 huruf a kalimat pertama yang berkaitan dengan mutual agreement procedure (MAP).
Jika kita memperhatikan dengan cermat, struktur Multilateral Instrument on Tax Treaty (MLI) terdiri dari 4 klausul utama yaitu klausul substantif, klausul "compatibility", klausul "reservation", dan klausul "notification". Klausul substantif (substantive clause) adalah output dari rencana aksi (action plan) BEPS yang berkaitan dengan ketentuan peraturan P3B. Sedangkan, klausul "compatibility" mengatur tentang bagaimana proses perubahan/modifikasi atas P3B tersebut dilakukan. Dalam praktiknya, ketentuan MLI tidak akan bisa melakukan modifikasi terhadap ketentuan P3B apabila suatu klausul substantif MLI hanya diadopsi oleh salah satu negara saja.Â
Jadi, kedua negara yang melakukan perjanjian harus sama-sama melakukan adopsi terhadap suatu klausul tersebut. Inilah yang dimaksud dengan klausul "reservation". Di sisi lain, suatu negara juga diharuskan untuk mengidentifikasi serta memberikan notifikasi mengenai aturan mana dalam P3B yang akan dimodifikasi dengan MLI. Hal inilah yang disebut dengan klausul "notification". Â Walaupun suatu negara sudah menandatangani dan melakukan ratifikasi terhadap MLI, negara yang terkait masih bisa melakukan perubahan posisinya atas MLI tersebut.
Pemerintah Indonesia sendiri mulai meresmikan Multilateral Instrument on Tax Treaty (MLI) sebagai bagian dari upaya untuk mencegah terjadinya praktik BEPS oleh perusahaan multinasional, yaitu dengan merilis Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2019, tepatnya pada tanggal 13 November 2019 atau dua tahun setelah ditandatangani, namun mulai diberlakukan secara efektif tanggal 1 Agustus 2020 oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD).
Fungsional Analis Kebijakan Perpajakan Internasional Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Melani Dewi Agusti, dalam kegiatan sosialisasi MLI yang diselenggarakan oleh BKF dan Ditjen Pajak (DJP) menyampaikan bahwa setidaknya ada tiga manfaat yang akan diperoleh Indonesia melalui penerapan Multilateral Instrument on Tax Treaty (MLI). Yang pertama, melalui penerapan MLI, dapat memberikan kesan positif kepada dunia internasional bahwa Indonesia memiliki komitmen yang kuat untuk mewujudkan tax fairness. Seperti yang telah diketahui bahwa MLI merupakan instrumen paling tepat yang dapat digunakan untuk mencegah dan memerangi tindakan aggressive tax planning.Â
Yang kedua, implementasi MLI ini memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk menggunakan BEPS Action 15 yang sebelumnya telah direncanakan untuk dilaksanakan secara serentak. Tidak hanya itu, dengan penerapan MLI ini Indonesia tidak membutuhkan alokasi waktu dan biaya yang besar  jika dibandingkan dengan proses negosiasi konvensional. Yang ketiga, MLI dapat menjadi pelengkap dari proses transfer informasi secara langsung (automatic exchange of information/AEoI).
OECD mengemukakan bahwa dari total 93 yurisdiksi yang dicakup dalam MLI, Indonesia telah melakukan pengusulan amandemen atas 47 klausul P3Bnya melalui MLI. Kemudian, ada 19 yurisdiksi yang mengusulkan perubahan klausul P3Bnya dengan Indonesia. Apabila nanti Indonesia meratifikasi, menerima, atau menyetujui klausul MLI yang diajukan oleh yurisksi tersebut ke OECD, maka perubahan atau amandemen atas klausul P3B antara Indonesia dengan 19 negara tersebut akan berlaku secara efektif mulai 3 (tiga) bulan setelah ratifikasi disampaikan.
Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2019 yang telah disahkan oleh pemerintah tersebut terdiri atas naskah asli konvensi yang ditulis dalam Bahasa Perancis dan Bahasa Indonesia dengan persyaratan sebagaimana telah dicantumkan dalam lampiran. Dalam peraturan presiden tersebut dijelaskan bahwa apabila nantinya terjadi sengketa mengenai definisi atau penafsiran antara naskah dalam Bahasa Indonesia dengan naskah asli konvensi dalam Bahasa Perancis dan Bahasa Inggris, maka yang akan digunakan sebagai acuan adalah naskah asli konvensi dalam Bahasa Perancis dan Bahasa Inggris.
Berdasarkan salah satu pertimbangan yang ada dalam Perpres Nomor 77 Tahun 2019 tersebut, diketahui bahwa pasal-pasal yang digunakan dalam konvensi dapat diterapkan terhadap P3B apabila sebelumnya telah dilakukan pengesahan terlebih dahulu terhadap konvensi tersebut sebagai dasar pemberlakuannya.
Beberapa bentuk modifikasi yang dapat dilakukan oleh Indonesia dalam mengadopsi klausul substantif dalam MLI seperti perubahan, penambahan, ataupun penggantian penerapan ketentuan peraturan P3B. Sebagai contoh, ketentuan Principal Purpose Test (PPT) sebagai output dari rencana aksi (action plan) dalam rangka melakukan pencegahan terhadap tindakan penyalahgunaan P3B, akan menambah jumlah ketentuan yang dimasukkan ke dalam mayoritas CTA Indonesia. Contoh lainnya yang bisa diambil yaitu, perubahan ketentuan P3B Indonesia dengan negara mitra mengenai aturan Bentuk Usaha Tetap (BUT) dalam hal implementasi karena mengadopsi ketentuan MLI yang berkaitan dengan pencegahan penghindaran status Bentuk Usaha Tetap (BUT).
Selain digunakan sebagai instrumen dalam mencegah praktik BEPS, MLI ini juga dapat menjadi senjata dalam memerangi masalah pemajakan perusahaan multinasional yang berbasis ekonomi digital. Hal yang menjadi faktor permasalahan tersebut adalah globalisasi yang memungkinkan perkembangan ilmu teknologi menjadi semakin kompleks.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI